Sedikit banyak hubungan keluarga Misha berbeda. Apalagi dengan keadaan mereka yang masih bersitegang. Misha yang belum bisa menerima permintaan maaf, Ibunya, dan Adik juga anak-istrinya.
Bukan apa-apa. Tapi, Misha masih begitu sensitif terkait apa yang dialami Rion. Juga seruan ampun mereka, bertepatan dengan kondisi Rion yang tak dalam keadaan baik.
Mungkin dengan pertemuan mereka kali ini, bisa membenahi semuanya. Mereka tengah duduk bersama, dalam sebuah restoran keluarga, setelah makan tentunya. Karena dalam hal ini mereka sangat butuh kekuatan dan tenaga.
Bersama Aubee tentunya. Dia diminta untuk pulang sebentar, dan ijin dari kuliah, demi menyelesaikan masalah keluarga, agar semua pihak memperoleh jalan tengah dan ketentraman yang absolut.
"Kenapa kalian lakukan kepada putraku? Menyenangkan?" Tanya Misha tanpa tedeng aling-aling. Langsung ke inti.
"Maaf Mbak, ini bukan seperti yang kamu kira. Kami...terpaksa." Misha menatap angker ke arah Arsen.
"Karena Om, takut dibenci?" Seloroh Aubee, menunjukkan kegeramannya. Dia juga tidak terima Adiknya diperlakukan secara diskriminatif.
Mengangguk kaku, Arsen mengiyakan. Aubee sudah duga. "Terus gimana sama Rion, Om. Dia dibenci selama ini, atas tuduhan tak berdasar. Niat baik Rion disalah artikan. Dia ingin membantu, dan akhirnya dijadikan tersangka."
"Maaf," Hanya kata maaf yang terus-terusan keluar dari mulut Arsen. Seolah, dia tak bisa mengatakan yang lain. Harusnya, mereka lakukan ini sedari dulu. Bukan menyimpannya terus-terusan, hingga lumutan.
"Bang, kami tahu, kami terlalu egois." Vero menimpali. "Kami udah disadarkan oleh kehilangan. Kehilangan kepercayaan keluarga. Kami mohon, kami udah dapet hukuman." Ya, perusahaan Arsen tengah dalam masalah. Dia yakin, ini semua adalah karma. Dia tabur-dia juga yang tuai.
"Kalian tahu, keegoisan kalian, itu menambah sakit untuk Rion yang sudah terluka." Aubee kembali mengungkapkan apa yang dia pikirkan saat ini.
"Kami udah sangat sadar sekarang. Tolong, maafkan kami. Meskipun tak pantas." Tutur Arsen, mewakili. Sedangkan Nenek dan Dian hanya menangis dalam diam, sesekali menyeka air mata mereka yang mengalir. Sesal itu selalu hadir, bernaung dan menetap lama. Dia pun demikian, orang-orang mulai meninggalkan dirinya.
"Kami sangat sadar, kami punya pilihan buat ngungkapin atau nggak, kesempatan yang kami punya cuma sekali-dua kali, kalau nggak gitu, kita nggak akan berubah. Kendatipun, perubahan yang kami inginkan, jauh dari kata baik. Tetapi, itu sudah cukup bagi kami." Lanjutnya sedih. Takut-takut, harapan yang mereka bangun runtuh begitu saja. Namun, mereka sudah siap untuk hal yang paling buruk.
"Kami memaafkan kalian." Cakap Anvar pelan. Arsen dan yang lain seketika plong dengan ucapan Papa dari Rion itu.
Anvar mengajak Misha dan Aubee diskusi semalam. Mereka juga tak mau berubah seperti manusia yang berada di hadapan mata. Yang secara defensif hanya melindungi diri sendiri. Mereka memikirkan hubungan keluarga mereka kedepannya nanti. Tak mungkin, terus-menerus dalam kegaduhan yang tak kunjung usai. Mereka lelah, tak sanggup dengan keadaan yang semakin lama semakin keruh. Sudah cukup, bagi mereka. Meskipun masih ada lara di hati mereka. Sudah kadung dalam perih yang dirasa. Namun mereka harap, setelah pedih terluka, hadirlah bahagia.
"Kami nggak mau hal ini terus berlarut dan berlanjut. Percuma, nggak ada khasiatnya, nggak ada untungnya." Biarkan sakit itu pergi, karena dengan itu mereka akan merasa bebas tanpa tali kekang.
"Kita semua terjebak dalam keadaan yang sama-sama nggak kita inginkan. Kami juga minta sama kalian. Kami berikan kesempatan kedua. Karenanya, jangan sia-siakan kepercayaan kami."

KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Ficção Adolescente-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...