Berdesir, sejuk menyapa lembut kulit wajah mulus remaja belasan tahun itu. Menerbangkan salah satu adneska kulit* tipe rambut kasar. Bak berada di padang rumput dengan semburat oranye milik senja di ujung barat.
Perlahan, seperti rumput ilalang yang menggelitik. Membuat sudut bibir merah jambunya terangkat, tertarik, dan terkesan begitu manis, menonjolkan sesuatu yang kecil bernama tahi lalat.
Masih tenggelam dalam deru tiupan angin. Seperti enggan untuk membuka mata. Seakan berat meninggalkan mimpinya. Sebelum sesuatu yang tumpul mendarat cukup kencang di kepalanya. Membuat pemuda itu terperanjat dari kamus yang menjadi bantal tidurnya.
"Heh! Apa-pa …." Kalimatnya menggantung di udara. Bibirnya seketika mengatup pelan. Apalagi dengan seseorang yang seperti sedang menantang gelut. Atau malah dirinya yang tengah menantang?
"Keliling lapangan lima puluh kali. Sekarang," ujarnya datar tapi sarat akan ancaman.
"Maaf, Bu."
"Oh, jadi mau seratus kali?"
"Ah, nggak-nggak, Bu. Oke, siap laksanakan." Walau wajahnya masih setengah mengantuk, tetapi dia harus menjalankan titah dari sang guru karena kebandelannya.
Meluncur ke lapangan. Teman-teman kelasnya, cuma menggeleng. Lagi dan lagi, anak itu kena hukuman untuk kesekian kalinya. Tak bosan apa? Sepertinya karena sudah terlalu terbiasa, anak itu mendapat gelar khatam keliling lapangan.
Tepat selesai pelajaran ibu guru manis namun garang itu. Anak yang digeplak dengan buku paket—setelah dikipasi, hampir selesai mengerjakan hukuman. Sebuah kesialan baginya, waktunya sama dengan jam pulang. Sekarang remaja itu auto menjadi tontonan.
"Ya ampun," gumam seorang cowok pemilik tinggi 174 cm ketika melihat anak yang tengah berlari di lapangan. Dia cuma terkekeh, menggelengkan kepalanya, setelah menyugar rambutnya, membuat cewek-cewek yang berjalan di sampingnya menjerit dalam hati. "Bisa-bisanya."
Si pecinta vanilla itu terengah mendekatinya dan menggelepar, bersandar pada tiang teralis yang berdiri kokoh di depan sebuah kelas. Seragamnya pun sudah banjir keringat. Sesaat setelah itu, sebuah tas melayang ke pangkuannya. "Thanks, Tor."
"Tara!"
"Udah sih, kalian. Dek, nggak ada kapoknya ya, molor di kelas." Yang diperingati cuma cengegesan. Lalu meneguk air dari botol minum yang dia ambil dalam tasnya sendiri.
"Abis ngantuk, Bang."
"Ya udah pulang."
Menggeleng cepat. "Gue mau pulang sama si Tor." Pemilik nama, hanya memutar bola matanya malas. Berapa kali dia harus peringati, kalau namanya Tara. Tebalkan, cetak miring, garis bawahi. TARA.
"Gue mau eksak." Tara melipir, meninggalkan si biang kerok dan abangnya.
"Yaelah, kerajinan amat sih, lo." Setelah melihat punggung Tara menghilang. Dia melanjutkan konversasi dengan orang yang masih berdiri di depannya. "Ya udah, pulang sama bang Ubi." Ubi, adalah panggilan kesayangan milik dirinya seorang.
"Nggak, gue ada tugas. Lo pulang naik taksi. Ntar gue pesenin."
Menghela napasnya. "Gue pesen sendiri aja," ucapnya, seraya berdiri, menenteng tas, meninggalkan cowok yang lebih pendek 4 cm darinya.
"Orion, nggak usah main!" Peringatnya lagi pada sang adik bebalnya itu. Namun, yang ada Orion cuma menggerutu.
"Berisik lo, Bang,"
~~~~~
"Aku pulang."
"Adek mana, Aubee?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...