≡7≡

723 47 5
                                    

Arley pov

Suara Adzan Subuh membangunkanku. Sepertinya aku kemarin tertidur setelah memikirkan perkataan ayah. Aku menggeliat dan langsung beranjak dari kasur tercinta sebelum komandan menyerang dengan bom yang langsung masuk ke dalam relung hati terdalam.

Baru saja aku membuka kenop pintu, Mama sudah tepat di depan pintu. "Mama kira belum bangun, biasanya aja dibangunin." sindir mama.

Aku mengabaikan sindiran mama dan langsung menuju tempat wudhu untuk menunaikan shalat subuh. Wajar, jika masih pagi begini nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Mataku saja masih terpejam, aku hanya mengandalkan indra perabaku untuk menuju tempat wudhu. Setelah wudhu baru mata ini akan terbuka.

Aku tak melihat ayah yang biasanya akan menyemir sepatunya. "Ayah kemana ma?" tanyaku pada mama yang sedang memasak di dapur.

"Kerja." jawab mama singkat.

"Sepagi ini?" heranku. Aku menepuk jidatku. Aku selalu lupa kalau ayah tentara. Pasti kalau tidak ada hal penting ya, pasti ada yang membutuhkan. Ada yang butuh kan juga penting ga sih?  Semakin di pikir semakin rumit, yasudahlah.

"Cepat mandi Arley,  berangkat pagi atau mau terlambat sekolah? Naik angkot semua nanti jalan sama Albi. Kakak nanti naik sepeda motor sendiri." perintah mama.

Aku mengangguk tanda paham dan segera bersiap ke sekolah.

●●●●●

"Ma, Arley sama Albi berangkat dulu." teriakku yang sudah siap memakai sepatu dan Albi yang sedang mengomel di depan pagar karena harus berangkat sepagi ini.

"Arley tunggu!" teriak mama dari dalam rumah. Aku menunggu mama keluar dari rumah.

"Kenapa ma?" tanyaku.

"Mama lupa, kata ayah kamu. Kamu disuruh cari informasi sendiri tentang sma taruna itu." ujar mama.

"iya nanti Arley cari sendiri." balasku dan langsung mencium punggung tangan mama untuk berpamit.

Aku menatap Albi. Lihat dia sedang menendang-nendang pagar rumah. Coba ada ayah, ga akan berani dia begitu. Kalo ga kena sikap duduk siap dengan segala siraman atau sesuatu yang akan melayang.

"Bi, salim dulu!" peringatku pada Albi.   Dia langsung menuju mama dan berpamitan.

"Albi, gausah nakal. Diterima apa adanya. Cowok harus mandiri gausah manja." nasihat mama melihat albi yang merajuk.

Albi mendengus kesal. "iya iya."

"Kak, adiknya dijaga. Jangan bertengkar di jalan. Malu dilihat orang." pesan mama yang hanya aku balas dengan anggukan kepala.

Aku menarik tangan kanan Albi dan melangkah keluar rumah. "Berangkat dulu ma... Assalamualaikum!" teriak Albi sambil melambaikan tangan kirinya.

Selama perjalanan keluar asrama aku menarik tangan Albi. Lihat, lambat sekali dia jalan. Ingin ku geret atau gelundungkan saja si Albi yang manja.  Tapi aku masih ingat, kalau dia adalah adikku ah--bukan dia pengadu iya, comberan eh, combean.

"kak!  Pelan-Pelan kalau jalan kenapa sih. Capek kak." keluh Albi. Aku mengambil botol airku dan menggulurkan padanya.

Dia meneguk setengah air botolku. "Makasih kakak!" mudahkan membuat Albi tidak mengeluh lagi? Adik siapa dulu. Coba aja kalau ngeluh lagi tak segan-segan kaki ini melangkah menjauh dan meninggalkannya.

"Kakak lama! Ayo kak... Ditunggu abang goyang." seru Albi yang sudah di ujung zebra cross dan siap menyebrang.

Aku mengenggam tangannya agar aman dan melintasi zebra cross.

HARTLEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang