[ 10 ]

4.1K 472 68
                                    

Klise bener, dah!
Sori! Bosenin!

~~~~~

Memecah kesunyian diantara keheningan Misha membaca buku siang menjelang sore itu. Tak ada angin, namun hujan sedang mengguyur di luar. Pigura yang berisi foto keluarganya jatuh sendiri dari nakas.

Misha mencoba berpikir jernih. Mungkin karena penyangganya menutup, jadinya jatuh. Tak memungkiri perasaan yang sedang bergelut dalam hati dan kepala.

"Semoga tak ada apa-apa." Walaupun firasatnya mengatakan sebaliknya. Misha mencoba meyakinkan dirinya sendiri dari pikiran buruk yang melanda.

Sedangkan, di waktu yang sama, di tempat yang lain.

"Rion!"

Aubee merasa tak berdaya sekarang. Dirinya hanya bisa duduk di mobil. Melihat Adiknya lemas di aspal di bantu Anvar. Bahkan air matanya sudah memberi jejak basah di pipi.

"Tora, lo nggak papa?" Rion mencoba bangkit, dia juga terguling bersama Tora. Ya, Tora yang melakukan hal bodoh itu. Mencoba bunuh diri? Sepertinya. Dasar sinting.

Mengangguk, disela keterkejutannya. Tora masih berbaring diantara kerumunan hujan juga murid dan guru. Dia merasa pening melanda.

Beralih Anvar yang bertanya pada putranya yang memucat bak mayat. Tubuhnya bergetar. Wajahnya panik bukan kepalang. "Pa, aku takut," cicitnya. Jemarinya menggenggam erat lengan Anvar, bahkan terasa seperti meremas.

"Ayo ke rumah sakit, siku kamu terluka, Nak. Kita cek, takut kamu ada luka dalam." Rion menggeleng. Bibirnya mendadak kelu saat diajak bicara. Pandangannya makin berat, berbayang, semua seolah berputar. Rion limbung.

Anvar memutuskan membawa Rion dan Tora ke rumah sakit. Meskipun tak terlihat luka di luar. Siapa tahu mereka cedera dalam.

Tara datang setelah Anvar membawa Rion dan Tora. Dia langsung meminta penjelasan para saksi. Tara merasa lemas ketika mendengar bahwa Tora melakukan percobaan bunuh diri. Tara memilih menghentikan angkot untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Pak, ke rumah sakit ya, Pak!" ucap Tora buru-buru, dia langsung masuk dan duduk di kursi belakang bersama penumpang lain.

"Maaf, Mas. Nggak lewat sana. Bukan trayeknya." Tara mendadak frustasi. Dia tidak bisa mengendarai motor dalam situasi begini.

"Aku bayar tiga kali lipat, Pak. Tolong. Adek aku terlibat kecelakaan barusan. Aku perlu menyusul." Dengan ijin penumpang lain, pada akhirnya Tara bisa diantar ke rumah sakit.

Peringatan. Mendadak Tara mengingat itu. Bego! Kenapa? Tara tak bisa mendeskripsikan itu dan malah abai pada Tora. Padahal Rion sudah memberi tahu garis besarnya. Kemana otak encernya pergi?

Sedangkan di rumah sakit, Rion dan Tora melakukan tes lengkap, CT Scan, MRI. Agar tak ada kesalahan kecil yang terlewatkan. Mereka begitu bersyukur ketika keduanya baik-baik saja. Tak ada masalah apapun. Hanya saja, Rion masih terpejam erat. Misha sudah berada di tempat Rion di rawat, setelah Anvar menghubunginya.

"Maaf, ini semua gara-gara aku."

"Jangan bilang gitu. Harusnya gue yang minta maaf. Gue nggak bisa jadi kakak yang baik buat lo." Tora tersenyum tipis.

"Rion pernah ngomong sama gue. Kalo lo nggak bisa nyaingi kemampuan orang lain. Lo cuma perlu nglampaui kemampuan diri sendiri. Intinya belajar bersyukur. Lo boleh-boleh aja kok, out of the box. Tapi inget satu hal. Nggak semua dalam diri lo bisa dipaksa dan itu terasa seperti buat gue." Ya, Rion dan Tora berada dalam satu barisan di bangsal IGD. Aubee seketika menyunggingkan senyum simpulnya. Soalnya yang Rion bilang sama Tara itu adalah kalimatnya. Ketika Rion mendadak mau belajar, tapi sia-sia. Gegara dia fustasi, tak masuk satu pun pelajaran yang dijelaskan Aubee, dan ujungnya ketiduran.

"Dan gue nyesel. Maaf, gue selalu anggep lo saingan ketimbang saudara. Gue jadi sadar setelah lo lakuin ini. Gue juga diem-diem perhatiin lo, gue tahu kebiasaan lo dan sikap lo. Gue janji bakal ubah sikap gue. Gue udah terlalu egois mikirin diri gue sendiri. Rion udah nyadarin gue berkali-kali, tapi gue acuh."

"Kak," memutus Tara yang sedang berpidato.

"Ya?"

"Kita saudara, kan?" Senyum Tara mengembang sempurna. Lalu mengangguk, kini tinggal urusan mereka dengan orang tua yang baru saja datang. Semoga cepat selesai nantinya.

Jadi ini semua adalah sumber masalah Rion. Dia merasa akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Benar saja, Tora mengabulkannya. Rion mungkin ingat gerak-gerik orang yang akan bunuh diri. Karena dia pernah mengalami. Djavu rasanya. Semua itu membuat trauma besar dalam hidupnya. Maka dari itu, Rion tak mau terlibat dengan orang lain.

Semua seakan terjawab. Perubahan yang Rion alami. Dia uring-uringan dengan semua ini. Segalanya berpusat pada Tora. Katakanlah, Rion takut itu terjadi lagi. Makanya, Rion tak berani cerita. Karena akibatnya akan sangat besar bagi dirinya. Ingatan, ketakutan, dan penyesalan. Semua berpadu jadi satu. Rion pasti akan semakin menderita.

Kegelisahan itu kembali Rion alami dalam tidurnya. Semua mendadak cemas. Dan mencoba membangunkan anak itu. "Rion, bangun sayang," ucap Misha, seraya mengusap pelan pipi Rion.

"Sayang, bangun."

Terkesiap. Rona wajahnya semakin pucat saja. Sejurus kemudian, Rion langsung mendekap Misha erat. Meremas ujung bajunya kuat. "A-aku takut, Ma. Aku ta-kut."

Tidak, Rion tak menangis. Matanya saja yang bergerak gelisah mencari objek untuk di pandang. Lalu Aubee memasang badan. Menggenggam jemari Rion. Memandang dalam manik sewarna pekat malam tersebut.

"Jangan takut, Dek. Ada Mama, Papa, sama bbang disini," ujar Aubee meyakinkan. "Jadi, jangan takut lagi, ya?"

~~~~~

Tora memilih libur sementara, sedangkan Rion masih demam dan di rawat di rumah. Tak mau dia kalau di rumah sakit. Lalu yang terjadi di sekolah, adalah berita mereka berdua yang jadi trending topik. Aubee sampai jadi sasaran warga sekolah. Beruntung, Aubee sangat pandai bicara. Dia juga tak memutar balikan fakta. Mengatakan yang perlu dikatakan agar tak menjadi bahan gosip, lalu muncul teori aneh dalam kepala orang-orang. Namun, ada sebagian hal yang tetap menjadi rahasia.

Orang tua si kembar memutuskan untuk membawa pergi keduanya. Ke luar kota. Mereka jadi sadar bahwa ada dua anak yang mesti mereka perhatikan. Dari kejadian ini, ternyata membawa dampak besar bagi ayah-ibu Tara dan Tora. Mereka jadi lebih mawas diri perihal merawat kedua anaknya.

Tara dan Tora mereka perlakukan berbeda. Itu tidak adil bukan? Mereka juga tahu perbuatan mereka salah. Rasa terima kasih juga mereka berikan pada Rion. Karena sudah berkorban nyawa demi Tora. Itu akan menjadi sejarah yang mengingatkan mereka, agar tak lagi pilih kasih dan membagi cinta secara egois.

"Rion sayang bangun, yuk. Makan terus obatnya diminum."

Dengan malas Rion terbangun. Panasnya masih menginap di tubuh Rion. Entah kenapa demamnya susah sekali turun, tapi Rion juga tak mau ke rumah sakit.

Pahit, semua yang dikecapnya tidak ada bedanya dengan obat. Hanya beberapa suap. Lalu memilih menyudahinya. Dilanjutkan dengan menenggak obat yang membuatnya sangat mengantuk.

"Udah ya, lupain semuanya. Anggep aja mimpi buruk. Semua udah berlalu, Dek. Nggak ada yang bisa ngerubah takdir. Walau jungkir balik sekalipun. Adek harus relain. Harus terima yang udah jadi jalan adek. Ini bukan salah adek, semua udah milik takdir yang dibuat sang Kuasa."

Mengecup pucuk kepala Rion lama. Misha juga Anvar, tak mau hal ini terus berlarut-larut dan merusak mental Rion. Dia perlu kehidupan yang normal. Tidak ingin Rion terus terpuruk dalam traumanya. Meskipun tidak akan sesempurna itu jika dihilangkan. Namun, setidaknya mereka berupaya mengembalikan senyum Rion. Pula rasa lega untuk Rion. Mereka ingin Rion menjalani hidup dengan tenang, sampai nanti sampi mati.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/07/23.

Edited [11 Feb 2022]

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang