Baru saja Mark duduk di sofa empuk apartemennya ketika tiba-tiba layar ponselnya dipenuhi oleh ikon telepon rumah berwarna hijau dan merah serta wajah Heerin. Laki-laki itu mendengus kala mendengar Heerin meminta dirinya untuk datang ke taman yang dekat dengan apartemen sepupunya tersebut.
Meski digelayuti lelah, Mark tetap menurut karena ia tahu sekarang Heerin benar-benar membutuhkannya.
Di depan, tepat di sebuah bangku besi bercat putih, Heerin terduduk sembari menunduk lesu. Tangannya nampak memainkan sebuah kunci.
"Woy!" Mark menepuk pundak Heerin, yang otomatis membuat wanita itu tersentak kaget.
"Ih, lo mah ngagetin!" Heerin berteriak kesal lalu wajahnya seketika merengut, membuat Mark tidak tega.
"Ya maaf, habisnya muka lo kayak orang paling putus asa di dunia," kata Mark sambil mendudukkan diri di samping sepupunya tersebut. Heerin tidak membalas, kini ia tengah beringsut mendekati Mark lalu menyenderkan kepalanya di bahu laki-laki itu.
Untungnya hari ini taman tidak ramai pengunjung, karena taman ini hanya dikhususkan untuk penghuni apartemen yang mayoritasnya adalah para penggila kerja. Jadi, kecuali di hari Minggu atau hari libur lainnya, taman akan selalu nampak sepi.
"Lo kenapa nyuruh gue ke sini?" tanya Mark dengan nada lembut sembari tangannya mengelus puncak kepala Heerin. Ya, Mark kadang bisa jadi semanis itu.
Heerin menunjukkan kunci di tangannya. "Papa baru beliin gue mobil. Tolong ajarin gue dong," pinta Heerin tanpa menatap wajah Mark.
Mark mengernyit sembari berusaha menatap langsung wajah Heerin. "Lo ... lagi ngerencanain apa sekarang?" tanyanya dengan wajah serius.
Heerin mengendikkan bahu. "Nggak ada rencana apa-apa. Emang salah ya kalo gue belajar nyetir?"
Hening.
Mark sibuk berpikir hingga dahinya mengerut samar, sedangkan Heerin asik memainkan ponselnya.
"Lo bohong," ucap Mark pada akhirnya. Laki-laki itu menepuk celananya pelan sembari bangkit. "Gue tahu apa yang ada di pikiran lo, dan gue akan coba bantu."
"Ayo!" Mark mengulurkan tangan kanannya yang disambut oleh Heerin dengan senyum tipis. Wanita itu ikut bangkit lalu menyerahkan kunci yang sejak tadi dipegangnya pada Mark.
"Lo emang paling pengertian." Heerin tersenyum tipis, lagi. Mereka pun berjalan menuju basement, menghampiri mobil Audy berwarna silver.
🍂🍂🍂
"RIN, INJAK YANG ITU, GOBLOK!"
"IH, LO TUH GAK JELAS BANGET SIH!"
"LO YANG GAK JELAS! INJAK REMNYA, KAMPRET!"
Ckitt!
Mobil berhenti setelah tadi dikendarai dengan brutal. Mark menarik nafas dalam seraya memijat dadanya dengan sabar. Membiarkan Heerin menyetir sama dengan mencari mati.
"Lo tuh ngajarinnya yang benar dong!" protes Heerin lalu meraih botol minum dari kursi belakang. Nafasnya sampai putus-putus karena panik.
"Gue udah ngajarin bener-bener! Lo-nya aja yang nggak ngerti-ngerti!" kata Mark kemudian melepas seat-bealt yang mengikatnya. Ia membuka pintu di sampingnya kemudian keluar. Heerin yang melihatnya pun panik, mengira Mark akan pergi dan berhenti mengajarinya. Ternyata tidak. Mark berjalan memutari mobil lalu berhenti tepat di samping pintu tempat Heerin berada. Jarinya mengetuk kaca jendela dengan pelan.
Heerin ikut melepaskan seat-bealt, kemudian keluar menyusul Mark.
"Kenapa, kok keluar?" tanya Heerin kebingungan.
"Gantian. Biar gue yang nyetir. Lo duduk diem aja di sebelah sambil liatin gue."
Heerin mengernyit. "Lah, 'kan gue mau belajar. Kalau lo yang nyetir, ntar gue gak bakalan bisa."
Mark diam, lalu menoyor kening Heerin pelan. "Kalau mau belajar jangan di jalan raya dulu, deh. Gue ada tempat yang bagus. Jalanan pinggir pantai kayaknya pas."
Tanpa menunggu jawaban dari Heerin, Mark segera menyelonong masuk dan menyalakan mobil. Heerin tergugu sebentar sebelum menyusul masuk.
Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Heerin tahu jalanan pinggir pantai mana yang Mark maksud. Letaknya cukup jauh. Berada di pinggiran kota yang perjalanannya memakan waktu sekitar satu jam.
Memperhatikan wajah tampan Mark yang sedang serius menyetir tentu saja bukan gaya Heerin. Wanita itu bersandar di jok mobil lalu menarik nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Tidur sepertinya lebih baik dari pada memandang jalanan tol yang luar biasa macet.
Mark diam saja sambil sesekali mencuri pandang pada Heerin yang mulai terlelap. Sebenarnya tidak sulit untuk menebak kepribadian sepupunya tersebut. Sifat jahilnya yang beda tipis dengan Baekhyun, juga auranya saat marah yang persis Taeyeon. Wanita di sebelahnya ini nyaris sempurna, jika saja ketololan itu dihilangkan sedikit. Berapa kali Mark harus berkoar-koar agar mereka tidak melakukan hubungan suami-istri pada umumnya, tapi tetap saja hal itu terjadi. Ya, Mark juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Heerin, wanita itu malah kelihatan seperti seorang korban.
Jisung, bocah tengil itu yang harusnya sekarang ada di depan Mark untuk dihakimi dengan jurus rapp Eminem. Namun, ada celah di hati Mark yang juga tidak tega melakukan hal seperti itu pada Jisung. Ya, Mark memang selemah itu terhadap orang berwajah polos.
Pemikiran Mark seketika buyar saat mendapati ponsel Heerin yang berdering, melantunkan lagu Butterfly. Sang pemilik ponsel tetap bergeming di tempat. Malah sepertinya tidur wanita itu semakin nyenyak.
Mark yang tak kuasa mendengar lagu ala-ala ponsel mainan semasa balita pun segera mengangkat panggilan itu. Sedikit juga rasa annoying di hatinya saat mengetahui nada dering di ponsel Heerin yang sudah berganti dari lagu Kick It.
Jisung.
Mau apa bocah tengil itu menghubungi sepupunya? Oh iya, Mark lupa jika Heerin sudah bersuami.
"Hallo?" Mark menyapa lebih dulu.
Hening. Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Mark kembali mengecek layar ponsel, dan panggilan sudah terhubung.
Helaan nafas terdengar kemudian.
"Ini siapa? Heerin-nya kemana?"
"Ini gue, Mark, sepupunya Heerin. Orangnya lagi tidur," jawab Mark dengan sebelah tangan yang memegang kemudi mobil.
"O-oh, Bang Mark ya? Kalian lagi di mana, Bang? Gue mau nyusul."
"Gue sama Heerin lagi OTW pinggir kota. Gue mau ngajarin Heerin nyetir."
"Lho? Kok Heerin nggak bilang-bilang sih sama gue? 'Kan gue juga bisa ngajarin. Trus dia pake mobil siapa?"
Ini bocah bawel banget sih, batin Mark julid.
"Ya mana gue tahu. Mobil ya? Mobilnya baru aja dibeliin sama Om Baek siang tadi. Emang lo nggak tahu?"
"Kalau gue tahu, gue nggak bakal nanya-nanya, Bang. Eh, gue perlu nyusul nggak nih?"
"Nggak usah. Cuma ngajarin dia nyetir doang kok, habis itu pulang. Sekalian gue mau me time sama Heerin. Semenjak dia nikah, kita nggak pernah main bareng kayak dulu lagi."
"I-iya, Bang."
"Sung?" panggil Mark dengan nada serius.
"Kenapa, Bang?"
Mark sedikit menurunkan ponsel Heerin dari telinganya lalu menatap wanita di sebelahnya dalam.
"Jangan nungguin Heerin pulang. Kayaknya kita bakal lama, soalnya jalan tol tadi macet parah."
"Bang?"
"Iya?" Mark sedikit mengernyit karena Jisung memanggilnya tidak kalah serius dari nadanya tadi.
"Jagain Heerin ... buat gue."
🍂🍂🍂
Palangka Raya, 21 Oktober 2020
15.55 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
FORCED [Park Jisung]✓
FanfictionPark Jisung, mahasiswa tingkat akhir yang dipaksa menikah dengan bocah ingusan baru tumbuh gigi. Byun Heerin, gadis kelas 12 SMA yang dipaksa menikah dengan laki-laki baru puber penuh emosi. Tinggal dalam satu atap tidak membuat keduanya saling men...