Ambivalen | 24

62 5 2
                                    

"Lepas!"

Rainer menghempas tubuh Laura di lantai begitu saja, wanita itu menjerit dan meringis.

"Sakit Rainer, kau tidak punya hati ya?!" Laura mendongak, menatap pekat Rainer yang bertolak pinggang.

Tonjolan lidah dipipi kanan membuat Rainer tampak semakin membengis.

pria itu mendengus "huh, tidak punya hati apa nya Laura?" Menarik Laura yang sudah berdiri, Rainer mengedarkan pandang kesembarang arah. Tersenyum tipis, lalu kembali menyorot tajam.

"Kau tau kan sejak kita kenal, aku tidak pernah bermain main dengan hati, karena memang sampai kapan pun. Aku. Tidak. Akan. Pernah. Memilikinya." Cetus pria itu.

Laura berjengit saat Rainer semakin menghentakan tubuhnya merapat.

"Sekarang cepat katakan!"

Laura mengernyit bingung, "ka-katakan apa?!"

Rainer mendesis, masih berwajah dingin. Pria itu menangkup kedua bahu Laura, mendorong lalu menyeret wanita itu begitu saja.

Kembali menjerit saat Rainer bergantian menarik rambut dan mencengkram lengannya dengan kasar.

Diseret seperti itu.

Padahal dia sendiri masih berwajah babak belur.

Laura mengaduh sakit.

"Rainer!, sakit..."

"cepat katakan!, anak ku benar benar sudah mati atau kalian hanya sedang membuat drama?!"

Pria ini.

-o0o-

Tenang, aku tidak berniat membunuh suamimu ... justru aku berharap dia akan datang, melihatmu disini lalu membunuhku. Dengan itu, aku bisa menang dan berbahagia dineraka.

"Tidak, tidak, tidak! dia tidak akan pernah membunuh, tidak!, Aaron!!!"

Terduduk begitu saja, Ameera tersadar, ia baru saja bermimpi.

Masih dengan mukenah yang membungkus tubuh, tampak basah oleh keringat yang terus saja mengalir hangat.

bola matanya bergerak liar, Ameera masih terlihat bingung.

Syok?

Baru saja bermimpi aneh tentang suami. lebih aneh lagi...

Kenapa Aaron?.

Ia berpejam sebentar, menghela napas dengan teratur, lalu beristighfar.

"Hanya mimpi" berguman, Ameera mengusap dada pelan.

Mimpi buruk.

Sempat terdiam, bahkan tak berkutat bersama pikiran apapun, Ameera hanya menunduk menatap sajadah.

"Aku ini kenapa ya Allah?" Ameera bertanya lirih, meski yang mampu menjawab hanya angin malam yang menyeruak masuk melalui celah jendela yang masih menganga.

Sudah malam ya.

Sontak Ameera mendelik, ia ingat sesuatu.

Pernikahan?.

Hampir terjatuh akibat terinjak bawahan mukena, Ameera berdiri dengan tergesa gesa.

AmbivalenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang