8 : First Kiss

1.9K 275 5
                                    

Baru juga kemarin dia bisa bebas kesana-kemari. Baru juga kemarin dia sepuasnya rebahan dan menonton drakor. Tapi mulai hari ini, dia bukanlah dia yang dulu.

Heerin bahkan sudah tidak bisa lagi menemukan jejak-jejak remaja dalam dirinya. Sejak pagi, gadis itu disibukkan oleh pekerjaan membersihkan apartemen. Pakaian-pakaian Jisung yang semula teronggok di dalam koper, kini sudah dilipat rapi dalam lemari. Begitu juga dengan pakaian-pakaian Heerin sendiri.

Lantai yang semula terlihat berdebu, kini nampak lebih berkilau. Pembersihan besar-besaran ini dilakukan agar Taeyeon tidak mengoceh panjang lebar ketika bertamu, dan juga agar dia dinobatkan sebagai istri yang berguna ... untuk Jisung.

Heerin kadang bergidik geli ketika mengingat statusnya yang sekarang. Jujur, Heerin belum sepenuhnya terima dengan ikatan ini karena di hatinya, dia masih memikirkan orang lain. Serius, kalau ditanya oleh Jisung sendiri pun Heerin tidak akan mengelak.

Ponselnya yang ada di atas meja makan itu tiba-tiba menjerit sambil bergetar heboh. Terpampang sebaris nama di layar ponsel itu yang wajib diangkat, jika tidak, habislah gendang telinganya nanti.

"Halo?"

"Kumaha, damang?"

"Pa, please speak in bahasa. I can't understanding what you said."

"Kunaon---gimana kabar anak Papa yang manis?"

Heerin melepaskan kemoceng yang ada di tangannya, lalu berjalan menuju sofa depan televisi, duduk dengan tenang.

"Baik, Pa. Kenapa nelpon?"

"Papa cuma mau bilang, nanti sore kalian ke rumah, ya? Teman-teman Papa mau datang sekalian mau ngasih selamat, katanya."

Heerin mengernyit. "Loh, kok nggak langsung ke sini aja?"

"Ya, mana Papa tau! Yaudah sih, lagian ke sini juga nggak rugi. Papa sama Mama udah kangen sama kamu."

"Iya iya. Nanti aku ajak Jisung ke sana."

"Ehh, gimana kalian di sana? Aman-aman aja kan?"

"Aman kok, Pa. Emang kenapa?"

"Nggak apa-apa sih. Yaudah Papa matiin dulu ya, lagi ngecek berkas sekolah nih. Bye-bye anak Papa yang manis. Lupyu!"

"Lupyu tu!"

Telepon itu putus beberapa saat kemudian, meninggalkan kesunyian yang membuat Heerin nyaris tertidur, jika saja pintu apartemen tidak terbuka dan menampilkan Park Jisung di sana.

"Gue pulang." Jisung melangkah masuk sembari menenteng kresek bening yang isinya membuat tergiur.

"Nih!" Jisung menyerahkan kresek berisi dua gelas Starbucks dan langsung diterima dengan senang hati oleh Heerin. Tanpa bilang apa-apa, Heerin langsung menancapkan sedotannya, lalu minum dengan tenang. Sementara Jisung hanya menatapnya dengan senyum tipis.

Heerin meneguk minumannya, lalu berucap, "Tumben."

"Kebetulan tadi lewat rumah Chenle." Yang mana penuturan tersebut membuat Heerin bingung. "Korelasinya apa?"

"Chenle punya gerai pribadi," Heerin tersedak, lalu terbatuk pelan dan Jisung dengan sukarela menepuk-nepuk punggungnya. Sekaget itu? Yaiyalah! Orang mana yang tidak kaget jika mengetahui gerai Starbucks bisa dimiliki secara pribadi.

"Oh iya, tadi Papa Baek nelpon, katanya nanti sore kita ke rumah. Ada teman-teman Papa mau datang," kata Heerin sembari menyedot minumannya lagi.

Jisung hanya mengangguk tanpa banyak bertanya, lalu melenggang begitu saja menuju kamarnya. Namun, sejurus kemudian ia berbalik. "Sebelum ke rumah Papa Baek, lo ikut gue dulu."

FORCED [Park Jisung]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang