Melfa melangkah dengan pelan menyusuri koridor sekolah. Gedung-gedung berdiri dengan kukuh. Matahari sudah menunjukkan cahayanya di atas langit biru. Saat di tengah perjalanan menuju kelas, semua mata tertuju padanya. Ini pasti karena dua atau empat pasang mata tadi di parkiran melihat Melfa berboncengan dengan siswa baru bernama Eza. Memang tak kalah canggihnya dari media sosial, dalam beberapa menit topik terhangat pagi ini mengenai gadis itu sudah banyak diperbincangkan dari mulut ke mulut. Tapi sudahlah, Melfa tak ingin memikirkan itu semua. Cukup baginya memikirkan apa yang perlu dipikirkan jika ingin hatinya tenang pagi ini agar bisa menyerap pelajaran dengan sempurna.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, seorang pemuda berlari dengan kecepatan tinggi hingga tak sengaja menabrak tubuh Melfa, membuatnya kehilangan keseimbangan, lalu jatuh kelantai.
Bruk!!
Moodnya yang tadi baik-baik saja kini seketika hancur.
"Awww," ringis Melfa memegangi luka yang merah di bagian sikunya.
"Sory sory," ucap pemuda itu sembari mengulurkan tangan berniat membantu.
"Kak Fandra," batinnya, dua sampai tiga detik mereka saling bertatapan satu sama lain. Gadis itu bangkit dengan sendirinya kemudian pergi meninggalkan pemuda tersebut tanpa basa-basi.
Mungkin saja saat itu peluang meminta maafnya sangat besar, tapi ia mengurungkan niat dan mencoba meminta maaf di lain waktu mengingat moodnya pagi ini menjadi hancur.
Fandra melirik kepergian Melfa dengan bibir tertutup rapat.
Entah kenapa akhir-akhir ini gadis itu selalu datang dalam hidupnya. Membawa bencana yang masih berlarut hingga sekarang.
Saat jam pelajaran pertama sedang berlangsung, Melfa tidak fokus mendengarkan guru yang mengajar di depan malah ia sibuk memainkan pulpennya sambil melirik ke sebelah ada Tyka yang sedang melamun.
Entah apa yang dilamunkan teman sebangkunya itu, ingin sekali Melfa memulai percakapan tapi sangat berat lidahnya untuk mengucapkan kata.
Pelajaran fisika yang selalu ia nantikan setiap minggu, namun tidak untuk hari ini.
***
Sesuai rencana, sore ini Melfa dan keluarganya akan mengunjungi pesantren tempat di mana Indah sang adik menuntut ilmu agama.
Setibanya di sana, Melsya memeluk Indah untuk melepaskan rindunya berbulan-bulan ia bendung.
"Kamu sehatkan nak," tanya Melysa.
Sebenarnya sangat berat untuk melepaskan anak terakhirnya ini, mengingat umurnya yang masih kecil belum sepantasnya berpisah jauh dari orang tua. Namun apalah daya, keputusan Indah yang sudah bulat, ingin bersekolah di pondok pesantren, dan bercita-cita menjadi seorang hafidzah.
"Alhamdulillah ana sehat ma," tutur katanya yang lembut membuat orang yang mendengar menjadi adem.
"Mama papa, kakak dan abang gimana?" tanya gadis itu mengenakan jilbab syar'i perpaduan gamis ala khas santriwati.
"Sehat kok," jawab Melfa mewakili jawaban mereka berempat.
"Alhamdulillah, syukur lah."
Banyak perbedaan antara Melfa dan adiknya, Melfa yang sifatnya setengah kalem dan setengahnya lagi tidak, sedangkan Indah adalah wanita yang pemalu, kalem murni dari lahir, tutur bahasa yang selalu ia jaga, dan ramah santunnya menjadi pemikat hati para siapa saja. Selain itu, Indah sangat menjaga batas komunikasi yang bukan mahromnya dan juga anti pacaran, seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran sama sekali, tidak seperti Melfa apalagi Reyhan gonta-ganti pasangan sesuai kenyamanan hati.
"Gimana dek, udah berapa jus hafalannya?" Melfa duduk di sebelah kanan Indah, sedangkan di kirinya ada sang ibu yang masih setia memeluk putri bungsunya.
"Alhamdulillah kak, udah masuk 20 jus."
"Masya Allah."
"Semangat ya dek, semoga cita-cita kamu menjadi seorang hafizah bisa tercapai."
"Aamiin kak, syukron."
"Kakak Mel sama Abang masih pacaran lagi?"
Melfa dan Reyhan membisu, seraya melirik satu sama lain.
"Hmm masih dek," jawab Reyhan sedikit ragu.
"Wah kapan nikahnya nih hihihi."
"Masih kecil dek, belum sampai mikirnya kesana," bela Melfa.
"Hihihi bercanda kakakku, janganlah marah."
Mereka tertawa geli sambil tersenyum kaku, momen langka yang akan menjadi suatu kenangan terhangat setelah pulang dari pondok ini tentunya. Sebenarnya pertanyaan semacam itu bukanlah lelucon melainkan sindiran halus untuk Melfa dan Reyhan.
***
Makasi buat kalian yang udah baca maaf kata-katanya gaje, dan alurnya masih berantakan🙊
Putri Safira
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Tak Bernama (END)
Teen FictionSeorang hafidza penghafal Al-Qur'an yang memiliki masa lalu kelam. Di usia 15 tahun masa depannya sudah hancur karena diperkosa saudara tirinya sendiri atas dendam kematian sang ibu. Bagi gadis itu adalah suatu pengalaman terburuk dalam hidupnya, n...