4.0

198 3 0
                                    

Dua bulan telah berlalu sejak kejadian saat itu, kejadian dimana aku tidak menemukan Jason dan sekretarisnya di kantor.

Pada awalnya aku mencoba untuk berpikir positif mengenai kepergian dua orang itu. Aku tak mau ambil pusing dan akhirnya aku memutuskan untuk menunggu Jason di ruangannya.

Waktu demi waktu terus berlalu, tak terasa aku sudah menunggu dirinya kurang lebih dua jam. Sudah dua jam aku menunggunya hingga tertidur. Selama dua jam juga aku membiarkan bekal yang aku bawa terbuang sia-sia.

Aku terbangun dari alam mimpi ketika ponselku berdering. Sontak, aku membuka mata dan mencari benda yang berbunyi nyaring itu.

Setelah mendapatkan benda mungil tersebut, aku segera membukanya dan terpampang dengan jelas di layar ponselku nomor tak dikenal.

Lantas, aku mengangkatnya, setidaknya hal itu dapat menghapus rasa penasaranku terhadap nomor yang tak dikenal. Aku menjawab panggilan tersebut dan betapa terkejutnya diriku ketika seorang guru mengatakan bahwa Beno belum dijemput sejak tadi.

Guru itu juga mengatakan bahwa Beno sudah menunggu kurang lebih selama dua jam, sekolah pun juga sudah sepi, semua guru maupun murid sudah pulang. Lantas, aku mengatakan pada orang tersebut bahwa aku akan segera ke sekolah Beno dan mengucapkan terima kasih atas informasinya.

Aku mendengus kesal mendengar hal itu. Bagaimana aku bisa lupa menjemput Beno dan membiarkannya sendirian? Sungguh, aku merasa bahwa aku bukanlah ibu yang baik untuknya.

Pada saat itu, aku hendak mengajak Jason untuk ikut denganku. Namun, pada saat aku mengedarkan pandangan, aku tidak mendapati lelaki itu. Bahkan, aku berputar-putar, membuka setiap ruangan yang ada disana. Namun nihil, aku masih tidak dapat menemukan lelaki itu.

Akhirnya, kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu dan segera menemui Beno karena kuyakin jika ia sudah ketakutan. Aku tau betul jika Beno merupakan bocah yang tak dapat jauh dari orang tuanya, terutama Jason.

Setiap harinya, bocah itu selalu mencari lelaki itu. Mengajaknya bermain bahkan ditengah malam sekali pun. Namun, Jason selalu menurutinya dan bermain dengan Beno. Hampir setiap malam aku melihat mereka berdua bermain dengan riang.

Hampir setiap malam juga, aku melihat wajah Jason yang kelelahan tengah menggendong tubuh mungil Beno. Hampir setiap malam aku melihat semua itu. Setelahnya, aku hanya bisa bertanya pada Jason apakah lelaki itu lelah atas semua keinginan Beno di tengah kesibukannya.

Jason mengatakan tidak padaku. Bahkan, ia berkata bahwa ia sangat senang melakukan itu semua. Memang semua itu melelahkan bagi tubuhnya namun tidak bagi jiwanya. Menurutnya, bermain dengan Beno justru dapat menyejukkan hati dan pikirannya.

Aku sempat terkagum mendengar penjelasan yang ia berikan padaku. Seakan tak percaya dengan semuanya, aku menyakiti diriku sendiri dan meyakinkan diriku bahwa semua yang Jason katakan adalah nyata, bukan halusinasiku saja.

Jason juga berkata bahwa sebenarnya ia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Beno dan juga Lea. Jujur, sewaktu ia mengatakan hal itu padaku, ada sedikit rasa sakit di hatiku. Aku merasa bahwa ia tidak membutuhkan diriku.

Namun, ia dapat mengetahui perubahan ekspresiku dengan cepat. Seketika, ia langsung menjelaskan maksud perkataannya. Aku pun juga mencoba untuk tidak egois dalam menjalani kehidupan ini.

Aku sadar, di dalam pernikahan yang kami bangun ini bukan hanya tentang aku dan Jason. Namun, juga tentang Beno dan Lea. Mereka berdua sudah menjadi bagian dalam pernikahan kami. Seharusnya, aku menyadari hal itu dan berhenti untuk bersikap egois.

