Mungkin seharusnya semua ini berjalan sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Tapi kamu menghancurkan apa yang sudah kita bangun bersama-sama.
Meninggalkanku sendirian dengan perasaan yang semakin lama semakin dalam.
Jangan mengatakan seakan-akan aku...
❝ Even to get ahead, it feels like it's inappropriate. ❞ —Ferral.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Roknya ia remas hingga jari-jarinya memutih. Berkali-kali ia berjalan ke sana kemari menenangkan dirinya sendiri. Baru kali ini ia seperti ini setelah banyaknya lomba ataupun olimpiade yang ia ikuti. Ferral menarik lengan Dira hingga perempuan itu duduk di sampingnya, tangan kanannya ia gunakan untuk bermain ponsel sementara tangan kirinya ia gunakan untuk mengusap bahu Dira, menenangkan perempuan itu. Tapi hal itu belum berhasil membuat Aluna lebih tenang. Bahkan setelah tau kalau Devan belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Devan mana?" tanya Dira pada Ferral. Tapi yang ditanya hanya diam membuat Dira menghela nafasnya kaar, ia menghempaskan lengan Ferral dari bahunya begitu saja, "dia emang nggak pernah ada buat gue."
Ucapan Dira membuat Kenzo mendekat dan mengusap lembut kepala perempuan itu. "Tenang Ra, ada kita di sini," ujar Kenzo sembari menunjuk teman-temannya yang lain dengan dagunya.
Kezia dan Rena juga ikut menemani Dira, mereka memutuskan untuk berada di kursi penonton sementara macan-macan Dira berada di belakang panggung sembari berusaha menenangkan Dira yang sekarang sudah keringat dingin.
Sedari tadi Raka sudah berusaha untuk menghubungi ponsel temannya itu, tapi Devan sama sekali tidak mengangkatnya. Dari ponselnya, Raka beralih menatap Dira, menyeka bulir keringat yang mengalir di pelipis sahabatnya itu. "Devan mungkin lagi perjalanan ke sini Ra."
"Anindira Khalista."
Dira dipanggil masuk ke ruangan, membuat jantungnya seakan mau lepas. Ini Olimpiade pertama setelah sekian lama Dira memutuskan untuk berhenti ikut Olimpiade lagi. Dan kali ini ia belum terbiasa dengan suasananya. Ferral mengusap punggung Dira lembut, menyodorkan perempuan itu botol air.
"Gimana kalo gue kalah?" tanya Dira sembari menatap Ferral panik.
Ferral tersenyum hangat. "Lo nggak akan kalah."
Karna nama Dira sudah dipanggil, mereka semua beralih menunggu di luar. Baik Raka maupun Ferral, mereka berdua tak henti-hentinya menelfon dan mengirimkan banyak pesan untuk Devan. Ia sama sekali tidak khawatir karna ia tau, Dira pasti bisa. Tapi dengan tidak adanya Devan di sini, Ferral jadi sedikit khawatir.
Belum sempat Devan mengangkat telfonnya, pintu ruangan sudah terbuka membuat Dira keluar dengan raut wajah datarnya. Dengan raut wajah itu, mereka semua tidak dapat menebak apakah Dira berhasil atau tidak. Perempuan ini tidak pernah bisa ditebak.
Ferral langsung menangkap tubuh Dira yang terjatuh begitu saja, isak tangis Dira terdengar begitu memilukan. Dira menekan kuat dadanya yang terasa amat sakit, nafasnya sesak tapi ia sama sekali tidak ingin melepas pelukannya dari Ferral. Ia menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Ferral, terlalu malu menunjukan wajahnya kepada Guru pembimbing, Ayah dan teman-temannya.
"Dira gagal."
Ferral mendesis, mengusap kepala perempuan itu lembut. "Nggak pa-pa Ra, lo udah berusaha yang terbaik."