3.0

240 4 0
                                    

Hari demi hari terus berlalu, semuanya berjalan sangat cepat. Aku mengawali aktivitasku seperti biasanya. Menyiapkan semua kebutuhan yang keluargaku butuhkan.

Mulai dari seragam suamiku, seragam sekolah anak-anakku dan juga sarapan mereka. Tak lupa, aku juga selalu menyiapkan bekal bagi kedua anakku. Beno dan Lea.

Dua bocah kecil yang selalu membuatku tersenyum. Entahlah, ketika aku melihat mereka, aku selalu teringat akan masa laluku ketika bersama Jason. Melewati hari-hari yang terasa suram dan belajar untuk mengubah rasa suram itu menjadi lebih bewarna.

Semuanya aku dapatkan dan aku pelajari setelah kami memutuskan untuk bersatu, menjalin sebuah hubungan yang sederhana. Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk meresmikan hubungan kami untuk lebih serius.

Setelah aku selesai menyiapkan sarapan dan bekal untuk keluargaku, aku kembali berjalan menuju kamar, membangunkan Jason merupakan kebiasaanku setiap harinya.

Aku tau, mungkin bagi sebagian banyak orang, mendapat sinar matahari di pagi hari saja sudah cukup membuatnya terbangun. Namun, tidak bagi Jason. Nyatanya, ia selalu memintaku untuk membangunkan dirinya tepat waktu.

Aku tak tau mengapa ia tak mau menggunakan alarm. Apakah alarm juga tidak berhasil membuatnya terbangun? Aku tidak tau.

Bibirku membentuk sebuah lengkungan samar ketika mendapati lelaki itu masih tertidur pulas. Terlihat ia enggan untuk bangun atau hanya membuka mata. Aku tau, setiap orang pasti tidak ingin diganggu saat tidur karena itu sangat menjengkelkan.

Namun, Jason-lah yang meminta diriku untuk membangunkannya setiap hari.

Dan akhirnya aku hanya bisa menurutinya karena itu adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan, lagi pula itu adalah hal biasa, sama sekali tidak memberatkan diriku.

Jemariku terulur untuk mengguncangkan tubuhnya perlahan. Perlahan demi perlahan lelaki berkaus abu-abu itu membuka kedua manik matanya, ia mendapati diriku ketika ia membuka matanya pertama kali.

Aku melempar senyum hangat pada lelaki itu, mengusap dahinya sembari meninggalkan beberapa kecupan singkat disana.

Namun, Jason kembali menutup kedua manik matanya ketika aku mengecupnya. Bahkan, ia memalingkan wajahnya dan memunggungiku.

Dahiku sedikit berkerut melihat tingkahnya yang tidak biasa. Selama aku menikah dengannya, ia sama sekali tidak pernah menolak kecupan hangat yang selalu aku berikan padanya setiap pagi.

Jemariku kembali terulur menggucangkan tubuhnya perlahan sambil sesekali aku menyebut namanya, berharap jika ia segera membuka matanya.

Aku takut jika ia akan terlambat datang ke kantor karena aku tau prinsip hidupnya. Meskipun sebagai pimpinan, bukan berarti ia dapat datang seenaknya, kalimat itulah yang ia ucapkan padaku ketika aku mendapatinya telah bersiap-siap di pagi hari.

Aku tak tau apa yang terjadi dengan lelaki dihadapanku ini. Ini tidak seperti Jason yang aku kenal, lelaki yang selalu tepat waktu dan tak pernah menunda pekerjaan.

Namun, hari ini Jason sangatlah berbeda. Aku mulai merasa jika menyembunyikan sesuatu dariku dan membuatnya seperti ini, berbeda.

Aku terus berusaha membangunkan lelaki berambut coklat gelap itu sambil sesekali aku menyisir surainya yang sangat lembut. Tak lupa, aku juga menyebut namanya dan berharap ia segera membuka matanya.

Sejenak, aku terdiam, menatap lelaki yang tengah tertidur pulas. Aku mulai merasa jika mungkin saja Jason sedang lelah dan ia tak ingin diganggu. Jadi, kuputuskan untuk meningglkannya dan membiarkannya tidur. Lebih baik, aku kembali menyiapkan keperluan kedua anakku.

------

Siang ini, aku tengah bersiap untuk mengantarkan makan siang pada suamiku, Jason. Jemariku menutup kotak bekal bewarna merah itu. Kedua manik mataku bergerak kesana kemari, mengecek kembali semua yang akan kubawa.

Baiklah, semuanya sudah siap. Aku menghela napas panjang sembari tersenyum, aku sudah tak sabar untuk memberikan makanan ini pada Jason. Tak pelu menunggu lama, aku segera memasukkan kotak bekal itu ke dalam tas dan botol yang berisi jus mangga itu.

Setelah semuanya selesai, aku segera meraih tas itu dan bergegas menuju kantor. Kedua kakiku melangkah menuju mobil hitam yang terparkir di halaman. Aku segera meminta Pak Dodit, sopir kami untuk mengantarku ke kantor.

Semuanya berjalan seperti biasa. Pagi tadi, Jason akhirnya memutuskan untuk berangkat kerja. Seperti biasanya, ia tak ingin untuk menjadi manusia malas, ia tak ingin dicap sebagai bos yang tidak bertanggung jawab yang bisanya hanya menyuruh saja.

Aku tau ia masih sangat lelah, terlihat dari kantung matanya yang sudah seperti panda. Namun, lelaki itu tetap bersikeras dan tak ingin mendengarkanku. Aku senang mendengar keputusannya tadi pagi, karena memang seperti itulah Jason yang kukenal.

Ternyata pikiranku salah. Jason sama sekali tak pernah berubah. Ia masih sama, Jason yang keras kepala sekaligus pekerja keras. Itulah alasannya mengapa aku menyukainya.

Lima belas menit telah berlalu, mobil yang aku tumpangi sudah sampai di depan kantor yang sejak tadi telah aku nanti. Tak sabar, aku segera berlari menuju gedung menjulang tinggi itu.

Beberapa orang diruangan itu menyapaku dengan ramah. Aku pun membalasnya dengan ramah. Aku tak ingin menjadi wanita angkuh karena sudah menikah dengan Jason. Bagiku, aku dan para pegawai disini memiliki derajat yang sama.

Setidaknya, seperti itulah menurutku dan Jason. Kami tidak suka dibedakan. Aku pernah mendapati Jason tengah berbincang ringan dengan para pegawainya. Tak jarang, aku juga melihatnya tertawa renyah dihadapan mereka. Seakan tak pembatas diantara bos dengan pegawai. Dan aku menyukainya.

Kedua kakiku melangkah menuju lift yang berada di ujung lorong, segera memencet tombol dan seketika pintu lift pun terbuka. Aku dan beberapa gerombol orang segera masuk ke dalam lift dan pegawai disana mempersilahkan diriku untuk memencet nomor lantai terlebih dahulu.

Aku agak tersenyum kikuk melihat perilaku khusus yang mereka berikan padaku. Aku tak suka diperlakukan khusus seperti itu. Namun, tak apa, selagi mereka tidak terlalu berlebihan padaku, tak masalah.

Beberapa menit telah berlalu, lift yang kami naiki pun terhenti. Pintu lift terbuka lebar, tepat dimana lantai yang ingin kutuju. Sejenak aku menoleh ke semua orang yang masih berada di lift, tersenyum simpul pada mereka dan setelahnya aku berlalu meninggalkannya.

Aku kembali melangkah menuju ruangan yang berada di sudut lorong. Dengan riang dan senyum lebar yang mengembang, aku mendapati ruang kerja Jason yang kosong.

Tak mau ambil pusing, aku mendudukkan diriku di salah satu sofa yang berada disana. Menunggu dan terus menunggu.

Menit demi menit terus berlalu. Jam demi jam terus berlalu. Tubuhku pun sudah agak lemas menunggu lelaki itu. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku tak tau kemana perginya lelaki bernama Jason itu. Sudah berkali-kali pula aku menelpon dirinya. Awalnya aku hanya diam dan berpikir jika ia sedang ada rapat.

Namun, ketika aku bertanya pada salah seorang pegawai, ia mengatakan bahwa Jason sedang tidak ada rapat. Setelahnya, aku pun menelpon lelaki itu beberapa kali. Namun, tak kunjung ia jawab.

Aku juga tak mendapati sekretaris suamiku itu. Wanita berambut hitam legam sepanjang bahu itu. Entahlah, ini semua terlihat aneh.

Kemana perginya sekretaris itu dan juga Jason?







Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang