DUA PULUH DELAPAN

992 64 0
                                    

"Kamu untuk apa rumah kontrakan?" Tanya Ezi.

"Nginaplah kak."

"Sendiri?" Melfa mengangguk kaku.

Tak ingin terus-menerus bertanya, gadis dengan posisi menyetir itu mengunci rapat-rapat mulutnya supaya diam meski ada bertubi-tubi pertanyaan yang kini masih bersarang di lubuk hatinya.

"Alhamdulillah sampai juga," Ezi menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kosong tak berpenghuni.

"Makasi banyak ya kak, gak mampir dulu," Melfa keluar dari mobil.

"Iya dik, kapan-kapan deh kakak kesini. Oh iya kakak pamit pulang dulu ya, takut dicariin Umi sama Abi."

"Assalamualaikum, dahh adik," lambaian tangan terurai di balik jendela mobil yang kini perlahan menghilang menyisakan sesak yang mendalam.

Air matanya kini menetes. Ia memandangi kepergian Ezi dengan rasa iba.

***

Gemericik hujan turun bersamaan dengan derasnya air mata. Bulan sabit tak nampak diperaduanya, tertutup mega mendung nan hitam. Begitupun hatinya, hancur dalam belenggu nestapa kekecewaan. Sakit, kecewa, marah, rasa itu melebur menjadi satu.

Satu jam yang lalu Melfa baru selesai menjalankan kewajibannya sebagai seorang siswi. Di masa pandemi tidak ada lagi sekolah tatap muka, segala tugas dikirim serba online. Hanya membutuhkan kemauan dan kuota internet yang mendukung. Meskipun sekarang ia hidup dengan tempat yang berbeda, situasi yang berbeda, tak ada niat sedikitpun untuk putus sekolah. Berbagai cara akan ia lakukan untuk menghasilkan rupiah termasuk menjual gorengan dari pagi hingga siang. Kini ia harus bisa mandiri dan tak mengandalkan orang lain.

"Maafin aku bang, ma harus blokir nomor hp yang lama. "

Gadis itu melirik handphonenya yang berbunyi, muncul dua notifikasi dari wa.

"Assalamualaikum siswa-siswi semuanya, hanya mengingatkan agar secepatnya menyelesaikan semua tugas-tugas modul jika tidak ingin tinggal kelas," pesan dari Bu Aini di grup kelas X IPA 1.

"Mel abang lo asik neror gue, dan pengen tau keberadaan lo. Gue bingung harus gmn??" dari Tyka.

"Jangan pernah kasi tahu keberadaan gue Tyk di Batam, gue gak mau ngerepotin kalian."

  
Melfa kemudian menutup room chat. Di hempaskan tubuhnya ke kasur sederhana berbahan tipis yang jauh dari kata empuk, lalu perlahan menutup matanya menuju ke alam mimpi. Belakangan ini ia jarang bergadang, dan tidur lebih awal daripada saat tinggal di Riau. Mungkin juga tubuh gadis itu perlu diistirahatkan untuk menghasilkan kembali energi di hari esok dari banyaknya aktivitas yang menguras banyak energi.

***

Pagi tiba dengan semangat yang baru. Kicauan burung-burung bergema menyambut kehadiran sang mentari.

"Dua puluh, tiga puluh. Oke siap meluncur."

Melfa memasukan gorengan kebaskom yang berisi seperti bakwan, tempe, tahusi, dan risol. Hanya itu yang bisa ia masak selain nasi, telor, mie, dan air untuk makannya sehari-hari. Banyak hikmah dari kejadian ini, darinya yang pemalas untuk bekerja rumah apalagi memasak kini memulainya perlahan meskipun dipaksa oleh keadaan. Awalnya berat dan sulit melakukan segalanya sebatang kara, namun setelah melakukannya terus-menerus ia mulai terbiasa dengan semua ini.

Rasa Tak Bernama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang