19. Bicara

10K 785 149
                                    


Prinsip gue,
Ditanya ya dijawab.
Ga ditanya, ya diem.
Disapa tinggal senyum.
Ga di sapa, ya cuek.
Di abaikan, abaikan balik.

Gak suka?, Ya bodo amat.
Lo, ya elo.
Gue, ya gue.
Kalau Lo benci gue,
Yaelah, Lo doang mah.
Kagak penting!.

-Ata L.B

"Jadi, kalian gak pacaran?"

Roy ataupun Reni sama-sama kompak menggeleng, kemudian kembali memakan bakso---yang sempat di pesan oleh mereka beberapa menit yang lalu. Sedangkan vana hanya menopang dagu, menatap keduanya yang tampak sama-sama lahapnya. Seperti tak diberi makanan selama 1 menit.

Hingga atensi Vana berpindah, saat melihat Ranggi yang tiba-tiba masuk ke kantin. Melambaikan tangan kepadanya lalu berjalan mendekat. Sedangkan Vana hanya bisa terdiam di tempat.

"Hai." Sapaan dari Ranggi mampu membuat Reni juga mengalihkan atensinya, menatap Ranggi yang kini berdiri di samping bangkunya. Mengangguk sebagai jawaban atas sapaan Ranggi, lalu kembali melanjutkan makan.

Sedangkan Roy tetap saja makan. Tak perduli dengan sapaan Ranggi, lagipula ia juga sudah mengenal dari mendengar suaranya saja. Maka dari itu ia terlihat acuh.

"Ga ngajak-ngajak nih makan nya," celetuk Ranggi, ia telah duduk. Tepat di samping Vana.

"Yaelah, tinggal pesen aja susah amat." Itu suara Roy, menatap Ranggi sekilas. Lalu kembali menatap makanan nya.

Dan Vana cukup heran, sepertinya Ranggi dengan Roy telah lama kenal. Terbukti dari cara bicaranya. Karena Vana sendiri tau, jika Roy tipe orang yang tak suka banyak bicara terhadap orang asing. Apalagi jika omongan nya tak penting menurutnya.

Ranggi tampak mendengus, menoleh menatap Vana. "Lo gak makan?"

"Eh?"

Vana cukup ling-lung sesaat, entah kenapa akhir-akhir ini setelah dekat dengan Ranggi. Ia lebih sering---mungkin bisa dikatakan salting?.

"Dia tadi dah pesen duluan, jadi ya habis nya duluan juga." Reni menyahuti, walau di mulutnya masih tersimpan banyak makanan. Terkesan berantakan, tapi wajahnya tetap cantik. Ya, pantas juga si selatan agak ilfil walau pernah terpesona juga.

Catat, cuma pernah. Tidak lebih, mungkin.

"Eh iya Van, tadi si Vano kemana?, Kok buru-buru gitu?" Reni bertanya, sedangkan Roy dan Ranggi juga ikut menatap nya.

"Katanya sih, karena ada lomba nyanyi nanti."

"Si kutub ikutan lomba?!, Kok gue gak tau." Suara dari selatan yang tiba-tiba menceletuk mampu membuat ke-empatnya terjengit kaget. Bahkan Vana langsung mendengus sebal, Roy yang menatap datar. Sedangkan Ranggi hanya diam, ia masih orang baru bagi mereka. Jadi untuk protes pun masih cukup canggung. Dan kalau Reni, tak usah di tanyakan.

"Gak usah ngagetin, bisa?" Selatan langsung menyengir kuda, mendengar permintaan dari anaisnya.

"Tau, kayak setan aja." Roy bergumam pelan, namun masih terdengar oleh Selatan. Walau hanya samar-samar.

"Apa Lo bilang?"

Roy lantas menggeleng, tersenyum lalu mencari alasan. Dan Vana hanya mampu menggeleng pelan.

Tatapan Selatan beralih, menatap Ranggi yang posisinya kini tepat di hadapan nya. Yah, cuma dipisahkan oleh meja kantin. Tatapan berubah menjadi delikan tajam ketika menyadari jika Ranggi duduk tepat di samping Anaisnya. Dalam benak ia berpikir, apa reaksi Si dua kutub bila melihat hal ini.

Possesive Brother 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang