[ 3 ]

5.3K 574 94
                                    

Batuk itu berlangsung lama, pagi ini. Bahkan sampai pemuda itu terpaksa bangun. Walau belum ingin. Menuju dapur tempat Misha tengah menpersiapkan sarapan. Rion mengambil air panas dengan brutal.

Khawatir pastinya, Misha mematikan kompornya. Lalu mengelus punggung si bongsor bungsu. Batuk itu terdengar berat untuknya karena terdengar seperti mengandung dahak.

Mereda setelah Rion beberapa kali meneguk air panas sambil jongkok, wajah Rion sungguh merah, matanya berair. "Udah enakan?" Sembari menempelkan punggung tangannya ke kening Rion. Takut-takut anaknya demam. Syukurlah, batin sang Ibu tenang. Karena Rion tak mengalami perubahan suhu badan.

"Mandi sana," perintah Misha.

"Ah, Mama. Mau bobok lagi."

"Ih," Rion meringis, mendapat cubitan di perutnya. "Sekolah." Mengeluh, Rion ngedumel tak jelas, seraya menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Misha cuma menggeleng, badannya saja yang gede, tapi kelakuan mirip anak TK.

Terpaksa, Rion kepagian. Biasanya malah dia sudah ditinggal Aubee. Abangnya saja tak percaya, ketika Rion sudah duduk di meja makan sepagi itu.

"Lo nggak kesambet kan, Dek?"

Mendengus sebal. "Apaan, sih, Bang."

"Rekor," sahut Anvar sembari meletakkan bokongnya ke kursi. "Perlu papa buatkan piala?"

"Papa!" Entahlah, Rion lebih kesal kalau keluarganya yang meledek. Oh, dasar Rion bayi bongsor.

"Nih," Rion memandang apa yang Misha suguhkan dengan terkejut. Lalu memandang Misha, kembali lagi pada sesuatu yang ada pada plastik klip kecil, putih, mirip bubuk.

"Ini apa Ma? Ini bukan ...." kalimatnya terpotong oleh Misha.

"Garem." Rion melongo. Pikirannya sudah menduga yang iya-iya.

"Buat apa?" tanyanya heran.

"Kalau kamu batuk kayak pagi tadi. Pasti bakal ganggu. Nah, emut garemnya. Dikit aja, nggak usah diemut semua." Misha mengusak poni Rion gemas. Harus, kudu, wajib, kalau ngomong sama Rion itu detail. Nanti salah tangkap dianya.

"Oh, jadi yang batuk-batuk tadi pagi, itu lo." Aubee sekarang tahu alasan dibalik kepagian Rion. "Bawa aja dek, berguna kok."

"Tuh, dengerin abangmu. Dia juga kalau batuk di bekeli garem sama Mama." Aubee mengangguk mantap. Lalu mengacungkan jempolnya. Rion? Cuma menghela napasnya pasrah. Nurut lah, tak ada salahnya juga nurut sama orang tua.

Tak jauh beda pandangan anak-anak di sekolah. Mereka juga sedang terperangah kali ini. Si bocah suka telat, berangkat pagi bareng si Aubee anak teladan most wanted punya sekolah, eh punya bapak-ibunya ding.

Pada mengira Rion kesambet. Ya sama lah pemikiran mereka dengan Aubee. Namun nyatanya, berangkat pagi juga tidak membuahkan hasil yang baik. Dia dipanggil guru BP. Diminta untuk berdiri, hormat pada bendera sampai jam istirahat. Berkat acara minggatnya kemarin.

Oalah, sudah tak heran lagi penduduk SMA Tunas Bangsa tersebut. Sudah langganan Rion mah. "Lo lagi, lo lagi."

"Diem lo, Tor."

"Tara btw."

Rion melenggang dengan pe-denya. "Dih, dihukum kok, bangga," celetuk Tara, si rambut ikal yang sepertinya memang dendam kesumat sama si Rion. Iya, karena dia juga suka maksa, nyontek PR atau tugas darinya. Okelah, mungkin Rion rada mikir, dengan mengganti jawaban atau apalah karena nilai mereka tidak sama. Namun, tetap saja. Dia menjiplak juga namanya. Dasar plagiat.

"Nggak ada gue guru BP nganggur, dong." Kalimat Rion yang membuat gelak tawa seisi kelas. Sampai si guru yang tengah mengajar, menepuk jidatnya, saking tidak pahamnya dengan kelakuan Rion.

~~~~~

"Ini lagi, bocah satu. Nggak bisa apa, contoh abangmu. Aubee. Mumpung belum PAT, coba perbaiki nilai juga kelakuanmu Rion." Disela-sela nasihat itu, Rion yang tak mendengarkan apa yang guru BP katakan, tengah menahan batuknya. Sialan! Kenapa harus datang disaat begini.

Tak dihukum sendiri, bersama komplotan yang kemarin minggat, tetapi cuma Rion yang datang dari jajaran kelas 10. Mereka semua digembleng disana.

Rion tak tahan. Rasanya gatal sekali tenggorokkannya. Seperti tadi pagi, batuknya terus saja, tak ada jeda. Sampai Pak Nuri-si guru BP, menghentikan ocehannya. Dia agak panik, ketika Rion menunduk, lututnya menjadi tumpuan tangannya.

"Rion, kenapa kamu?" Rion tak menjawab. Bahkan tak bisa menjawab. Dia sibuk dengan batuknya.

Garam, dimana garam? Ah! Di tas. Sial! Batin Rion. "Minum dulu." Pak Nuri menyodorkan air mineral kemasan gelas ke Rion. Si empu meneguknya dengan cepat sampai tandas setelah batuknya berhenti.

"Kamu sakit?" tanya Pak Nuri lagi. Rion menggeleng. "Syukurlah, ya udah kalian lanjutkan hukumannya sampai nanti."

Seperginya Pak Nuri, salah satu dari kakak kelasnya berkata, "Kalau gue jadi lo gue iyain aja, lumayan kan, santai di UKS." Bibir Rion berkedut tipis. Di dalam pikirannya, dia tak akan seperti itu. Rion tak akan pernah berbohong perihal kesehatannya demi sebuah keuntungan. Dia masih punya takut, nanti dia bisa sakit betulan.

Satu hari berselang. Misha mendatangi sekolah karena mendapatkan surat spesial dari guru BP. Siapa lagi, kalau bukan Rion pelakunya.

"Adek, mama nggak minta kok, kamu jadi pinter kaya abang. Mama cuma minta kamu rajin aja ke sekolah. Nggak muluk-muluk. Kerjain PR, tugasnya digarap." Iya, Misha tahu, kapasitas otak Rion. "Tolong, lah. Oke?"

Tatapan tajam itu tak membuat gentar si pelaku. Dia malah sibuk memainkan jarinya sambil sesekali menunduk. Bukan Rion sekali. Namun, setelahnya Rion hanya mengangguk kaku. Ya, Rion memang berniat mengikuti apa yang mamanya ucapkan. Cuma niat.

Hanya sampai saat itu. Gatal kembali menyerang tenggorokkan Rion. Bahkan perih turut menyertai.

"Kok batukmu makin parah sih."

"Sakit ?a, buat nelen." Itu menjawab semuanya, sebab dua hari ini Rion tak pernah menghabiskan sarapan atau pun makan malamnya.

"Periksa aja, yuk?" Misha menyentuh leher putranya itu. "Badan kamu anget lagi."

"Tapi, sekolah ..." Misha agak heran karena tumben sekali Rion mengkhawatirkan hak anak satu ini, tapi juga kasian karena putranya mendadak sakit.

"Mama yang minta ijin." Tidak, Rion tak bahagia karena ijinnya bukan buat mengunjungi wahana bermain melainkan ke dokter, tapi mau main gimana coba? Badannya saja terasa tidak enak.

Sepanjang jalan, Rion ingin sekali memejamkan matanya. Karena kepalanya juga sedikit pusing, tapi batuk tak henti-hentinya mengganggu sampai rasanya sesak.

Sesekali menengok Rion, lalu fokus ke jalanan. Tidak tega dengan keadaan Rion. Begitu sampai di tempat. Segera, Misha menyelesaikan administrasi dan menunggu. Rion sempat tertidur di bahu Misha. Badannya semakin panas ternyata.

Begitu di panggil, mereka langsung masuk ke ruang praktek. Dan di periksa sesuai gejalanya. Tubuh Rion mulai tak mau kompromi. Dia ingin kasur di rumah buat tidur.

"Putra ibu, mengalami ..."

~~~~~

Ciyeee! Yang penasaran!

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/07/08

Edited [9 Feb 2022]

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang