Jinyoung bersumpah bahwa ia hanya akan menikah satu kali seumur hidupnya, dan jika keadaan memaksannya untuk melakukan yang kedua kali. Itu hanya akan berarti satu hal, ia berhasil membunuh Jaebum.
Menyiapkan pernikahan sama sulitnya ketika dulu ia menyiapkan diri untuk pertama kalinya hidup di Seoul, hanya saja memeliki level kerisauan yang berbeda. Orang-orang memang membantunya dalam menyiapkan berbagai hal, ia jadi tidak memerlukan untuk mengeluarkan tenaga dan menyimpannya sampai hari H datang.
Namun ini semua bukanlah tentang rasa lelah dan letih, tapi tekanan batin yang Jinyoung alami selama masa melewati hari-harinya sampai hari yang ditunggu tiba. Memiliki Im Jaebum sebagai seorang kekasih sudah sangat menguras tenaga dan batinnya, bagaimana ia akan mengatasi ketika akhirnya mereka secara resmi menikah. Jinyoung baru menyadari hal itu kemarin malam.
Pernikahan bukan hanya tentang indahnya bulan madu, bukan juga tentang asyiknya memamerkan cincin keterikatan ataupun memamerkan kemesraan ditempat umum. Pernikahan adalah suata keadaan dimana kebebasan akan terbatas, memiliki tanggung jawab akan orang lain yang menjadi pasangan bukan hanya tentang tanggung jawab diri sendiri. Terkadang mengutamakan orang lain lebih daripada dirimu sendiri.
Semua pemikiran yang datang sejak semalam dan menghantui Jinyoung pagi ini sempat membuatnya ingin melarikan diri. Tapi tetap tidak ingin berlari sendiri, Jaebum tentu harus pergi dan ikut berlari bersamanya. Jadi yang sebenarnya Jinyoung hindari adalah konsep dari pernikahan bukan pasangan yang dicintainya.
Semua pemikiran itu tidak bertahan lama sampai Jaebum membangunkannya pagi-pagi buta dan benar-benar mengajak Jinyoung melarikan diri. Senyuman penuh misteri darinya membuat Jinyoung curiga. Pagi-pagi ketika matahari hendak muncul, mereka sudah pergi membelah jalanan kota Seoul yang masih sepi.
Menikmati angin dingin yang berhembus karena kaca jendela mobil Jaebum buka. Merasakan seolah-olah ini adalah waktu terakhir mereka menjadi pasangan kekasih, jam-jam terakhir sebelum acara pernikahan dimulai. Jinyoung mulai menikmatinya.
"Mau pergi kemana?"
"Kesuatu tempat yang sangat penting."
Entah mengapa terlintas Sungai Han dikepala Jinyoung. "Tempat yang sering kita datangi?" Tanyanya.
Jaebum menggeleng, rupanya mengajak bermain tebak-tebakan dipagi buta.
"Tempat pertama kita bertemu?" Gedung kampusnya berkelebat dipikiran.
"Bukankah itu sangat jauh?"
Jinyoung mengernyit.
"Jangan bilang kau lupa awal perjumpaan kita didermaga?"
Jinyoung mengangkat alisnya, ia lupa. "Lalu, apakah tempat ini pernah kita datangi sebelumnya."
Jaebum menggeleng lalu mobil berbelok memasuki gapura yang tidak memiliki gerbang, banyak gundukan tanah yang dibelah jalan. Indah karena ditumbuhi rerumputan dan bunga-bunga. Jinyoung tidak tahu jika ada taman diSeoul yang belum pernah ia datangi.
Mobil berhenti, Jaebum melepas sabuk pengamannya. "Ayo turun." Jinyoung menurut.
"Ini tempat apa?"
"Kau akan segera tahu." Jaebum memberikan tangannya untuk digenggam. Ia menarik Jinyoung kepinggiran dan menaiki beberapa anak tangga. Begitu sampai diatas, Jinyoung baru menyadari jika mereka sedang berada dipemakaman. Ia terkejut dan menahan langkahnya.
"Jaebum apakah kita akan-"
"Mengunjunginya." Jaebum tersenyum tipis. "Sebelum acara nanti siang, kita tentu harus meminta restu."
Mata Jinyoung mulai menatap sendu, saat ini ia bisa nangis kapan saja. Jaebum tidak menahannya, karena tangisan ini adalah tangisan bahagia, walaupun tetap Jaebum benci jika melihat Jinyoung menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
easy to PLAY HARD TO GET
Fanfiction(COMPLETED 19 Agustus 2019 - 14 Juni 2020) Ketika sebuah hubungan dimulai dengan sangat mudah, secara konsisten dan bertahap hubungan itu bertahan lama dan semakin dalam. Tetapi semua berubah secara tiba-tiba dan membuat hubungan itu harus dimulai l...