.....

186 4 9
                                    

Sang mentari mulai menampakkan dirinya, perlahan namun pasti.

Banyak orang yang berlalu lalang di tempat itu. Ramai. Namun, tidak seramai kelab malam. Hanya orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan berada di tempat itu.

Bangunan yang menjulang tinggi dan berada di pinggir jalan. Kadang, tempat itu akan ramai disaat banyak orang membutuhkannya. Namun, tempat itu juga bisa sepi ketika orang-orang tak membutuhkannya.

Bangunan itu tak pernah tidur sama sekali, tempat itu selalu buka dua puluh empat jam. Orang-orang yang memakai pakaian yang sama di tempat itu pun bergantian untuk menjaga tempat itu.

Shift pagi dan shift malam.

Orang-orang itu secara bergantian bekerja di tempat itu sesuai jadwalnya.

Tempat itu adalah tempat yang menyeramkan. Kalian bisa kehilangan seseorang yang kalian sayang di tempat itu. Orang itu tidak akan pernah kembali untuk selama-lamanya. Hanya kenangan saja yang bisa mengingatkan kalian pada orang yang kalian cintai itu.

Sunyi senyap menyelimuti sebuah ruangan yang terdapat seseorang tengah terbaring lemah. Bukan lemah, namun tak sadar. Tak sadar bukan berarti ia sudah tak bernyawa lagi, hanya saja jiwanya tengah tertidur, berkeliaran di alam bebas.

Enggan untuk bangun, jiwa itu seakan sudah nyaman dengan apa yang terjadi padanya belakangan ini. Namun, ia tak sadar bahwa ada banyak orang yang menanti kehadirannya.

Mentari mulai menjulang tinggi. Ruangan itu masih sepi senyap. Lobi pun mulai ramai, jarum jam pun berada di angka sepuluh. Namun tetap saja, tak ada perubahan yang signifikan mengenai orang tersebut.

Semuanya nampak sama sejak satu bulan yang lalu.

Semua yang berawal dari keriuhan menjadi kehampaan yang mendalam. Seakan yang semula tengah berada di puncak kejayaan, kini terhempas begitu saja, tanpa pengaman yang membuatnya akan jatuh dengan sangat keras.

Sakit memang. Namun, rasa sakit itu dapat diobati ketika apa yang kita inginkan dapat kita genggam.

Tidak mudah memang. Namun, inilah realita, semua pasti tidak akan sesuai ekspetasi. Sekalinya sesuai ekspetasi, namun tetap ada yang namanya kepahitan, sekecil apa pun itu.

Decit pintu berhasil membuyarkan ketenangan yang tengah terjadi. Seseorang muncul dari balik pintu bewarna putih itu.

Seorang lelaki dengan kaus bewarna putih dengan sebuket bunga yang berada di tangannya. Lelaki itu masuk tanpa mengetuk, sadar bahwa sekalipun ia mengetuk pasti tidak ada jawaban.

Senyum kecil nampak di wajah yang ditumbuhi rambut halus itu. Mata sayu, wajah yang terlihat kusut, pakaian yang berantakan itu melangkah mendekati seseorang yang terbaring cukup lama.

Kadang, ia bertanya-tanya, apa yang orang rasakan ketika mereka terbaring koma. Senang? Sedih? Bingung? Atau perasaan yang bercampur aduk?

Entahlah, ia belum pernah merasakannya. Mungkin, jika orang dihadapannya itu terbangun, maka ia akan langsung menanyakan mengenai pertanyaan yang selalu mengiang di pikirannya.

Waktu terus berlalu, detik, menit, semuanya berganti begitu cepat. Mentari yang terbit pun kini secara perlahan kembali tidur, berganti dengan sinar rembulan yang mulai terlihat.

Lelaki yang tadinya berwajah bersinar itu, kini sudah kusut. Terlihat kantung matanya yang sudah bengkak dan bewarna hitam itu. Begitu juga dengan buket bunga mawar merah yang semula terlihat segar, kini layu.

Mungkin, ia akan membuang buket bunga itu untuk yang kesekian kalinya. Tak mungkin jika ia memberikan bunga layu pada orang yang ia sayangi. Lantas, setiap ia datang ke tempat itu, ia selalu membawa bunga baru, bunga yang masih segar.

Harapan-harapan yang semula menguatkan dirinya, perlahan demi perlahan harapan itu mulai menghilang. Hanya asa yang kini mulai menguasai dirinya.

Tak ada lagi yang namanya kebersamaan. Tak ada lagi yang namanya tawa. Tak ada lagi yang namanya canda. Tak akan ada kisah cinta mereka. Semuanya sudah tamat.

Dokter sempat bertanya padanya, apakah ia ingin melanjutkan ini semua atau tidak. Saat itu, harapan masih mendominasi, lantas ia berkata bahwa ia akan melanjutkan semuanya. Ia tak ingin mengakhiri hidup wanita itu.

Ia merasa bahwa masih ada secercah harapan yang akan membawa warna di kehidupannya kembali. Ia sangat yakin akan hal itu, bahwa hidupnya tidak akan hampa lagi.

Semua akan kembali berwarna.

Namun, kini harapan itu mulai pupus. Semalam ia berpikir, bagaimana jika ia menghakhiri ini semua. Ia merasa seperti digantungkan, tidak ada kepastian, tidak ada jaminan jika semua yang ia lakukan akan membuahkan hasil.

Ia hanya menunggu dan menunggu, tak bisa menerka apa yang akan terjadi.

Waktu demi waktu ia habiskan hanya untuk melihat wajah wanita yang tengah berbaring itu. Menatapnya dan terus berharap jika wanita itu akan membuka matanya. Memeluknya hangat, menciumnya, dan mengatakan bahwa ia mencintainya.

Lelaki itu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, jemarinya masih setia menggengam jemari mungil wanita itu.

Perlahan namun pasti. Ia merasa jemari mungil itu bergerak. Lantas, ia segera membuka kedua manik matanya. Mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa hal itu bukanlah halusinasi semata.

Benar saja. Jemari mungil itu kembali bergerak. Senyum kebahagiaan terpancar di wajah kusut lelaki itu. Lantas, ia segera memanggil dokter untuk memeriksa wanitanya.

Sementara menunggu dokter datang, wanita pucat perlahan membuka kedua manik matanya. Lelaki yang merasa diberi harapan palsu itu, kini teramat bahagia, melihat wanita yang ia cintai membuka kedua manik matanya setelah sekian lama ia tertidur. Senyum lebar tercetak di wajah tampannya.

Tak perlu menunggu waktu lama untuk sang dokter memeriksa wanita itu. Lelaki paruh baya berpakaian putih itu berkata bahwa pasiennya sudah membaik, hanya butuh beberapa hari saja untuk kembali memulihkan energinya. Lantas, ia meninggalkan kedua orang tersebut dan kembali bekerja.

Wanita itu mengalihkan tatapan pada lelaki di sampingnya. Lelaki yang amat ia rindukan.

"Jason?"

"Iya, sayang. Apa kau menginginkan sesuatu?"

"Aku ingin bertanya sesuatu."

Ia terdiam sejenak, menarik napas sejenak sebelum kembali melanjutkan kata-katanya.

"Apa Laura adalah rekan kerjamu?"

Lelaki itu terlihat bingung. Menatap wanita di hadapannya dengan penuh tanya. Ia sama sekali tidak pernah merasa pernah menceritakan rekan kerjanya bernama Laura itu karena mereka baru saja menjadi rekan kerja selama satu minggu.

"Iya, kami baru saja menjalin kerja sama selama satu minggu. Ada apa? Apa kau mengenalnya, sayang?"

Wanita itu menggeleng lemah. Memejamkan matanya sejenak. "Aku ingin kau memutuskan hubungan kerja itu."

Lagi, ia kembali terdiam. Menarik napas panjang dan menatap lelaki itu dengan tatapan sayu.

"Kumohon. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa keluargaku."

"Jika kau membutuhkan bantuan, William akan bersedia membantumu."

Seakan seperti seorang cenanyang. Wanita bernama Andrea itu berusaha menyelamatkan pernikahannya agar hal-hal buruk seperti yang ia impikan selama iji tidak akan terjadi.

Mimpi mungkin mampu menjadi tanda untuk menyelamatkan kita akan suatu hal buruk yang tidak akan kita ketahui. Namun, tidak sepenuhnya kita perlu percaya pada mimpi. Adakalanya, kita berusaha dan berdoa agar dijauhkan dari hal-hal yang buruk.

TAMAT

Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang