Kunjungan hari ini bukan sekedar menjenguk orang tua itu, atau melepas rindu. Tapi, ada maksud dari kedatangan mereka hari ini. Mereka menjelaskan segalanya, detil, dari prolog hingga epilog.
Tapi apa yang mereka dapatkan?
"Apa karena Rion sakit? Kalian bertindak berlebihan seperti ini?" Apa? Rion sakit? Vero, dan orang tuanya bahkan baru saja dengar dari mulut Nenek. "Itu tidak akan mengubah pendirianku."
"Nek, kita berkata jujur. Kita nggak mengada-ada, memang itu kenyataannya. Jangan salahin Rion lagi. Kita juga nggak tahu, kalau Rion sakit." Cerocos Vero gemas. "Rion sakit bukan sebuah alasan dari kita, Nek."
"Omong kosong apa yang sedang kalian pertunjukkan?" Jengah, Neneknya memang sebebal itu. Dia percaya apa yang sudah di dengarnya dulu, atau memang dia asal bicara, huh? Asal presepsinya diterima orang, dia akan senang. Tapi mengorbankan perasaan orang lain pula. Itu menyakitkan.
Menghela nafasnya lelah. Sungguh, mereka berharap Nenek langsung sadar saat itu juga. Tapi nyatanya? Nenek bahkan mengabaikan apa yang mereka ungkapkan, dianggap sebagai untaian kalimat cerita belaka.
"Bu, sebelum Ibu menyesal. Tolong dengerin apa yang kami omongin. Ibu sudah salah tangkap, dan kami mohon. Percayalah."
"Aku nggak akan percaya semudah itu Arsen. Yang kalian bicarakan ini, seperti bualan. Tidak nyata, karangan. Hanya kalian ubah tokoh saja, sudah cocok menjadi sinetron." Mungkin, otak Nenek sudah tersumpal, atau sudah tersetting bahwa dia benci Rion.
"Baiklah, jika Ibu menganggap hal ini sebagai gurauan. Kami tak bisa melakukan apapun lagi, buktinya? Memang nggak ada. Tapi Sandra benar-benar mengalami semua itu. Rion juga tahu, kami jahat, nggak seperti yang Ibu pikirkan. Kalau Ibu nggak percaya, itu urusan Ibu. Kami udah sampein yang sebener-benernya sama Ibu. Dan itu yang terjadi. Aku nggak tahu harus gimana lagi bersikap sama Ibu."
Situasi makin tidak kondusif.
"Kenapa Nek? Apa Nenek akan tetap membenci Rion, walau kita pelakunya?"
Pertanyaaan dari Vero membuat sang Nenek bungkam. Ya, dia itu menbenci Rion. Sejak pertama kali Rion lahir ke dunia, Nenek sudah merasa kecewa. Karena tak mendapatkan cucu perempuan dari Misha. Apalagi Misha mengalami komplikasi ketika mengandung Rion, dan tidak diperbolehkan hamil lagi. Dan itu terjadi lagi, saat Vero lahir. Bedanya, Vero itu bawaannya kalem. Jadi Nenek bisa dengan mudah menerimanya. Berbanding terbalik memang sama Rion, yang kalau dibilang 'jangan' malah semakin penasaran.
Lalu hadirnya Sandra, membuat dirinya kembali bahagia. Cucu perempuan idamannya. Namun, ketiadaannya juga yang membuatnya seperti ini. Meskipun bukan sepenuhnya salah Rion. Tapi harusnya, dia mampu menahan Sandra. Tidak membiarkannya tertelan jatuh tempo masa hidupnya. Semakin jadilah, perasaan tak suka yang mendarah daging.
"Apa Ibu, akan terus berpikiran alot seperti itu?" Sebuah presensi kehadiran pria, membuat orang-orang disana, mengalihkan animo mereka.
"Dimas? Sejak kapan kamu disini? Dan kapan kamu pulang?" Cecar Nenek.
"Nggak perlu alihin pembicaraan Bu," Dimas menampakkan wajah tak sukanya. "Cucumu sekarat, dan Ibu bahkan tak menunjukkan apa itu peduli? Iblis mana yang merasuki Ibu?"
"Kamu berani bicara seperti itu pada Ibumu?!" Nenek naik pitam. Dia meninggalkan sofa empuknya. Menatap nyalang pada Dimas. Dadanya bergemuruh hebat. Emosi menguasainya.
"Kenapa nggak? Kelakuan Ibu malah sudah lebih keterlaluan dibanding dengan ucapanku."
Lebih karena malas berdebat, Dimas memilih mengambil kebutuhannya dengan cepat. Lalu pergi lagi dari sana. "Dimas! Mau kemana kamu?!" Tak ada kalimat, Dimas hanya meninggalkan Ibunya yang terus berteriak. "Kamu lebih milih anak sialan itu?! Daripada Ibumu sendiri?!" Hanya kepulan debu dan angin yang menjawab pertanyaan gila dari wanita tua yang berdiri, mengeraskan rahangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...