DUA PULUH SEMBILAN

1K 62 0
                                    

"Heeey jangan kabur, kembalikan dompetnya!" Teriak Fandra sembari berusaha mengejar sang pencopet.

Karena kehilangan konsentrasi alhasil pencopet menabrak sebuah tong sampah yang kosong, hingga ia terjatuh.

Secepatnya Fandra mengengam baju pencopet itu lalu ditariknya kuat.

"Cepat kembalikan dompetnya!" Perintah Fandra dengan tegas. Pencopet itu bangkit lalu menyodorkan pisau kearah Fandra.

"Jangan ikut campur urusan orang. Lepasin gue jika benda tajam ini gak mau nyetuh lo," ancamnya.

Melfa yang melihat pencopet mengarahkan pisaunya kearah Fandra refleks ketakutan. Netranya membesar diikuti tubuhnya yang gemetaran. Tidak! Ia tidak mau orang lain terluka karena ulahnya, terlebih lagi harus pergi untuk selama-lamanya. Cukup Keysal, jangan sampai ada yang kesekian kalinya lagi.

"Lo pikir gue takut Nyet!" Ucap Fandra dengan tenang tanpa rasa takut sedikitpun.

"Kurang ajar, beraninya lo manggil gue Monyet!" Pencopet itu sepertinya tersinggung.

Melfa menutup matanya dengan baskom yang ia bawa. Tak sanggup melihat ada pertumpahan darah di depan mata kepalanya sendiri.

Saat pencopet itu hendak melukai Fandra dan menusuk pisau kebagian perutnya. Fandra lebih dulu memainkan aksinya, dengan sebuah pukulan mendarat di muka pencopet itu, hingga pencopet tersebut jatuh dan berusaha bangkit tapi kali ini Fandra tidak akan membiarkannya lagi bangkit. Dengan cepat memukulnya lagi, lagi dan lagi sampai pencopet tersebut tidak berdaya.

"Gunakan anggota tubuh lo yang masih sehat nyari uang dengan jalan yang halal. Karena di luar sana masih banyak yang serba kekurangan baik itu fisik maupun mental tapi gak kayak lo cuma bisa merugikan orang lain dengan berprofesi sebagai pencopet." Pencopet itu mengangguk dan merapatkan kedua tangannya seperti memohon maaf dan mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari kantongnya untuk diserahkan keFandra.

Fandra menerimanya lalu ia mengambil lima lembar uang berwarna merah, diberikannya kepencopet itu.

"Nah ini baru namanya halal. Karena gue udah nyerahkan nya tanpa lo rampas."

"Terimakasih banyak bang."

Fandra meninggalkan pencopet itu. Dan kembali menjumpai Melfa.

"Nih uang lo, lain kali hati-hati," ucap Fandra menatap Melfa lekat-lekat. Senyuman haru terpancar dari raut gadis itu, ia tidak menyangka Fandra akan baik-baik saja dengan tangan kosong melawan pencopet yang mencuri uangnya.

"Gausah baperan!!" Seketika senyuman itu pudar saat Fandra mengatakan hal tersebut. Senyuman itu, kini berganti air mata yang menetes, ia menangis seraya menundukkan pandangannya kebawah.

"Astaghfirullah kok lo jadi nangis gini? Ehh jangan tersinggung dong sama ucapan gue barusan." Melfa terus saja menangis membuat pipi dan hidungnya merah.

"Percaya deh, mulut gue aja yang ceplas-ceplos tapi hati gue gak sejalan." Ucapnya sembari masih berdiri dan kini sedang berhadapan dengan adik kelasnya itu.

"Aku takut kakak terluka," tuturnya dengan raut muka khawatir.

Angin menjadi saksi bisu terukirnya senyuman di bibir Fandra. Ia menatap Melfa yang menangis, sedikit lucu jika diperhatikan mulai dari hidung dan pipinya yang merah. Di tambah lagi matanya yang indah sedang mengalirkan butiran-butiran air mata. Ini untuk kesekian kalinya pemuda tersebut melihat Melfa menangis. Tapi terbalik dengan Melfa, ini kali pertama ia mendapat senyuman tulus dari Fandra yang terkenal jutek dan menyebalkan.

"Jangan nangis, gue gak kenapa-napa kok. Lo tenang aja. Gue udah biasa latihan bela diri make senjata tajam, jadi gak mungkin senjata yang udah gue anggap sebagai adik sendiri tega ngelukain gue gitu aja."

Rasa Tak Bernama (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang