Sepi, sunyi, hening. Apalagi yang mampu mendefinisikan atmosfer disana?
Tak ada obrolan yang serius. Hanya suara anak-anak, yang bercanda. Suasana makan malam ini sungguh menegang. Setelah kejadian siang menjelang sore tadi. Dimana kecemasan dan kekhawatiran bergabung jadi satu.
Uhuk!
Suara itu tercipta oleh Rion, dan mengalihkan atensi semua orang padanya. Mencoba minum, untuk meredakannya. Tapi nihil, batuknya semakin menjadi. Dengan sigap, Rion meninggalkan meja makan. Pergi ke kamar mandi yang berada di kamarnya. Tapi, Rion menguncinya dari dalam.
Aubee, Anvar, serta Misha, pergi menyusul Rion. Takut-takut seperti waktu itu. Dan benar saja. Batuknya memberat, sampai-sampai Rion mengeluarkan air matanya. Tapi bukan karena menangis. Itu memang reaksi alami ketika itu.
"Rion! Buka pintunya, Nak."
Rion meremas dadanya. Mulutnya terbuka, mencari oksigen yang seakan menjauh darinya. Sebelah tangannya mencari pegangan, tapi tak ada. Rion ambruk di lantai kamar mandi, tubuhnya meringkuk, mukanya memerah seperti tercekik. Sesak, kepalanya mendongak, dahinya yang berkerut menunjukkan betapa kesulitannya dia bernafas.
Brak!
"Rion!" Teriak seseorang, bukan Anvar. Tapi Lingga. Karena merasa tak beres dengan ketiga kerabatnya itu, Lingga menyusul, takut terjadi sesuatu. Dan benar saja. Menemukan Rion tengah kesakitan disana. "Rion!"
Lingga membopong Rion ke kamar, agar keadaan lebih hangat. Mengi, suara tarikan nafas Rion terlihat sangat berat. "Ambilin air anget, pake baskom aja, sama waslap. Cepetan!" Anvar segera melesat, menerobos orang-orang yang bejubel disana. Menatapnya cemas.
"Om kenapa?" Cicit Gisel takut. Bahkan hampir menangis.
"Nggak papa sayang, keluar, yuk." Dimas menarik para anak-anak keluar dari sana.
Pertolongan pertama, dengan mengompres dada Rion, terbukti cukup efektif. Meskipun Rion masih terlihat megap-megap. Misha tak sanggup melihatnya. Dia hanya bisa menutup mulutnya, menahan isakannya, seraya Aubee mencoba menenangkan Mamanya itu.
Tak sengaja, Misha bersirobok tatap dengan sang Ibu. Matanya menatap sinis pada Rion. Kenapa? Apa Ibunya berpikir, Rion berbuat demikian, untuk sekedar menarik perhatian? Jika tebakan Misha benar, Ibunya sudah benar-benar keterlaluan.
"Kita ke rumah sakit dekat sini. Bang, tolong siapin mobil. Biar Rion ke rs sama aku aja." Ucap Lingga seperti kereta lewat.
"Tapi, Ling."
"Aku tahu Mbak, lebih baik. Dia pergi sama aku. Kalian tunggu sini. Aku akan jadi walinya. Please."
"Iya, Ma. Biar Om Lingga, aja. Kita tunggu disini " Bukan bermaksud menggurui. Lingga tahu, kepanikan hanya akan merusak segalanya. Mereka pasti sangat takut, dan ketika menghadapi penjelasan dokter. Berpikiran macam-macam. Itu dapat menyesatkan pada akhirnya.
"Aku janji, segera bawa Rion, pulang."
Deru mesin mulai menjauh dari halaman. Mereka sudah harap-harap cemas, padahal mesin berjalan itu baru hilang dari pandangan.
"Hah! Merusak suasana saja. Ayo lanjutkan makan malamnya."
Misha sungguh kesal. "Ibu masih nafsu dengan makanan? Disaat cucu Ibu, hampir mati tadi?" Nyalang, tatapan Misha pada Ibunya. Masih dengan kristal bening yang senantiasa menghiasi pipinya itu. Anvar hanya bisa mengelus bahu sang istri, mencoba menguatkan, walau dirinya juga rapuh. Tapi, kalau Anvar jatuh, siapa lagi yang akan menopang wanita yang dia cintainya itu. Aubee? Ya, tentu saja. Tapi, selagi masih ada Anvar. Dia akan terus menjaga keluarga kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...