Namun nyatanya, untuk bersikap tidak egois di dalam sebuah hubungan memang sulit. Kadang, aku merasa iri dengan kedekatan Jason dan Beno. Mereka terlihat sangat bahagia. Sedangkan diriku? Jason justru jarang melakukan hal semacam itu padaku.

Ingin rasanya aku meluapkan semuanya dan melarang Jason untuk melakukan hal itu. Namun, dilain sisi aku harus sadar jika aku kini sudah menjadi seorang ibu. Sangat tidak pantas jika aku harus iri dengan kedua buah hatiku.

Lagi pula, aku juga harus memberi ruang pada Jason ketika ingin melakukan hal yang ia mau. Aku melakukan hal itu karena aku merasa kasihan dengan dirinya yang selalu pulang larut malam. Belum lagi dengan keinginan Beno di tegah malam.

Semua itu tidaklah mudah untuk dilakukan. Mungkin semua orang bisa mengatakan memang seharusnya aku mengerti keadaan suami. Namun, dilain sisi aku juga ingin mendapatkan hakku. Hak dimana Jason dapat membahagiakanku.

Aku mengatakan hal itu bukan berarti aku tidak bahagia dengan semua ini. Hanya saja, aku juga ingin menghabiskan waktu berdua dengannya. Aku ingin seperti pernikahan orang lain yang masih bisa mesra meskipun mereka sudah memiliki buah hati.

Sangat sult bagiku untuk menghabiskan waktu hanya bersamanya. Ketika aku meminta untuk pergi hanya berdua saja, Jason selalu berkata jika kita harus membawa Beno dan Lea. Alasan Jason berkata seperti itu supaya kita serumah bisa berlibur bersama.

Tapi bukan itu yang aku mau.

Sudah berulang kali aku mengatakan ketidaksetujuanku mengenai hal itu. Namun, Jason yang keras kepala selalu bersikukuh jika kami harus pergi berempat. Atau jika tidak, kita tidak jadi pergi.

Menyebalkan sekali bukan?

Aku tak tau mengapa setelah menikah pun aku masih harus bertemu dengan sikapnya yang menyebalkan itu. Seakan ia sama sekali tak ingin menghabiskan waktunya hanya berdua denganku saja.

Selalu terbesit kata Beno dan Lea dipikirannya dalam membuat semua keputusan apa pun.

Karena hal itulah aku merasa cemburu dan iri dengan kedua buah hatiku yang selalu menjadi prioritas baginya. Bukannya aku tak suka dengan pemikiran Jason, hanya saja ia juga harus mengerti perasaanku.

Aku pernah menceritakan ini pada sahabatku dan aku meminta pendapat mereka mengenai hal itu. Aku terkejut ketika para sahabatku justru memuji Jason dan berkata jika mereka ingin memiliki seorang suami yang selalu memprioritaskan keluarganya.

Namun, tetap saja aku ingin menghabiskan waktu berdua hanya bersamanya. Itu saja. Apakah aku tidak bisa mendapatkan keinginanku?

Ceklek

Suara pintu terbuka membuatku bangun dari lamunan. Aku menoleh ke asal suara tersebut dan mendapati Jason dengan wajah kusutnya berjalan masuk ke dalam kamar.

Lantas, aku segera menghampiri lelaki itu. Menebarkan senyum sembari melepaskan dasi yang bertengger di lehernya. Aku mencoba menatap kedua manik matanya, namun lelaki itu enggen melihatku. Ia hanya terdiam ketika aku melepas dasi.

"Lelah, hm?" ujarku membuka pembicaraan.

Jason menatapku sekilas sembari mengangguk. Jemariku bergerak untuk melepas satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan, seperti yang biasa aku lakukan padanya.

Baru saja aku melepas kancing pertama, tangan kekar lelaki itu justru menghentikanku. Seakan tak suka dengan apa yang aku lakukan, ia menatapku dengan wajah datar dan berlalu meninggalkanku.

Untuk yang kesekian kalinya, Jason berlaku aneh padaku. Menghindar.

Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang