"Abang yakin mau sekolah?" tanya Anvar sekali lagi. Mencoba meyakinkan hatinya bahwa Aubee sudah dalam kondisi lebih baik.
"Aku masih bisa jalan, Pa. Lagian cuma dikelas doang. Udah banyak pelajaran yang ketinggalan," tukas Aubee.
"Ahelah! Abang juga nggak bakal bego, nggak sekolah sebulan." Seketika Misha menarik kedua bibir Rion gemas. Rion cuma melirik Misha kesal karena membangunkan paksa dirinya sepagi Aubee siuman. Katanya dia harus berangkat bersama, demi membantu Aubee di sekolah. Memangnya dia perawat apa?
"Ya udah Rion, jagain Abang," titah Anvar pada Rion.
"Hem."
"Jawab yang bener dong."
"Iya, Papa."
"Gitu, dong."
Sesampainya di sekolah pun Rion terus-terusan menggerutu. Karena Aubee tak mau pakai kursi roda. Akibatnya Rion harus menunggu Aubee yang menurutnya jalan kayak bekicot. Padahal Aubee lumayan kesulitan pakai kruk.
"Abang, buruan dong!" Sudah kesekian kalinya Rion teriak seperti itu.
"Tinggal aja sono!" Aubee ikut-ikutan berteriak tak terima. Rion mendengus, dia kembali mendekati Aubee. Ingat perkataan Anvar tadi pagi dan juga karena kasihan pada abangnya satu itu. "Kenapa?" tanya Aubee penasaran. Apalagi raut Rion yang berubah. Berbeda dari sepersekian detik yang lalu. Acara ngambek kemarin berlangsung sebentar karena sudah ditambani dengan makanan.
"Nggak papa, udah jalan sih." Aubee hanya tertawa renyah. Senang saja melihat Rion seperti anak kucing macam ini. Walaupun kadang, ah tidak! Malah lebih sering bertingkah sangat menyebalkan dan menggemaskan dalam waktu yang bersamaan.
Butuh waktu untuk penyembuhan kaki Aubee. Sekitar beberapa minggu kedepan. Selama itu pula Rion tak bisa bebas main. Dia harus stand by di sekolah, juga di samping Aubee. Macam baby sitter. Lagipula dia lebih berkewajiban membantu dibanding teman-temannya.
Bosan, sudah pasti, tapu mau gimana lagi? Rion harus. Saudaranya sedang 'lebih' butuh dirinya sekarang. Jadi dia tak boleh egois. Memikirkan diri dan kepentingannya sendiri itu fatal.
Rion terkejut di dalam bilik toilet ketika mendengar suara pintu di banting. Di susul teriakan seseorang.
"Kenapa, sih, Kak?! Apa salah aku?!""Kenapa sih, lo nggak ngalah aja jadi pura-pura bego hah? Kayak Rion." Mendengar namanya di sebut dan dari suara mereka, sepertinya Rion tahu siapa.
"Apa masalahnya? Lagian, nilai kakak lebih tinggi dari aku."
"Ya masalah lah, karena Ayah udah prioritasin gue. Dan lo hampir ngancurin semuanya."
"Kak, kakak anggep kita ini apa? Kenapa sampe kakak cemburu kayak gini?"
"Saingan. Lo itu saingan gue. Mending lo pergi deh, dari hidup gue."
Manik Rion bergetar setelah mendengar kalimat itu. Ada yang memanas disana. Seluruh penglihatannya berkabut. Bibirnya juga turut berkedut. Kembali merasakan apa yang seharusnya dilupakan. Semua terasa hening bagi Rion. Telinganya mendadak tuli hanya untuk mendengar ocehan dua orang yang terus saja berlanjut. Ternyata dugaan Rion benar selama ini. Tara menganggap Tora, hanya saingan. Sesak rasanya, bilik itu terasa semakin menghimpitnya. Dia butuh oksigen secepatnya.
Tara dan Tora menoleh bersamaan saat Rion membuka pintu bilik WC kencang. Napas mereka memburu, tak beda jauh dengan Rion. Si kembar juga tampak kaget dengan adanya Rion di dalam sana. Keduanya bergeming sampai Rion pergi dari tempat itu. Tara tak tahu harus apa dan bagaimana. Terlalu cepatuntuk berpikir cepat.
"Urusan kita belum selesai." Mengejar Rion dan menyamakan langkahnya.
"Sorry, Ri."
Berhenti, lalu tersenyum remeh. "Gue kira lo beda, ternyata sama aja." Tara tak terlalu mengerti sebenarnya pada apa yang Rion bilang tentang 'dia sama saja'. Dengan apa dan siapa?
"Please, Ri. Dengerin gue dulu."
Orang-orang di sana berteriak ketika Rion melayangkan tinju pada Tara. Membuat Tara jatuh tersungkur. Rion masih mematung, bahunya naik-turun dengan napas megap-megap. Menatap nyalang Tara. Lalu berbalik menjauh, tungkai kakinya entah membawa kemana. Keluar sekolah saat istirahat tentu diperbolehkan, hanya di dekat sana, sekedar mencari jajan. Namun Rion, dia melenggang jauh dari tempat seharusnya dia berada. Terus berjalan bahkan berlari. Kemudian berhenti saat kakinya mengajak untuk tak bergerak lagi.
Rion tak tahu dia marah untuk apa dan sama siapa. Dia meremas celananya. Rasa kesal dan sesal bercampur jadi satu. Dadanya bak terganjal sesuatu yang keras. Sungguh menyiksa. Segala pikirannya berkecamuk, bercabang, berpencar-pencar, hiruk pikuk di dalam kepala. Sampai jemarinya tak kuasa menjambak kasar rambutnya.
"Oi!" Rion menengok tanpa selera. "Bukannya lo anak SMA itu, kan?" Mengernyit, mencoba mengingat di mana dia bertemu lelaki berambut keriting, badannya cukup besar, dengan bahu lebar, dan kulitnya agak gelap ini.
Ah! Rion ingat. Tawuran. Tapi bukan yang dijemput bapaknya baik-baik. Ini beda lagi. "Mau kemana? Minggat?" Rion hanya menarik bibirnya tipis. "Ikut aja, yok? Daripada disini sendirian."
"Ayok, lah." Sambung yang lain. Mereka ada enam motor dan berboncengan. Salah duanya perempuan, tak terlalu cantik sih, tapi semok lagi bohay. Itu yang Rion tangkap. Kecuali si Keriting, panggil saja seperti itu karena dia juga tak memperkenalkan namanya dan tak ada name tag di seragamnya. Masa bodoh lah.
Si Keriting melemparkan helmnya ke Rion. Tanpa pikir panjang Rion mengenakannya. Persetan dengan Aubee. Dia hanya ingin menengakan pikiran, menjauh sebentar dari kekalutan. Ngintil anak-anak STM ini.
Sebuah rumah menjadi tujuan mereka. Rion juga tak tahu mau ngapain. Dia tak terlihat seperti murid baik-baik, kok. Apalagi baju yang dikeluarkan. Dasi yang sudah dia copot. Tapi tampangnya terlalu manis untuk seseorang sepertinya.
"Ini rumah gue, ortu gue ding. Tapi emang kosong, nggak dipake. Jadi gue ama teman biasa main kesini." Rion cuma ngangguk-ngangguk ketika Keriting nyerocos. Begitu di dalam, mereka otomatis duduk di sofa dan kursi tambahan.
"Lo pernah minum nggak?" Si Keriting bertanya pada Rion. Rion agaknya tak paham. Namun, setelah dia ditunjukkan sebuah botol bening dengan sederet huruf yang menunjukkan merek anggur merah dengan kadar alkohol lumayan tinggi. Dia jadi mengerti. "Dari muka lo, lo bahkan nggak pernah nyentuh ginian. Sama ini."
Rion tak terkejut, dia hanya bergeming menatap plastik-plastik kecil berisi pil di atas meja. Okelah, Rion tahu, tapi senakal-nakalnya Rion dia tak sampai berbuat seperti itu. Dia tahu batas.
"Lo mau nyoba nggak? Itung-itung ngilangin stress."
"Maaf, gue temenin kalian aja," tolak Rion sopan. Kenapa juga harus minta maaf dianya? Padahal tak ada yang salah.
"Oh, ayolah segelas doang." Rion berpikir lagi, ada sih rasa penasaran. Ingin mencicipi minuman yang nampak menggiurkan dan 'kelihatan' manis. Namanya juga remaja. Pasti ingin tahu dan coba segalanya. "Kita giliran ntar. Tenang aja."
"Oiya, habis ini juga kita juga ada kegiatan lain."
Masih terus berpikir. Dengan sesekali menyesap udara melalui giginya. Rion sedang berusaha berpikir jernih sekarang. Rasa penasarannya sangat tinggi. Lalu kegiatan apa yang ditawarkan oleh Keriting? Rion tak bisa membayangkan. Mungkin sesuatu yang menyenangkan.
Iya atau tidak? Sekedar tahu atau mencobanya?
~~~~~
Nah, loh!
Rion nyicip nggak, ya?
Berpikir positif aja, mungkin itu cuma minuman berenergi rasa anggur. Biar rosa!Love ya!
HoilandWonosobo, 2020/07/18.
Edited [11 Feb 2022]
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...