Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Rion kehilangan kendali dirinya. Tangannya kelimpungan mencari pegangan ketika mengegah, menarik langkah beberapa meter menuju paramount bednya. Menekan brutal, tombol darurat sebelum ambruk, yang menghubungkannya dengan Gretta dan Milly di depan.
Cengkraman pada ranjangnya semakin kuat, seiring sesak yang memangkung semakin kejam. Dalam otaknya, lagi-lagi pertanyaan 'apakah dia akan mati?' selalu lantang berkumandang. Mengerang lirih, peluh dan bulir kristal mulai berbaur di ujung respirasi. Cekalannya terlepas, bersamaan dengan Milly yang berlari ke dalam. Lalu berteriak pada Gretta.
"Code blue!"
Tim dengan cepat melesak kesana, untuk bertindak, setelah Gretta mengaktifkan code blue. Berhubung situasi respiratory arrest mengundang kebisingan, teman-teman seperjuangan Rion segera keluar. Menatap nanar, Rion yang akan di pindah ruangan, karena kolaps mendadak kesekian kali. Hanya bisa menyalurkan doa saat ini. Mereka juga tak bisa berbuat apapun.
Tak lama dari itu, ventilator kini menghiasi mulut Rion. Di dalam ruangan yang berdinding kaca, dan dilarang untuk dimasuki kecuali petugas medis.
Keluarga sudah tiba disana, segera Milly menghubungi orang tua Rion. Namun, bukan cuma mereka yang menampakkan batang hidungnya, melainkan dengan yang lain. Memandang nanar penuh harap. Betapa pedih jalan hidupnya, mereka yang turut menghadirkan jahanam untuk Rion, tak kuasa menahan rintikkan emosinya.
Rion harus segera mendapatkan paru-paru baru, walau tak mungkin saat itu juga, karena kondisi Rion yang drop. Jadi kalaupun ada donor, harus menunggu keadaan Rion stabil terlebih dahulu. Karena saat ini, pemuda itu tengah beradu dalam tingkatan paling dalam ketika seseorang tidak sadarkan diri. Ya, Rion, koma.
Terus berderai, karena mereka hanya bisa melihat tanpa bisa menyentuh. "Sayang, bangun Nak. Mama mau lihat Rion senyum." Aubee tak kuasa menahannya, dia memilih pergi, menjauh. Tak sanggup jika harus melihat Adiknya dalam keadaan sekarat.
Yang dia inginkan bukan ini, "Kenapa Tuhan? Kenapa Kau timpakan kesakitan itu pada Rion?!" Aubee terisak kencang di atap berbalut penghuni berjudul sepi. Hanya desir arus udara yang menyapa. Meluruh, tubuhnya merosot, berlutut disana.
Aubee dan keluarga semakin pusing bahkan stress karena tak terlihat tanda-tanda bahwa apa yang diharapkan akan terjadi. Padahal, sudah tak terhitung lagi jam-jam di mana dia bertelut dan melipat tangan. Tak heran jika kemudian Aubee bertanya-tanya, 'kenapa?'
"Karena Rion mampu." Sebuah suara menjalari rungu Aubee. Pundak pemuda itu juga mendapat perlakuan dari sebuah kehangatan. "Dia kuat."
Menengok, hidung Aubee sudah merah, matanya mulai sembab. "Om,"
Dimas ikut berlutut, memeluk, memberi afeksi untuk Aubee. Walau dirinya juga tak bisa dibilang tangguh, dan berpengaruh pada kehidupan mereka. "Kamu boleh lemah, tapi kamu nggak boleh nyerah. Dimana lagi, Rion bisa nyari Abang terhebat macam kamu, heung? Nggak ada di belahan bumi lain."
Menarik nafasnya sejenak, lalu, "Tuhan mengizinkan kita melewati masalah bukan cuma mendewasakan diri kita semata, tapi karena ada kekuatan di dalamNya."
~~~~~
Masih seperti minggu lalu. Namun bedanya, Rion sudah boleh ditemani. Misha kerap membacakan buku cerita untuk putranya itu. Dan belum nampak tanda-tanda Rion, akan bangun.
"Rion, betah banget, sih." Tangannya terulur, menggenggam lembut jemari Rion. "Mama kangen sayang. Abang juga ada disini sayang, kamu nggak mau nyapa? Kamu juga perlu potong rambut sayang, udah gondrong." Walaupun gondrong, Misha akui, Rion tetap tampan.
Melanjutkan, "Mentang-mentang doyan bobo, ya, kamu bobo senyenyak ini. Sampe nggak bisa dibangunin. Heh, anak nakal, kamu nggak kangen sama masakan Mama? Tiap hari Abang yang habisin, kamu nggak iri? Kamu nggak pengin, eung?" Celoteh Misha sembari terkikik. Dia meyakinkan dirinya sendiri, agar tidak menangis lagi. Dia ingin menebar kebahagiaan saja. Kendatipun, pasti ingin mengeluarkan sesak itu. Tapi, kali ini, dia tahan dan tak mau kalau terus-terusan bersedih untuk Rion, yang butuh support lahir maupun batin.
"Mama tinggal dulu, ya. Mau ngurus Papa sama Abangmu dulu. Ntar mereka kesini, kok, sama Mama lagi. Dah, ya, sayang." Misha mengecup punggung tangan Rion, lalu beralih ke keningnya.
Tak pernah terbayangkan, putra keduanya itu mengidap penyakit mematikan. Sebagai orang tua, pasti, terpukul, pula rasa tak ingin menyambutnya. Apalagi, Rion yang notabene tergolong anak hiperaktif, seperti tak punya capek. Tiba-tiba harus terbaring lemah di atas ranjang.
Sudah bertarah berdongkol pula. Sesudah perkara yang satu dibereskan, timbul lagi perkara yang lain. Sabar ; tenang menghadapi cobaan, tidak tergesa-gesa, tidak terburu nafsu. Mungkin, keluarga Anvar harus memperbanyaknya. Agar tidak kehilangan kendali, kontrol emosinya.
Mereka tengah berjuang habis-habisan. Mereka tahu, tidak akan selalu kuat. Tapi, mereka juga kudu siap, jika pada akhirnya harus melepaskan. Mereka sudah menyiapkan diri dengan kemungkinan terburuk.
Merelakan dengan ikhlas dan merelakan karena tidak memiliki pilihan. Meski hati mereka sudah dibunuh paksa oleh takdir.
Namun, mereka juga selalu optimis, bahwa Rion, mampu hidup nantinya. Menikmati kembali waktunya, dan bisa bebas bernafas maupun berlari. Itu adalah segelintir daftar keinginan Anvar, Misha, juga Aubee. Membuat Rion bahagia.
Tertangkup sama termakan tanah, telentang sama terminum air. Mereka akan sama-sama dalam suka maupun duka.
~~~~~
"Dek,"
Tidak ada sahutan. Sekali lagi. "Dek."
Percuma saja, Rion masih merem. "Gue bosen tahu, nugas mulu, bangun, kek." Menghembuskan nafasnya pelan. "Lo lagi main apa disana? Emang ada Overwatch disana? Atau PUBG? Atau lagi streaming anime?"
Kalau sadar juga, sudah jarang sekali, Rion main itu. Aubee terus memandang Adiknya itu. Ingin sekali, menarik paksa kelopak matanya agar terbuka.
Yang terjadi selanjutnya, adalah Aubee yang bermain dengan jari-jari Rion, yang seakan semakin menyusut. Kentara sekali. Matanya langsung panas, dia otomatis mendongak, agar sesuatu yang mulai menggenang, tak jatuh begitu saja.
"Dek, tahu nggak? Kata Mama, dulu sewaktu lo masih di perut, gue suka banget ciumin perut Mama. Ngajak ngobrol lo, walau omongan gue nggak jelas, katanya. Gemes katanya sama lo, mau dicubit, mau digigit, mau dibikin dedek penyet saking gemesnya. Pokoknya, gue seneng banget waktu mau dapet Adek. Pas lo lahir, kata Mama lagi, gue nggak mau pisah dari lo, gue harus tidur disamping lo, gue nungguin lo mulu, padahal temen-temen udah manggil buat main. Tapi gue kukuh, nggak mau pergi dari jejer lo."
Sudut matanya kini, mulai mengalirkan kerinduan itu. Mengusapnya kasar, Aubee tidak ingin menangis di depan Rion, meskipun Adiknya tak bisa lihat, tapi mungkin dia bisa merasakan.
Percaya tak percaya, Aubee melihatnya langsung, ekor mata Rion meleleh, menuruni pelipis. Tak bisa lagi menahannya, Aubee menjatuhkan dahinya di punggung tangan Rion. Bergetar kencang punggungnya, menangis disana.
Karena dibalik menunggu anak itu bangun dari lalinya, Aubee juga khawatir akan harapan palsu. Tak dipungkiri, Aubee takut kehilangan. Apapun penjelasan dan alasannya, kehilangan akan selalu terasa begitu menyakitkan.
~~~~~
Love ya!
HoilandWonosobo, 2020/08/31.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...