13.0

145 4 0
                                    

Happy reading ❤
Jangan lupa tinggalkan jejak 😊

Hari ini sudah hari ke seratus delapan puluh sembilan semenjak aku memutuskan untuk kembali pada pelukan Jason dan bersikap normal pada semua orang, melupakan masalah yang menimpa pernikahan kami seakan itu bukanlah masalah besar yang tak perlu diperkarakan.

Hari-hari terus berlalu, aku sama sekali tak menyadari jika aku sudah melangkah sejauh ini, melangkah untuk lebih dalam merasakan rasa sakit. Hari-hari yang telah berlalu aku jalani seperti biasa, bekerja dan mengurus semua masalah rumah. Walau aku sadar jika kapasitasku untuk bersama kedua buah hatiku berkurang. Namun, aku mencoba meyakinkan diriku jika mereka akan mengerti mengapa aku melakukan ini semua.

Bicara soal Jason, suamiku, tidak ada yang berubah mengenai hubungan kami walau hanya lima persen saja, tidak ada secercah harapan sama sekali. Kita hanya bicara jika seperlunya saja serasa hidup satu atap dengan orang asing.

Suatu hari, Jason pernah bertanya padaku mengapa aku memilih bekerja dan menelantarkan kedua anak kami. Aku sangat tidak setuju dan tersinggung mengenai perkataannya yang mengatakan jika aku 'menelantarkan' anak kami. Hingga detik ini pun, aku masih tidak mengerti mengapa lelaki yang selalu kubanggakan tega mengatakan hal itu padaku.

Saat itu, aku langsung menyemburnya mengenai dirinya yang sama sekali tidak peduli padaku seakan namaku sama sekali tak pernah ada dikehidupannya. Alih-alih mengerti kemana arah pembicaraanku, ia justru memaksaku untuk berhenti bekerja dan meninggalkanku begitu saja. Sejak saat itu, aku mulai yakin jika sebenarnya ia tau jika ia salah hanya saja ego lebih menguasai dirinya.

Tak bisa dipungkiri, seseorang yang akan jatuh cinta akan buta dengan segalanya. Akal sehat dan hati nurani sudah tidak bisa meruntuhkan tembok pertahanan yang disebut ego, mencoba menghancurkan tembok tersebut dan berusaha untuk membuat orang tersebut kembali menggunakan akal sehat dan hati nurani.

Sama seperti yang terjadi beberapa tahun lalu saat kami masih menjadi sepasang kekasih. Aku benar-benar menutup mata akan semua yang terjadi saat itu. Aku selalu acuh dan tak peduli mengenai sahabatku bernama Matt yang sebenarnya menyukaiku sejak lama. Aku bahkan selalu menyalahkannya atas segala usahanya untuk mendapatkanku.

Aku benar-benar buta, aku sama sekali tidak memuji atas segala usaha yang ia lakukan hanya untuk mendapatkanku. Sungguh, saat itu hanya ada nama Jason. Bahkan, aku sampai benci padanya hingga saat ini. Hanya saja, rasa benci itu perlahan memudar.

Sekarang aku sadar, mengapa Matt tega melakukan itu semua. Ego. Itulah jawaban atas segalanya.

Ego sangatlah kejam, ia bisa menghancurkan segala yang sudah kita bangun dengan pondasi yang kuat sekalipun. Sekarang yang ada dipikirikanku adalah, jika Jason bertarung menggunakan ego maka aku juga harus menghadapinya dengan ego. Jika ia bisa melakukan hal yang paling tega dan tak memiliki hati nurani maka aku akan melakukan hal yang sama. Aku sudah bertekad, mulai detik ini tak ada lagi yang namanya hati nurani ataupun belas kasihan.

Hanya ada ego dan akal sehat.

Hari ini adalah hari ke seratus lima belas aku bekerja sebagai pelayan restoran di restoran milik sahabatku, Anna. Rasanya senang sekali aku menerima gaji pertamaku, bangga jika aku bukanlah wanita yang hanya bisa menumpang hidup pada lelaki.

Sudah kurencanakan semuanya, aku segera menyimpan gaji beserta bonus yang Anna berikan padaku karena kinerjaku yang bagus. Aku tidak menyimpan uangku di bank yang sudah kumiliki, aku membuka rekening baru di bank yang berbeda, berjaga-jaga sebelum Jason mengetahuinya, karena aku yakin jika uang yang berada di bank yang aku punya selama ini akan menjadi milik Jason jika kita berpisah.

Hari ini boss kami, Anna sedang tidak ada di restoran. Ia bilang ke pemimpin restoran jika ia sedang ada keperluan, ia juga berkata padaku jika sebenarnya William memintanya untuk datang ke kantor dengan alasan jika suaminya itu rindu dengannya.

Aku mencoba tersenyum ketika sahabatku membisikkan hal itu padaku. Iri? Tentu, aku benar-benar merasa iri dengannya. Sangat iri. Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk menjadi istri William walau aku sadar tak mudah melunakkan lelaki sinting itu. Tapi aku senang, ternyata lelaki sinting itu kini sudah menjadi orang yang benar, ia sungguh sudah bertobat.

Aku mulai berpikir, apakah ada masanya dimana seorang lelaki akan menyakiti seorang wanita dan kemudian ia akan bertobat?

Jika diingat lebih jauh, dulu saat kami masih duduk di bangku perkuliahan, William benar-benar menyakiti Anna baik verbal maupun nonverbal. Namun, lihatlah sekarang, mereka adalah pasangan yang serasi, tak jarang banyak orang yang mendambakan untuk menjadi seperti mereka tanpa tau jika perjuangan Anna di masa lalu sangatlah tidak mudah.

Berbeda denganku sekarang yang justru merasakan sakit walau hanya nonverbal. Hidupku dan kehidupan Anna berbanding terbalik, Anna yang sekarang bahagia dan sekarang saatnya diriku yang merasakan rasa sakit dan berjuang. Ya, bagaimana pun juga tidak ada alasan bagiku untuk mempertahankan pernikahan ini walau aku tidak benar-benar yakin jika Jason akan kembali padaku.

"Andrea?"

"Ya?"

"Bisakah kau antar ini ke meja di sebelah sana?"

"Tentu"

Aku segera mengantar makanan sesuai permintaan temanku, memasang senyum selebar mungkin dan selalu bersikap ramah pada setiap pengunjung. Inilah pekerjaan yang sudah kugeluti selama tiga bulan lebih. Ah, aku benar-benar menikmatinya.

"Permisi, ini pesanannya"

Kudongakkan wajahku, menatap sepasang kekasih yang kini menjadi pengunjung yang harus kulayani.

"Jason? Laura?"





Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang