[ 16 ]

3.7K 460 49
                                    

Sudah satu jam, sejak dia duduk di depan Aubee. Menyangga sebagian pipinya. Cuma memperhatikan Aubee yang sibuk dengan pekerjaan sekolah.

"Bang,"

"Hem,"

"Abang nggak kepikiran pengin pacaran, gitu?" Aubee mengehentikan pergerakannya. Lalu memandang heran ke arah Rion. Tangannya beralih menyetuh dahi Rion, siapa tahu anget, tapi tidak sama sekali.

"Kenapa mendadak tanya gitu?"

"Ya, kan, gue pengen tahu, pengin lihat, gaya lo pacaran." Memejamkan matanya, menghembuskan nafas relaks.

"Gue belom pengen." Memicing, Rion tak percaya.

"Abang bukan maho, kan?"

Plok!

"Dasar semprul." Rion mengusap-usap kepala malangnya. Digetok pakai buku paket. "Udah dibilang, gue belom ada niat. Nggak tertarik."

"Ahelah, nggak asik lo, Bang."

"Serah, lah."

Hening sejenak. Sebelum suara bel, tanda kehadiran seseorang di luar sana, merangsek, menyambangi indera pendengaran. Setelah sedikit eyel-eyelan, siapa yang akan membuka pintu. Hingga Misha menegur dari dalam. Akhirnya, Rion mengalah, namun masih dengan ngedumel.

"RIOOON!" Auto memejam, ketika teriakan itu memenuhi gendang telinganya. Menerobos masuk, diikuti sang istri, yang mengusak pucuk kepalanya, gemas.

Menyusul, orang itu, bahkan sudah duduk manis sebelum disuruh. "Rumah sebelah mau dijual, kita kesini, buat ngelihat. Dan deal, mulai lusa kita tinggal di sebelah." Jelasnya tanpa ditanya.

"Beneran, Ngga?" Sambar Anvar. Iya, Lingga, mengangguk mantap. Baiklah, sepertinya, akan makin rame, deh, setelah kedatangan tetangga baru. "Yaudah, makan, yuk?"

Girang, dengan sangat senang Lingga mengiyakan. Dan menyeret Yumna, juga Aubee, untuk segera meluncur ke meja makan. "Rion cepetan, sebelum Om, abisin."

Pokoknya, kalau sudah ada Lingga, pasti suasana jadi makin berisik. Dia tak akan membiarkan keheningan menyapa sekitarnya. Tidak ada yang tidak bicara. Tak apa, sih. Tak ada salahnya. Tapi, heran saja, ada dokter macam begitu?

"Eh, Om, kapan Om mulai pacaran?" Lingga mengangkat alisnya. Tidak menyangka, Rion akan bertanya perihal itu.

"Lingga ditanya." Ini Anvar yang jawab. Dia dari SMP kali, udah berani godain cewek. Papa aja kalah, Nak."

"Nggak ya, Abang juga gitu." Sanggah Lingga dengan cepat. "Papa kamu, tuh, yang kenalin aku ke cewek."

"Kenapa aku jadi kambing hitam?" Para wanita cuma bisa geleng-geleng kepala melihat Anvar dan Lingga. Yang sama-sama, tak mau kalah, apalagi kalau sudah ada Heri disana. Makin jadi, deh.

"Emang, iya. Terus kenapa kamu nanya gitu, Rion?" Tanya Lingga penasaran. Irisnya menelisik, mempelajari air muka Rion.

"Nggak papa. Cariin pacar buat Abang." Kalau Aubee sedang minum sekarang, pasti sudah tersedak. Beruntungnya tidak, dia cuma melototi Rion sangar. "Biar nggak bercumbu mulu sama pelajaran."

Astaga! Bolehkah semua menepuk jidat? Benar-benar. "Atau jangan-jangan lo yang pengin pacaran, hah?" Serang balik Aubee.

"Nggak, yeu!"

"Halah, ngaku!"

"Udah sih, sama-sama mau pacaran kali." Lingga menengahi. Yang seketika langsung dijawab bersama oleh Kakak ber-Adik itu.

"Nggak!"

"Dasar." Lingga mencibir.

"Mau nginep?" Lingga mengangguk cepat pertanyaan Misha. "Yaudah ntar tidur di kamar Rion aja."

"Jangan mau, Om. Kamar Rion bau kecut."

"Enak aja, yang ada, kamar Abang, dong."

"Iya bau wangi,"

"Wangi iler, hah?" Rion dan Aubee sama-sama tak mau kalah. Ke empat orang disana mengabaikan dua remaja itu, selagi menunggu mereka capek sendiri. Para orang dewasa, hanya makan dalam diam. Membiarkan keduanya berdebat. Musik paling indah untuk para Ibu, ya, itu. Adu mulut anak-anaknya. Nanti, kalau mereka sudah beranjak dewasa, pasti akan lebih diam, dan pemandangan seperti ini, pasti jadi langka. Jadi intinya, biarkan saja, mereka.

~~~~~

Jika pada akhirnya, Rion tidur di kamar Aubee. Karena Aubee masih di ruang tamu. Ngapain juga mereka ribut? Tapi itulah, seninya.

Semenjak pulang dari kediaman Nenek. Rion seperti mengabulkan keinginan otaknya untuk melupakan semua kejadian. Benar juga, walaupun tak sepenuhnya, tapi sebagian hati Rion sudah lepas dari belenggu kepedihan. Dia bahkan tidak memikirkannya. Semoga saja, Nenek tak tiba-tiba datang dan mengganggu. Haha! Kalau itu terjadi, pasti akan lucu sekali.

Rion kembali bersekolah, setelah libur lagi karena bronkitis yang di deritanya. Sungguh ingin libur saja, Rion malas. Dan Lingga sungguhan sudah menjadi tetangganya, yang setiap malam, makan di rumah. Padahal kadang Yumna sudah masak. Tapi Lingga meminta Yumna memboyong semuanya, dan dimakan di rumah Anvar. Tak ada salahnya memang. Karena, dia bawa nasi dan lauk sendiri. Kadang malah tukeran lauk. Dasar, keluarganya aneh.

Kebanyakan yang Rion lakukan juga hanya tiduran saja di kelas. Mau apa lagi, memangnya? Setelah Tara dan Tora pindah. Tak ada lagi yang dekat dengannya.

Tumben-tumbenan pagi ini, Misha telat bangun. Dan, Rion tak dibekali, jua dirinya tak sarapan. Maka dari itu, dia sedang mengantri, sembako, bukan lah, tapi bakso. Tak sengaja, dia mendengar bisik-bisik para gadis, kelas 11, dibelakangnya.

"Iya, kemaren gue lihat. Orangnya ganteng banget. Nemu dimana lagi cowok kaya gitu?" Rion merotasikan bola matanya jengah. Tak ada bahasan lain apa?

"Oiya, gue juga nggak sengaja denger namanya."

"Eh, siapa? Siapa? Siapa?" Pinta teman di sebelahnya tak sabar.

"Vero," Jawabnya ragu. "Iya, Vero."

Deg!

Dunia seperti berhenti berputar, kala nama itu terdengar. Vero? Kenapa harus nama, itu? Tapi nama Vero banyak, kan? Bukan cuma dia seorang. Hanya saja, mengingatnya membuat nafsu makannya ambyar seketika. Memilih meninggalkan kantin, dan pergi ke UKS, untuk tidur.

Tapi, karena perutnya keroncongan. Rion tak bisa tidur. Padahal sudah mencoba menutup mata dengan lengannya. Agar tak kena cahaya sedikitkpun. Hah! Harusnya tadi dia makan, saja. Daripada harus menanggung kelaparan.

Krasak!

Hampir saja Rion terjungkal. Giginya sudah gemelutuk, ingin segera mencak-mencak pada pelaku, pelempar kresek ke dadanya. Tapi, niat itu dia urungkan, kala melihat sang Abang.

"Kenapa?" Tanyanya. "Belom makan, kan?"

Rion meraih kresek hitam kecilnya, itu. Membukanya perlahan. Isinya, minuman jelly penunda lapar rasa jambu, juga tak ketinggalan, satu bungkus camilan ekstrudat rasa cokelat. Apaan coba? Emang Rion anak SD, apa? Dia butuh nasi, elah, bukan jajan.

"Males ngantri, yaudah beli itu aja. Gue lihat, lo tadi pergi dari ngatri bakso." Itu menjelaskan semuanya, tak perlu dipresentasikan lagi. "Kenapa?"

"Nggak, pa-pwa."

"Kebiasaan, deh. Kalo ditanya nggak papa. Gue nggak mau, Adek gue sok jadi badut. Yang terus-terusan pake topeng kebahagiaan. Kalo sakit bilang, Dek. Teriak kalo perlu."

"Apa hubungannya?"

"Nggak ada, tapi gue tahu, lo pergi dari sana karena apa."

Bukan Aubee kalau tidak tahu perihal apa-apa yang tengah Adiknya rasakan. Dia bisa menjadi sepeka itu, atau tidak peka sama sekali. Meski begitu, kadang Rion enggan bercerita. Dia segan, dia tidak mau menambah beban untuk orang lain.

"Gue nggak masalah dianggap pembunuh sekalipun. Yang gue mau, dia ngaku, karena dia, Mama, sama Papanya, tahu apa yang terjadi sebelumnya."

~~~~~

Hello August!

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/08/2020.

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang