[ 18 ]

3.3K 441 40
                                    

Dari ingatannya paling awal. Dia selalu hadir dalam hidupnya, dia selalu mengalah ketika masa tak berpihak padanya, namun itu terjadi setiap hari dalam hidupnya. Miris, tapi memang demikian.

Meringis, rembahan air mata itu mulai menganak sungai. Keterikatan pada Adiknya tak pernah putus walau takdir sudah memupus. Seperti hadir, meminta pertanggung jawaban. Agar dirinya bisa tidur dengan tenang. Seolah tak pernah menyalahkan dirinya. Padahal, dia ikut andil dalam tewasnya.

Seiring tatapan lembut itu dilihat secara lamat. Batinnya semakin tersiksa. Punggungnya bergerak kencang, pilu hadir dalam keheningan. Andai kata, dia bisa ditukar dengan nyawanya. Akan dirinya lakukan saat itu juga. Namun mustahil, semua yang sudah pergi tak akan pernah kembali.

"Vero, turun, yuk, Nenek buat kue untukmu." Masih terdiam, hanya bisa diam. Dingin seakan menyerang di sekujur tubuhnya. Ini salah, tak seharusnya dia diperlakukan semanis ini. "Ayo sayang." Nenek tak tinggal diam, dia menarik lengan Vero agar mengikutinya.

"Nek, Rion nggak salah, Nek."

Mengernyit, bahkan alisnya menjadi satu, saking tak pahamnya Nenek dengan Vero. "Nggak usah bicarain dia."

"Ini nggak bener Nek. Yang ngebuat Sandra bunuh diri itu...kita." Lolos juga pada akhirnya. Tapi entah, raut Nenek seperti tak terima.

"Nggak, pelakunya Rion. Kita? Maksud kamu, kamu dan orang tua kamu begitu? Nggak, Nenek nggak mau tahu. Itu semua salah Rion." Selalu keukeuh dengan pendiriannya.

"Nek!" Nenek memilih pergi, meninggalkan Vero yang menjadi gila dengan ini semua. Neneknya tak pernah bisa diajak bicara. Dia selalu saja, teguh pendirian. Tak terima jika, Rion, Vero bela.

~~~~~

Bikin onar. Memang menjadi keahlian Rion sejak dulu. Seperti tak pernah kehabisan stok daftarnya di etalase otak. Karena itu dunianya. Tapi bukan begini, sisi lain dalam diri Rion akhirnya tak kuat menopang. Sakanya mulai rapuh, runtuh sebelah. Belum ada renovasi lagi pada hatinya.

Muntah, Rion mengeluarkan semua isi perutnya. Dan menjadikannya setengah sadar. Rion mulai kedinginan, tapi kepalanya juga pusing. Disaat seperti itu, entah kenapa, bayangan itu muncul. Bayangan kelam nan mengerikan.

"Rion, jalan-jalan, yuk?" Bicara lewat sambungan telepon.

"Kemana? Udah malem kali, San."

"Yaudah, kalo gitu." Merasa tak tega pada Sandra, Rion beranjak keluar. Berniat menemui Sandra.

Mencari di tengah dinginnya malam. Sandra biasa jalan-jalan ke taman. Rion pergi ke sana. Namun, hanya gurauan sepi yang menyambangi. Tungkainya dia langkahkan kembali, menelusuri jalanan. Tapi, belum juga nampak kehadiran saudara yang juga sahabatnya itu.

"Tsk, kemana, sih, lo?" Mencoba menghubungi. Di angkat olehnya. "Dimana?"

"Kenapa?"

"Kok kenapa? Gue nyusul, nih. Lo dimana?"

"Gue," Terkekeh. "Gue mau ke tempat yang gue suka."

Mengernyit, tak mengerti. "Apa, sih, maksud lo San? Nggak usah berbelit-belit, deh. Gue nggak sepinter Vero ataupun Bang Ubi."

"Dah."

Sambungan terputus. Rion merasa semua ini terasa aneh. Memilih mencari, tapi kali ini Rion berlari. Matanya awas, mengamati sekitar. Terengah, lututnya dijadikannya tumpuan. Namun tepat setelah itu, maniknya melihat seorang gadis di jembatan penyebrangan orang. Segera saja kesana. Butuh beberapa menit memang.

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang