14.0

140 4 0
                                    

Selamat membaca 😊

~~~~~~~

Hari ini sudah hari yang ke dua ratus sembilan belas semenjak aku memutuskan untuk kembali pada pelukan Jason dan bersikap normal seakan tidak terjadi apa pun diantara kami. Hari ini juga sudah hari yang ke seratus empat puluh lima aku bekerja di restoran milik sahabatku, Anna.

Sudah dua ratus sembilan belas hari juga aku menahan rasa sakit yang kian hari semakin menyakiti diriku. Seberapa keras aku mencoba untuk tegar namun semuanya selalu berakhir dengan tangis.

Setiap perdebatan diantara aku dan Jason selalu berakhir dengan tangis, tak ada penjelasan apa pun mengenai perdebatan kami. Tak ada jalan keluar. Tak ada secercah harapan yang selama ini selalu ada diangan-anganku agar aku bisa menahan diri untuk tidak meledak.

Seperti kejadian tepat sebulan yang lalu, dimana aku mendapati suamiku tengah bergurau dan berbincang dengan hangat pada kekasih gelapnya. Aku tak menyadari jika pengunjung saat itu adalah dua orang yang selalu berputar di pikiranku.

Hingga akhirnya, aku menyadari jika itu adalah mereka. Jujur, saat itu aku ingin sekali menumpahkan minuman yang berada di genggamanku ke Laura, namun akal sehatku berkata jika aku tidak boleh melakukan hal itu karena akan terjadi hal yang lebih buruk lagi jika aku melakukan hal bodoh itu.

Mungkin bagi Jason dan Laura itu adalah hal yang bodoh, sangat bodoh. Namun, tidak bagi orang-orang yang berada di posisiku, mereka akan mengerti dan memahami mengapa aku tega melakukan hal itu.

Malamnya, pedebatan hebat mengguncang rumah kami di tengah malam.

"Jason, aku ingin bicara denganmu"

Merasa namanya dipanggil, lelaki bernama Jason itu menoleh ke arahku, menatapku dengan wajah datar dan pandangan yang tak suka padaku.

"Mengapa kau masih menjalin hubungan dengan wanita itu?"

Jason meletakkan ponselnya yang bewarna hitam itu disampingnya, mencondongkan tubuhnya sembari melipat jemari. Ia menatapku dengan tajam dan juga seringainya yang sudah lama tak pernah kulihat.

"Memangnya siapa yang mengatakan jika aku akan mengakhiri hubungan itu?"

Refleks, aku mengehela napas panjang, menguatkan tubuhku yang hampir terhuyung. Aku sungguh lemah, Jason hanya mengatakan hal itu padaku, namun kedua kelopak mataku sudah terasa basah.

"Apa maumu?" ujarku sembari menggigit bibir bawahku agar tangis tak pecah seketika

"Bersenang-senang"

Lagi, ia tersenyum miring, mengabaikan diriku dan melanjutkan bermain ponselnya yang bewarna hitam itu. Seketika, tangisku pecah mendengar perkataannya.

Lantas, aku tetap mencoba menguatkan diriku, bangun dari tempatku duduk dan berjalan menghampiri Jason. Kurampas ponsel hitamnya itu, aku ingin dia fokus hanya pada perbincangan kami, bukan pada yang lain.

"Aku serius, Jason!" ujarku sembari menatapnya tajam

Lelaki itu tak mengindahkan perkataanku, ia justru merampas kembali ponsel miliknya dariku. Jemarinya yang kekar itu meremas lenganku, membuatku menahan kesakitan. Sekuat tenaga kudorong tubuhnya, mencoba mempertahankan ponselnya agar tetap ada padaku. Namun, semuanya sia-sia, ia berhasil mengambil ponsel itu dariku.

"Aku juga tak pernah main-main dengan ucapanku!"

Kalimat itu yang mengakhiri perdebatan kami malam itu. Setelah ia mengatakan hal itu padaku, tangisku langsung pecah. Aku sudah tak tahan untuk melanjutkan hubungan ini. Komunikasi kami sudah hancur. Tak ada yang bisa dipertahankan lagi.

"Andrea!"

"Ya?"

"Bisakah kau antar pesanan ini ke meja yang ada disana?"

"Ah tentu!"

Aku segera mengambil pesanan itu dan langsung mengantarnya tanpa basa-basi lagi. Ah, lupakan mengenai malam mengerikan itu. Aku sudah muak mengingatnya, karena perbuatannya juga keesokan harinya aku mendapati lenganku memar bewarna biru. Aku yang tak ingin membuat masalah baru, aku mencoba mengabaikan hal itu dan kembali melanjutkan hari-hariku seperti biasa.

"Permisi, ini pesanannya"

Pengunjung yang kuketahui berjenis kelamin laki-laki itu meletakkan ponselnya dan menoleh ke arahku.

"Andrea?"

Merasa namaku dipanggil, aku mengalihkan tatapanku pada pengunjung di hadapanku ini. Betapa terkejutnya diriku, mendapati seseorang yang sudah lama tidak aku temui.

"Matt?"

*****

"Bagaimana kabarmu?"

Lelaki bernama Matt itu menyodorkan secangkir espresso padaku, lantas aku menerimanya dan mencicipi espresso yang ia pesan untukku itu. Nikmat.

"Baik. Bagaimana denganmu, Matt?"

"Aku juga baik - baik saja. Sudah lama kita tak berjumpa"

Aku membalasnya dengan mengangguk, mengaggap jika aku setuju dengan perkataannya.

Semenjak Matt menyadari jika aku menjadi pelayan restoran di tempat itu, ia segera menghubungi Anna dan meminta izin padanya untuk membawaku keluar. Seperti biasa, Anna yang anaknya tak mau ribet itu segera mengizinkannya tanpa basa - basi. Lantas, Matt langsung membawaku ke salah satu cafe favorit kami.

Cafe dimana ia memberikan informasi padaku tentang lowongan pekerjaan. Cafe dimana asal mula aku dan Jason dipertemukan.

"Mengapa kau menjadi pelayan restoran? Bukankah kau sudah menikah dengan pengusaha sukses itu?"

Sejenak, aku menghentikan aktivitasku yang tengah menyeruput espresso tersebut, meletakkan cangkir dan menatapnya dengan tatapan sendu.

"Maksudmu Jason?"

Aku mengangguk lemah.

"Aku sudah hancur"

Matt yang tengah menyantap onion ring pesanannya itu terbatuk, menatapku dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

"Hancur?"

Lagi, aku hanya bisa mengangguk dan tubuhku terasa lesu. Rasanya benteng pertahananku akan runtuh ketika aku kembali mengingat dan membuka luka yang masih membekas di hatiku ini. Bahkan, bisa saja luka itu semakin mendalam dan semua bayangan buruk yang ada di benakku akan benar-benar terjadi.

Perceraian.

"Jason main gila dengan wanita lain"

Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang