Pernah kehilangan sesuatu yang berharga, membuat pemuda itu tak ingin merasakannya lagi. Ironi, walau berat harus dipikul. Dia hanya ingin, terus bersama orang-orang itu.
Meskipun Nenek tak suka dan melarang Sandra untuk bergaul dengan dirinya. Tapi Sandra meyakinkan, bahwa mereka akan baik-baik saja. Tapi, nyatanya tidak demikian.
Rion memang tak sehat, secara harfiah maupun istilah. Sudah beberapa hari ini, dia tidur di klinik setiap malam, agar tak mengganggu tidur kawan-kawannya. Lagi-lagi karena batuk, namun semakin memberat, sering juga merasa sesak dan lemas. Tapi masih bisa ditahannya.
Dan malam ini, dia kembali tidur disana. Kalau malam memang tak ada orang, dokter jaga pulang ke rumahnya, seperti guru-guru disana. Suara nafasnya makin lama makin terdengar menyakitkan. Rion cuma meringkuk, dan meremas dadanya. Peluhnya berjebah menjadi paesan.
Mulutnya bahkan terbuka sedari tadi, namun matanya terpejam. Mengais udara yang bisa dirinya jamah. Paru-parunya seperti menyusut, batuknya menambah Rion agar semakin tersiksa. Kernyitan itu menandakan bahwa dia begitu lara, untuk sekedar mengambil nafas panjang.
Apa ini yang namanya sekarat? Apa dia akan mati?
~~~~~
"Rion!"
"Kenapa? Hey! Sayang!" Anvar membuat Misha bangun dari baringnya. Poninya sudah basah karena keringat. "Kamu mimpi buruk?"
"Perasaanku nggak enak,"
"Sst, nggak papa, itu cuma mimpi buruk." Anvar mencoba menenangkan Misha, yang mulai tersengut-sengut. Bergegas, Anvar mengambilkan minum, agar wanita yang dia cintainya itu tenang. "Kalau ada apa-apa, Rion pasti ngasih tahu kan?"
"Tapi, firasatku buruk. Aku takut, kalau ada apa-apa sama Rion."
Anvar menggeleng, dia menolak, walaupun dirinya juga mulai merasa gamang. "Aku yakin, Rion baik-baik saja disana. Jangan berpikiran yang negatif, waktu itu kamu lihat Rion sehat, bugar, kan? Bahkan ikutan lomba."
Iya, sih. Tapi, Misha takut, perasaan seorang Ibu, biasanya sangat akurat. Dia hanya ingin putranya dalam keadaan baik, meskipun jauh. Seandainya Rion memegang ponsel, dia akan menghubunginya segera.
"Udah, kita hubungi sekolah besok. Oke? Kita pastiin, Rion sehat, tanpa kurang satu apapun."
Harapan kedua pasang suami istri tersebut sepertinya tidak terkabul. Karena pagi ini, Rion ditemukan Angel dalam keadaan tak sadar. Segera saja, Angel menyuruh beberapa perawat yang membantunya menyiapkan ambulans milik sekolah.
Saturasi oksigen yang Rion punya jauh dibawah 90 persen. Kadar oksigen rendah yang terus-menerus, mengakibatkan henti jantung sesaat, namun dengan cepat ditindak oleh dokter jaga. Hingga nyawa Rion bisa tertolong.
Angel, bertugas menghubungi keluarga Rion. Setelah dirinya merasa heran, karena pagi itu Rion tak kembali ke kamar. Pasalnya, dia tahu perihal teman sekamarnya itu tidur di klinik karena batuk. Tapi, setelah sengaja melihat Rion kesana. Betapa kagetnya, melihat Rion dengan rona wajahnya yang putih pucat, menjurus kebiruan.
Menemani Rion ke IGD, sebagai perwakilan. Menunggu keluarganya datang. Melihat bagaimana, paramedis menangani Rion dengan tangkas dan terampil, membuat Angel yang tadinya diliputi keresahan, menjadi lebih baik.
Tepat saat itu, keluarga Rion tiba. Beriringan dengan seorang dokter berkacamata, juga bergegas kesana. Tentu saja mereka tak bisa ikut masuk, hanya mampu melihat dari balik dinding kaca. Misha langsung luruh ke lantai seraya menjatuhkan tetesan likuid bening, begitu menyaksikan tubuh Rion mulai dijamah oleh alat-alat medis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...