[ 11 ]

4.2K 465 37
                                    

Tak ingin masalah mereka semakin berlarut. Tara mengunjungi Rion di rumahnya. Bersama Tora tentunya. Sambutan baik mereka dapat dari Misha. Mengantarkan mereka sampai ke kamar si bungsu. Si empunya tengah berbaring, memainkan ponsel. Pasti ngegame. Apalagi memangnya?

"Rion, ada temenmu." Menghentikan permainannya, membawa gawainya ke atas nakas. Lalu, duduk bersandar pada headboard.

Tara mendaratkan bokongnya di ujung kasur. Kemudian Tora berada pada reading nook yang isinya cuma komik. "Gimana keadaan lo?" Tara mengawalinya. Mendengar Rion demam setelah penyelamatan Tora. Membuatnya sedikit banyak ada sesal dalam hati.

"Udah baikan." Tara memajukan posisi, menempelkan punggung tangannya ke dahi Rion yang langsung ditepis Rion sendiri.

"Masih panas."

"Ditunggu lah, ntar juga adem. Apa ditiup?"

"Bukan wedang kali, Ri." Mereka terkekeh bersama. "Gue kesini selain jenguk lo. Gue juga mau minta maaf dan berterima kasih."

"Apa sih, Tor. Lebay amat lo." Tara merotasikan bola matanya. Terserah Rion lah. Mau manggil dia siapa.

"Ya nggak lebay lah, harusnya gue yang selametin adek gue dan harusnya gue lebih peka. Keinginan gue hampir aja dikabulin sama Tuhan." Tara menunduk dalam, menatap selimut yang sepertinya lebih menarik daripada apapun.

"Semua udah terjadi. Gue juga, harusnya ngomong yang bener. Nggak pake kode-kodean kayak perawan. Gue juga egois, kok." Satu lagi, gue takut buat bicara. Lanjut Rion dalam hati. "Mungkin, Tuhan mau ngingetin kita dari kejadian ini. Bukan lo aja yang ngerasa tertekan, Tora lebih dari itu. Lo mungkin sekedar tertekan karena ayah sama ibu, lo. Tapi, Tora? Dia ngrasain semuanya, dia pengin lebih deket sama lo. Gue yakin, Tora putus asa, dia nggak tahu jalan buat pulang."

Rion menatap Tora dan yang ditatap cuma tersenyum tenang. "Tora lagi sakit. Dia berada dalam titik terendah dalam hidupnya."

Tara meloloskan perasaan menyesalnya setelah mendengar kalimat itu. "Lo harus lebih baik sama adek lo. Karena dia bakal jadi harta paling berharga. Beruntung, dia masih ada." Rion menggigit bibirnya. Iya, Tara begitu beruntung, masih memiliki Tora. "Sahabat seumur hidup lo."

~~~~~

"Apa demam Rion belum turun?" Misha menggeleng, sembari meletakkan piring-piring berisi lauk, ke meja makan. "Udah dua hari lho, Ma."

"Adekmu, nggak mau dibawa ke rs, Bi," ujar Anvar ikut menanggapi. Aubee terlihat begitu khawatir.

"Apa telpon Om Lingga aja, Pa."

Anvar mendesah. "Lingga belum pulang. Pulangnya pas pertemuan keluarga nanti."

Pertemuan keluarga, ya? Aubee mendadak malas. Apalagi dengan kondisinya yang sedang tak baik. Bukan karena itu juga, sih. Terlebih karena Rion. Apakah dia baik-baik saja setelah ini? Tentu saja tidak, Aubee. Tora dan Tara saja sudah mengaktifkan mode trauma Rion. Apalagi jika nanti bertemu nenek. Semoga tak makin menjadi.

Memutuskan ke kamar Rion, membawa semangkuk bubur ayam buatan Misha dan segelas air. Sekarang, Aubee pakai penyangga kaki. Jadi tak perlu pakai kruk. Memudahkan dia dalam bergerak, walaupun rasanya memenuhi celah kakinya.

Tentu saja, menemukan presensinya tapi masih tidur. "Rion." Aubee menepuk pelan lengan Rion. "Dek." Rion berjengit, kemudian menyipit, jemarinya bergerak mengucek matanya yang lengket.

"Makan dulu."

Rion menggerakkan kepalanya, menggeleng. "Males, nggak enak."

"Kapan sembuhnya kalo nggak mau makan?"

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang