7.0

152 2 0
                                    

Hari ini sudah hari yang keempat belas sejak malam itu dimana aku bertanya padanya mengenai lelaki yang mirip dengannya. Lelaki yang tengah berjalan dengan wanita yang mengenakan gaun selutut bewarna merah muda.

Awalnya aku tidak percaya dan tidak yakin yang aku lihat itu adalah Jason. Namun, melihat tingkahnya malam itu, rasa tidak percayaku sedikit tergoyah.

Malam itu, kami mengakhiri hari dengan rasa amarah. Alhasil, malam itu aku tidur sendiri tanpa sosok Jason disampingku. Aku sama sekali belum pernah mendapat perlakuan seperti itu darinya. Ini adalah yang pertama kalinya bagiku.

Aku dibuat bingung ketika pagi hari aku sama sekali tidak menemukan dirinya. Hanya guling bewarna putih yang selalu setia menemaniku.

Saat itu juga, aku mencari keberadaannya diseluruh penjuru ruangan. Setelah keluar dari kamar, aku memutuskan untuk segera ke ruang kerjanya. Benar saja, aku berhasil mendapati Jason tengah tertidur di sofa yang ada di ruangan itu.

Aku berjalan mendekatinya, menatapnya bertanya-tanya. Apakah sekejam itukah pertanyaan yang aku berikan semalam? Aku hanya ingin tau saja, aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuat hubungan kita menjadi renggang.

Namun, sepertinya Jason tidak memahami apa maksud pertanyaanku. Ia terlalu melebih-lebihkan.

Jemariku terulur untuk mengelus surainya yang bewarna coklat gelap itu, sangat tebal, aku menyukainya. Tubuhku membungkuk, mensejajarkan dirinya yang tengah tertidur pulas.

Kutatap lekuk wajahnya yang terpahat sempurna itu. Aku sama sekali tak menyangka jika akan menikah dengan lelaki sepertinya. Dulu, aku pernah berpikir jika aku tidak akan peenah menikah seumur hidup karena diusiaku yang sudah terbilang cukup, aku belum pernah menjalin sebuah hubungan. Namun, Tuhan mengatakan hal lain. Ia sudah merencanakan semuanya, kita tak perlu mengkhawatirkan apa pun.

Tanganku terhenti ketika sosok itu membuka kedua manik matanya, memperlihatkan iris matanya bewarna coklat gelap yang sangat indah itu. Aku memberikan senyuman lebar padanya, seperti yang biasa aku lakukan padanya.

Namun, Jason justru memalingkan wajahnya dan kembali terlelap, melanjutkan alam mimpi. Hal itu sedikit membuatku merasa aneh, sungguh, selama kami hidup dalam bahtera pernikahan, ia sama sekali tidak pernah seperti itu padaku.

Aku mulai merasa jika ia ingin menghindar dariku. Namun, apa yang salah denganku?

Aku harus segera menemukan jawabannya dan aku harus bisa merubah semua yang menurutnya salah. Atau hal yang membuatnya merasa risih.

Setelahnya, aku mulai mengguncangkan tubuhnya pelan. Berharap jika ia membuka mata. Namun, lagi lagi ia kembali menghindar dariku.

Ia menyingkirkan jemariku, ia memunggungi dan kembali terlelap. Namun, semangatku tidak terhenti begitu saja. Aku ingin minta maaf padanya mengenai hal semalam dan berharap jika ia hubungan kami kembali seperti semula.

Aku terus mengguncangkan tubuhnya. Aku berbuat seperti itu bukan bermaksud untuk mengganggu jam istirahatnya hanya saja rasa bersalah mengenai semalam belum terobati. Namun, hal yang selanjutnya terjadi justru membuatku semakin merasa bersalah.

"Pergilah!"

"Aku tak ingin melihatmu!"

Hatiku terasa perih ketika mendengar perkataannya. Seakan ia sangat mrmbenciku bahkan ia tak ingin melihatku. Padahal, semalam hanya terjadi perdebatan kecil saja diantara kami. Namun, apakah dampaknya harus sebesar ini?

Aku meneguk salivaku susah payah, pikiranku kosong. Aku masih mencoba mencerna semuanya. Lantas, aku pergi meninggalkannya dan mencoba terlihat di depan Lea dan Beno.

Sudah dua minggu berlalu, namun ketika aku mengingat kejadian itu, luka dihatiku masih membekas. Perih namun tak berdarah. Aku sama sekali tak menyangka jika Jason dapat berkata sejahat itu padaku.

Beno dan Lea sama sekali tidak mengetahui mengenai pertikaian diantara kami. Mereka lebih sering menghabiskan waktunya bersama teman-temannya. Oleh karena itu, mereka tidak begitu peka mengenai perubahan sikap kami yang sedikit berbeda.

Bukan kami. Namun, Jason, ayahnya.

Setiap harinya aku selalu mencoba untuk bersikap tenang seolah tak pernah terjadi apa pun diantara kami. Namun, Jason justru bersikap sebaliknya.

Ia justru bersikap menjauh dan memperlihatkan pada anak-anak jika memang sedang terjadi masalah diantara kami. Aku tak tau apa yang ada dipikirannya hingga harus bertingkah seperti itu.

Aku pernah membicarakan hal ini padanya. Aku berkata bahwa kita sebaiknya berkompromi untuk menutupi rasa tegang ini dihadapan Lea dan Beno dengan alasan aku tak ingin mereka tau jika kedua orang tuanya sedang tidak dalam kondisi baik.

Aku tak ingin mereka merasa sedih akan hal ini. Oleh karena itu, aku sangat memohon padanya untuk merubah sikapnya. Setidaknya hanya untuk di depan Beno dan Lea.

Namun, jawaban yang ia berikan sangat tak terduga. Ia sangat tak setuju dengan semua pemikiranku mengenai masalah ini. Ia berkata justru sebaiknya Beno dan Lea tau mengenai pertikaian yang terjadi diantara kami.

Sebenarnya aku setuju mengenai hal itu jika kita tak perlu bersandiwara diantara mereka. Namun, masalahnya adalah usia mereka terlalu dini untuk mengetahui hal ini. Aku tak ingin mereka merasa terasingkan hanya karena pertiakain diantara kami yang mampu merusak hubungan sosial mereka.

Aku sudah menjelaskan panjang lebar mengenai semua pemikiran yang ada diotakku. Namun, Jason tetap menolak untuk bersandiwara dan tetap bersikukuh untuk tidak melakukan sandiwara apa pun.

Aku sempat merasakan kesal dengannya. Hari ini, aku sampai memohon padanya agar ia mengikuti saranku. Aku tak masalah jika ia masih marah denganku. Namun, aku lebih tak tega jika Beno dan Lea harus mengetahui jika kedua orang tuanya sedang tidak baik-baik saja.

Alhasil, kami masih dalam kondisi yang menegangkan seperti saat ini. Aku tak tau apa yang begitu membuat Jason marah padaku hingga harus berakhir menyedihkan seperti ini. Sampai saat ini, aku selalu berusaha mencari jawaban atas penyebab pertikaian diantara kami.

Setiap harinya, aku selalu berusaha menghormatinya sebagai suami dan kepala rumah tangga. Aku selalu berusaha menghormati semua keputusannya. Walau sebenarnya, tidak semua keputusannya adalah yang terbaik.

Dulu, kami sering berdiskusi jika ia hendak membuat sebuah keputusan. Ia selalu menanyai pendapatku mengenai keputusan yang hendak ia buat. Namun, kini semuanya berbeda. Ia memutuskan semuanya sendiri. Tanpa pendapat dariku. Bahkan, kurasa aku sudah tidak dibutuhkan.

Tugasku hanya selalu membuat kedua buah hatiku tersenyum walau ada rasa sakit yang selalu mendera.

Married With Mr. Dangerous Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang