Tiba-tiba cuaca mulai tidak bersahabat. Terlihat sangat banyak awan hitam yang bertebaran di langit.
Dan terdengar bunyi gemuruh yang membuat bulu kuduk Melfa berdiri karena ketakutan. Namun berbeda dengan pemuda di sampingnya, dengan wajah datar tanpa rasa cemas sedikitpun. Sebenarnya Fandra juga takut dengan keadaan saat ini, kemungkinan besar nyawalah yang dipertaruhkan. Namun hanya berdoalah jalan satu-satunya yang dapat ia lakukan, daripada menangis dan berteriak tak jelas hanya membuat keadaan semakin panik.
"Huwaaa."
"Aaaaa."
"Allahhu Akbar!!!"
"Asyhadu alla ilaaha illallah wa ayshadu anna Muhammadarrasulullah."
"Allahumma sholli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad."
"Astaghfirullahazim, astaghfirullahazim, astaghfirullahazim, astaghfirullahazim....."
"Mama Papa, aku takut."
"Ya Allah, ya Rohman, ya Rohim, ya Malik, ya Qudus, ya Salam, ya Mukmin, ya Muhaimin."
Suasana di dalam pesawat menjadi semakin ramai dengan teriakan, doa dan harapan. Ada yang membaca Al-Qur’an sambil meneteskan air mata, ada juga yang saking takutnya menutup telinga dan menutup matanya tak ingin merekam kejadian yang memilukan itu.
"Ya Allah, aku belum belum siap meninggal." Kali ini Melfa yang berteriak.
"Diam lo," ketus Fandra memutar bola matanya malas.
“Maut gak memandang kita siap atau tidak. Tapi memang jika sudah waktunya.” Melfa terdiam dan mencerna nasihat lama itu.
***
Lima belas menit kemudian, kondisi pesawat kembali membaik seperti biasanya. Beribu ucapan syukur dan terimakasih telah tercurahkan. Di ikuti cuaca kini perlahan cerah.
Tak lama kemudian pesawat siap mendarat mulus dan sempurna di bandara Soekarno-Hatta. Terlukis senyuman manis diiringi air mata haru setelah menjalani perjalanan yang hampir terbang untuk selama-lamanya.
Alhamdulillah, atas kehendak Allah semua dalam kondisi selamat dan baik-baik saja. Walaupun ada beberapa di antaranya yang masih mengalami trauma berkepanjangan. Apalagi untuk yang baru pertama kali naik pesawat, berjanji tidak akan pernah naik pesawat setelah ini.
Melfa dan Fandra melangkah beriringan kekoridor utama pintu keluar bandara.
"Ingat, udah sampe di rumah langsung minta maaf. Jangan ngambek gak jelas lagi."
"Iya kak," ucap Melfa. Mungkin Fandra tak sepenuhnya tahu tentang latar belakang yang jelas perginya gadis itu keBatam, bukanlah keinginannya melainkan karena di usir sang Ayah saat tahu Melfa sedang hamil dan mengungkit masa lalu dengan istri mudanya.
Kebetulan di sana juga ramai dipadati para penumpang yang baru turun dari pesawat, sehingga memenuhi area pintu keluar.
Rasa ragu perlahan menyelimuti setiap langkah kaki Melfa. Yang paling ditakuti adalah Ayahnya yang tak sudi memaafkan . Walau hati kecilnya berkata jika dia tidak sepenuhnya salah. Tapi bagaimanapun juga Toni tetaplah Ayahnya, meski ia yang harus menerima imbasnya.
"Mel!!!" Teriakan itu menyadarkan Melfa dari lamunannya. Ia melihat Tyka, Tyas, dan Keyza sedang melambaikan tangan ke arahnya.
"Kalian," spontan Melfa langsung berlari kecil tak mempedulikan Fandra yang tertinggal jauh di belakangnya.
"Dasar bocil," ucap Fandra menggelengkan kepalanya heran.
Mereka berempat berpelukan layaknya teletubbies. Rindu telah lama tidak bertemu, tak mempedulikan orang lewat hilir mudik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Tak Bernama (END)
ספרות נוערSeorang hafidza penghafal Al-Qur'an yang memiliki masa lalu kelam. Di usia 15 tahun masa depannya sudah hancur karena diperkosa saudara tirinya sendiri atas dendam kematian sang ibu. Bagi gadis itu adalah suatu pengalaman terburuk dalam hidupnya, n...