≡6≡

749 48 22
                                    

Aku tidak tau akhirnya akan seperti apa, tetapi yang aku tau rencana tuhan sangat luar biasa.

Arley
﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Arley pov

Hanya suara dentingan suara sendok yang terdengar saat ini. Iya, sekarang lagi makan malam. Aku sudah selesai makan dan beranjak akan mencuci piringku.

"Arley, ini piring ayah juga dicucikan. Gelas kamu itu juga cuci. Punya adik juga cucikan." perintah ayah. Siaga 1 dimulai.

Aku langsung mengambil piring dan gelas kotor dan segera mencucinya. Badanku sudah lelah ingin segera menggapai mimpi, iya tidur. Tapi--

"Kak! Ini Cuci sekalian. Kan kakak tangannya dah basah tuh, nih sekalian." Albi menjulurkan tangannya yang berisi tumpukan piring kotor. 

Aku menatapnya datar. "Cuci sendiri!  Yang disuruh kan kamu." tolakku tegas.

"Kak! Ini kan tugas cewek. Aku kan cowok." sombongnya. Adek siapa ini ya allah.

"Ga ada tugas cowok tugas cewek! Semua sama aja. Titik." sarkasku. Enak aja, pikiran macam apa itu?  Cewek kerjanya disuruh dirumah aja gitu? Nyuci? Nyapu? Ngepel? Jadi babu?  Terus cowok engga---

"Kerjaannya Tengkar terus!  Ga capek hah! Albi kalau disuruh jangan malah nyuruh!  Arley juga, sama adiknya ya ngalah. Dibantu adiknya itu." Siaga 1 naik siaga 2.

Aku tak terima. Kenapa jadi aku yang disalahin?. "kok aku sih, kan Al---"

Brakk

Ayah memukul meja dapur dengan keras. Kilatan kemarahan mulai memancar. " Kalau dibilangi. Diem!  Salah juga. Ga sadar masih an?  Mikir!  Sudah besar gitu lo!  Gausah kaya anak kecil."

Aku melihat sekilas pada ayah. Langsung ku ambil piring yang ada ditangan Albi. Dengan cepat aku mencuci piring dan gelas kotor. Capek sudah, Percuma. Bicara saja salah,  Mengeluh tak ada guna. Lebih baik kerjakan apa yang diperintahkan. Sudah biasa bukan? 

Suasana rumah menjadi tegang. Ah, biasa. Setelah selesai mencuci aku segera bergegas menuju kamarku. Ingin mengistirahatkan badan. beserta hati dan pikiran.

Baru beberapa langkah ingin menuju kamarku. "Arley, sini." ayah memanggilku. Duh, matilah. Apalagi habis ini? Ini mah bukan siaga lagi tapi sudah bahaya.

"Duduk." titah ayah. Aku duduk sedikit menjauh dari ayah.

"siapa suruh duduk disana? Kalau dipanggil itu duduk depan sini lo!" Ayah menunjuk tempat duduk yang tepat berhadapan dengan ayah.

Aku menatap kursi di depan ayah. kursi itu seketika menjadi menakutkan. "Selamatkan hambamu ini ya allah. Semoga ga panjang siraman rohani di malam hari ini ya allah. Hamba sudah ingin menggapai mimpi ya allah. Kabulkan--"

Mama mendorongku untuk duduk di hadapan ayah. "Gausah cari masalah." bisik mama setelah aku duduk dihadapan ayah. 

Aku menghela nafas. "Baru segitu, beban hidupmu kaya besar banget." sindir ayah.

Aku menghela nafas sekali lagi dengan pelan agar tak terdengar. "Duduk yang tegap Arley!  Jangan bungkuk punggungmu itu. Bungkuk lagi, melayang tangan ini. Atau ganti tas sekolahmu dengan tas ransel ayah?!" peringat ayah.

Dengan sekejap aku langsung duduk tegap. "Ya masa aku sekolah pakai tas ransel ayah yang loreng semua gitu?  Terus bahannya kaku. Besar tasnya daripada orangnya. Tidak, terimakasih ."

"Ley, mau sma mana? " tanya ayah serius.

Aku terdiam sebentar. "Gatau,  apakata nanti. Kenapa?  Ayah mau pindah atau mau tugas?" tanyaku balik.

"Kamu itu harus punya rencana. Harus punya tujuan. Gimana kalau sma taruna?  Tadi ayah ga sengaja bertemu Fahmi, teman ayah. Anaknya masuk sma taruna Cakra Yudayana." ujar ayah. Ayah terdiam menatapku. Aku membalas tatapan ayah.

"Terus?" tanyaku berpura-pura tidak paham. Sebenarnya aku paham, ayah berharap aku mendaftar dan masuk sma taruna seperti anak om Fahmi itu.

"Waktu itu, kamu katanya pingin jadi pasnas yang ngibarin di istana sana. Ayah lihat kamu tertarik di militer. Daripada sia-sia, langsung aja masuk sma taruna. Sama keren nya kok." (paskibra nasional)

"Aku ingin jadi pasnas waktu sma nanti soalnya aku waktu itu lagi suka banget sama paskibra ayah. Aku cuma kagum dan spontan aja kok, Bukan berarti aku tertarik sama militer." jelasku.

Ayah memperbaiki posisi duduknya. "Terus, ayah tanya sekarang. Cita-citamu apa? " tanya ayah serius.

Aku terdiam dan berpikir. Selama ini aku tidak terlalu memikirkan cita-cita. Buat apa?  Terkadang cita-cita dan realita berbanding terbalik bukan?

"Ayah mau aku masuk tentara juga?" tanyaku.

"Ayah ga maksa kamu, ayah kan saran. " jawab ayah enteng.

"Ga, kalau kata mama mending Arley ikutin arus aja. Gausa dibentuk jadi tentara lah yah. Perempuan juga." Mama datang dan memberikan secangkir teh pada ayah.

Ayah memang sudah ga marah lagi. Tapi topik yang dibicarakan membuat otakku terus berpikir. Lihat sekarang, perbedaan pendapat antara mama dan ayah.

"Ayah ga maksa arley ma. Kan ayah saran, ayah lihat arley suka paskibra. Daripada nanti salah mendidik, masukkan saja sekalian ke militer. " jelas ayah pada mama.

"Nak, kamu kalau masuk kesehatan aja gimana?" tanya mama sembari menggenggam tanganku.

"Kesehatan?" aku memiringkan kepalaku. Berandai. Kesehatan itu, Perawat?  Oh, tidak.  Aku tidak sesabar dan sebaik mbak perawat rumah sakit. Farmasi? Kaya kakak?  Ha? Hafalan buku obat yang bejibun? Nulis laporan sampe tengah malem?  Katakan TIDAK untuk farmasi, atau Dokter?  Prakteknya lihat mayat? Aku bergidik ngeri.

Aku menggelengkan kepalaku kuat. "Enggak ma." tolakku tegas. Mama langsung lesu, sepertinya kecewa. "tapi bisa jadi cadangan sih, tapi opsi paling terakhir." sambungku. Raut wajah mama langsung sumringah.

"Iya gapapa, mama tau kok nak."

Aku tersenyum. "Ayah mau aku daftar mana? " tanyaku.

"Sama seperti anak Fahmi, Sma taruna Cakra Yudayana. Sebelum masuk sma taruna Cakra Yudayana kamu harus tes dulu,  tesnya hampir sama seperti tes masuk tni. " jawab ayah yakin.

Aku menautkan kedua alisku. Ini membuatku stress. "Oke. Aku ikut kata ayah. Tapi aku masih mikir." putusku dan langsung beranjak pergi ke kamarku.

°°°
Tubuhku lelah saat ini. Yang osis, ujian, belajar dan sekarang ditambah mau daftar sma taruna?

Aku merebahkan tubuhku di kasur tercinta. Melihat langit-langit kamar yang hijau polos. Apa iya sekarang sudah waktunya aku serius mengejar cita-cita?  Meninggalkan semua kenyamanan?  Dan keluar zona nyaman? 

Aku tak tau cita-citaku apa. Selama ini aku hanya mengikuti arus yang terjadi. Aku ga tertarik jadi tenaga kesehatan, tapi sebenarnya aku juga ga tertarik dengan militer. Tapi aku tak ingin menolak dan mengecewakan ayah dan mama. Terus aku tertarik apa sih? Ahh, memikirkan ini membuatku kesal.

Apa aku sudah benar mengikuti apa yang ayah harapkan?  Apa aku bisa menjalani ini semua?

.
.
.
.
.
Hay hayyyy! 

Gimana nih, Arley lagi bingung...

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ♡

☜Vote+Coment☞

HARTLEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang