Bab 38 : Tata yang Menemukan Dunianya

1.2K 165 4
                                    

Hari berlalu. Menjelang akhir tahun ajaran, murid-murid fokus belajar mempersiapkan Ujian Akhir Tahun. Pak Riza sebagai wali kelas, mewanti-wanti anak didiknya untuk belajar lebih keras. Mereka harus bisa membuktikan bisa lebih baik dari kelas-kelas yang lain. Murid-murid pun sudah melupakan kejadian-kejadian di sekolah waktu itu. Kamera CCTV mulai dipasang di beberapa lokasi di sekolah. Salah satu yang memasang kamera CCTV adalah kakak Wira yang ke 3. Kebetulan kakak Wira bekerja di perusahaan CCTV tersebut. Ruang penyimpanan matras sudah dipakai sebagaimana mestinya. Lantainya sudah diperbaiki. Tidak ada murid yang tahu apa yang ada di bawah ruang itu kecuali Ari, Toha, Wira dan Nara. Dan sampai sekarang, keberadaan lorong bawah tanah yang menghubungkan sekolah ke tempat lain masih menjadi cerita yang tidak bisa dibuktikan. Selama berhari-hari pula, Ari, Toha, Wira dan Nara tidak merasakan sesuatu di sekolah kecuali hantu yang memakai jas yang memang setiap pagi mondar-mandir di trotoar depan sekolah.

Saat sekolah selesai, Ari buru-buru pulang. Dia agak khawatir dengan ibunya karena sudah tiga hari ini ibunya ijin tidak masuk kerja karena sakit. Pagi tadi rencananya ibu Ari mau periksa ke rumah sakit. Sesampai di rumah, Ari langsung mencari ibunya. Ternyata ibunya ada di ruang tamu. Dia sedang duduk di sofa memakai baju hangatnya. Sepertinya ibu Ari memang sengaja sedang menunggu Ari. Ari pun langsung duduk di sebelahnya.

"Ma gimana? Mama udah ke rumah sakit?" tanya Ari khawatir.

"Udah..." Jawab ibu Ari datar sambil memandangi anaknya yang masih memakai seragam sekolah.

"Terus apa kata dokter Ma?" tanya Ari lagi.

"Nggak apa-apa kok... Mama nggak apa-apa... Cuman flu," kata ibu Ari lirih menenangkan Ari. "Kapan ujiannya Ri?" Ibu Ari balik tanya.

"tiga minggu lagi Ma."

"Kamu belajar yang bener ya Nak. Kamu harus seperti papa kamu. Papa kamu itu dihargai orang karena kepandaiannya..."Ibu Ari begitu khawatir, Ari akan seperti kakeknya. Karena apa yang dia lihat sekarang, anaknya semakin lama tumbuh seperti kakeknya, bukan seperti bapaknya.

"Kalau gitu mama istirahat gih."

"Iya... Tapi ada yang mama pengen kasih tahu ke kamu..."

"Kasih tahu apa Ma?"

"Mengenai papa kamu..."

"Mengenai papa?"

"Iya... Mama harus kasih tahu... Sebelum mama..."Ibu Ari seperti ragu melanjutkan perkataannya.

"Sebelum mama kenapa Ma?"

"Enggak... Nggak apa-apa. Pokoknya mama mau kasih tahu... Tentang kematian papa kamu Ri."

"Tentang kematian papa?"

"Iya..." Ibu Ari seperti sedang berpikir sebentar sambil menarik nafas dalam-dalam," Ri, apapun yang akan mama sampaikan... Kamu harus janji ke mama... Kamu akan tetap menerima kematian papa kamu dengan ikhlas... Janji ya Ri."

"Iya Ma. Ari janji."

"Gini Ri... Waktu papa kamu meninggal... Dia ditemukan di kamarnya. Dia meninggal karena minum racun serangga..." sejenak ibu Ari seperti tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Maksud mama... Papa bunuh diri?"

"Iya... Iya Ri... Sebelum kejadian itu papa juga tingkahnya aneh... Mama kadang seperti nggak kenal papa kamu lagi..."

Ari masih bengong. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendengar cerita begini dari ibunya.

"Tapi itu pasti bukan papa Ma! Ari tahu itu bukan papa!" kata Ari dengan suara keras.

"Ri! Kamu udah janji sama mama, kamu akan ikhlas sama kematian papa..." kata ibu Ari. Sepertinya dia juga tidak bisa menahan emosinya.

Ari pun diam. Walau setumpuk pertanyaan ada di kepalanya. Dia tahu bapaknya tidak seperti itu. Dan dia tahu kejadian yang tidak seorang pun tahu.

"Memang papamu tidak seperti itu Ri..." kali ini suara ibu Ari melemah. Ada getaran yang menggetirkan di suaranya."Papa kamu itu orangnya pinter... sopan... tanggung jawab..." lalu ibu Ari menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tangisnya pun meledak disana. Emosinya yang sedari tadi dia tahan tumpah disana. Badannya berguncang dengan sesenggukan tangisnya.

Sebentar Ari melihat ibunya. Dia sudah tidak mempedulikan papanya dengan kematiannya. Karena kini dia lihat di depannya, ibunya begitu menderita menanggung semua yang sudah terjadi. Dia pun memeluk ibunya dari samping erat-erat. Sangat erat. Hingga bisa dia rasakan guncangan tangis ibunya. Ari benamkan kepalanya ke rambut ibunya. Mata Ari sudah berair. Tapi pandangannya nanar. Senanar dendamnya pada hantu lidah menjulur. Kini bukan tentang kematian bapaknya lagi. Ari benar-benar akan menuntut balas pada hantu itu atas penderitaan ibunya sekarang.

***

Hari ini hari Senin. Seminggu lagi ujian akan dilaksanakan. Pagi-pagi Toha sudah koar-koar tentang Astri yang akan maju ke podium upacara untuk menerima trophi karena karya ilmiah remaja mereka berhasil menang sebagai juara 2 tingkat nasional. Tentu saja Astri akan naik podium bersama Tata. Dan Ari tahu itu. Ari ikut senang dan bangga atas prestasi yang diraih Tata.

"Astri itu anaknya pinter," kata Toha di taman pada Ari, Wira dan Nara. Sepertinya sudah hampir sepuluh kali dia bilang seperti itu.

"Jadi lo maunya gimana?" tanya Nara spontan."Mau cuman temen sepedaan apa mau jadian?"

"Ya gue maunya jadian lah," kata Toha tanpa malu-malu." Ntar nunggu abis ujian. Abis ujian gue mau bilang ke dia."

Saat upacara, Pak Suman sudah naik podium untuk memberikan pengarahan tentang persiapan murid-murid melaksanakan ujian minggu depan. Setelah itu, seperti biasa ada acara penerimaan hadiah bagi murid yang berprestasi. Nama Tata dan Astri sudah dipanggil untuk maju ke podium. Dari tadi Toha sudah terlihat antusias dan berusaha meringsek ke barisan depan. Di podium bergantian Tata dan Astri menerima trophi, hadiah dan beasiswa kuliah dari Pak Suman. Toha pun tanpa malu-malu bertepuk tangan sekencang-kencangnya sampai diperingatkan guru yang jaga di belakang. Dari tempatnya berdiri, Ari melihat Tata di podium sedang memegang trophinya. Ari tahu Tata sedang memandang ke arah barisan kelasnya. Tata tersenyum lepas. Wajahnya begitu ceria. Lalu tangannya memegang bandul kalung yang dia pakai. Dia berusaha mencari Ari di barisan kelasnya. Tapi karena jaraknya jauh dan tertutup murid-murid di depan, Tata tidak melihat Ari. Tapi Tata yakin Ari sedang melihatnya sekarang. Ari sedang melihat dia memegang bandul kalung yang dia pakai. Karena begitu berartinya kalung itu buat dia, hingga dia bisa berdiri di podium seperti sekarang ini. Dan begitu berartinya Ari buat dia hingga saat ini dia benar-benar merasa menemukan dunianya. Tata pegang erat bandul kalung itu. Kalung itu seperti pemberian Ari yang khusus diberikan untuknya. Dan Tata berjanji, sampai kapanpun dia tidak akan melepas kalung itu.

Komplotan Tidak Takut HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang