[ 23 ]

3.5K 427 44
                                    

Ini bosenin aseli.

Perjalanan yang lama. Hanya untuk menemui Rion. Tiga orang itu merasa terpana dengan sekolah yang Rion tempati itu.

Ya, Dian, Arsen, dan Vero berencana menemui Rion. Mereka ingin bicara secara langsung dengan Rion. Menunggu lagi beberapa menit, sebelum pintu itu terbuka dan menampakkan seorang pemuda. Tatapan sendu itu, berubah menjadi kilatan amarah, walau rautnya datar-datar saja.

"Ada masalah apa sampai harus kesini?" Terdengar ketus memang. Tapi Rion memang tak pernah berlaku lemah lembut pada ketiganya, seusai kejadian yang menimpa putri mereka.

"Kamu sehat kan, Nak?" Tersenyum getir, bahkan Dian lebih memperhatikan Rion dari dulu, daripada putrinya sendiri. Mengangguk, sebagai tanda hormat, sudah dicemaskan. "Tapi kenapa wajahmu pucat?"

"Nggak papa, aku cuma...terkejut?"

Arsen beringsut, ke hadapan Rion. "Rion, mohon beri kami waktu." Sudah Rion duga, kedatangan mereka hanya sebatas itu.

"Aku capek, seolah semua ini cuma persoalan anak yang mendorong anak lain, atau anak laki-laki yang mengangkat rok seorang perempuan." Rion mengatakan kenakalan yang dulu pernah dia lakukan.

"Maka dari itu, kami nggak bisa selesein dengan cepat." Arsen nampak memelas, semua tertera sangat jelas pada air mukanya.

Rion menghembuskan nafasnya kasar, dia mulai kekurangan oksigen sepertinya. "Udahlah, lupain. Nggak ada yang perlu direka ulang, aku udah terima, kok, aku ngalah. Aku pelakunya, aku yang bunuh Sandra. Sudah puas, kan? Nggak perlu lagi jelasin apa-apa ke Nenek. Sampe matipun, aku akan mendapat gelar itu."

"Rion! Paman mohon! Sebentar lagi, kami akan bersihkan namamu. Paman janji." Rion meremas celananya, mau sampai kapan masalah ini terus berlanjut? Rion mengerang frustasi. Diusap wajahnya kasar. Mencoba meredam segala macam perasaan yang teraduk-aduk di jiwanya.

"Aku lelah, aku mau istirahat." Meninggalkan ketiganya, di sebuah ruangan khusus pertemuan. Vero bangkit, mengejar Rion yang baru saja melewati pintu.

"Rion!"

"Cukup Ve," Ucap Rion tanpa membalikkan tubuhnya. Vero cuma bisa melihat punggung kokoh--namun rapuh--milik Rion. "Gue nggak peduli lagi sama semua ini, biarin gue hidup aja, itu udah lebih dari cukup. Lebih baik kayak kemarin-kemarin. Kita saling diam, daripada mengolah masalah ini terus-menerus. Gue juga nggak mau, lo dan keluarga lo depresi. Anggep aja kayak dulu. Gue udah maafin kalian. Gue tahu kalian cuma takut, makanya lupain semuanya. Hiduplah senormal mungkin." Kembali melangkah, mengabaikan Vero yang masih ingin bicara padanya. Tapi, bicara apa? Apa yang harus Vero katakan lagi? Dia bahkan kehilangan seluruh kalimatnya. Hidupnya kacau, setelah...

Dia mengikuti Sandra. Karena tak biasanya pergi malam. Tapi belum apa-apa. Vero kehilangan jejak. Dia terus mencari dan mencari. Sampai akhirnya dia menemukan Sandra tengah menggantung di jembatan, dan Rion sedang memegangnya.

Vero ingin saja melangkah kesana. Tapi, rasanya kakinya tak mau bergerak. Sebenarnya dia iri pada Sandra. Karena banyak teman. Termasuk dekat dengan Rion, juga Aubee. Kenapa? Kenapa bukan dirinya. Ada rasa marah di dalam hatinya.

Namun sejurus kemudian, dia merasa dirinya egois. Adiknya bisa saja meregang nyawa disana. Bergegas, Vero membuat kakinya berlari. Hanya ketika, dia berada di ujung jembatan. Tangan itu terlepas. Vero menatap nanar, Adiknya yang tergeletak di bawah dengan darah dimana-mana.

Jatuh tepat di atas mobil, kepalanya membentur kaca dan sebagian body mobil. Lalu terlempar tinggi, melayang, dan jatuh lagi ke aspal. Mengerikan, pasti sakit sekali. Vero menangis, dia menangisi Sandra.

Apa yang diperbuatnya kala itu adalah kesalahan terbesarnya. Dia dan keluarga membiarkan Rion jadi tersangka, padahal mereka, lah, yang seharusnya jadi pelakunya. Sadar, akui kalau memang salah, juga minta maaf, terasa sangat berat buat mereka.

Penyebab bunuh diri Sandra adalah dia merasa tak berguna untuk siapapun. Orang tuanya selalu mendukung Vero, tapi tidak dengannya. Dia selalu dibanding-bandingkan dengan Vero. Makanya dia marah. Cuma diam. Puncak emosinya, ketika dia mendapati bahwa dia akan dibawa ke asrama. Dia tidak mau, dan tidak suka. Vero juga tak pernah membelanya, itu juga yang menjadi penyebab Sandra merasa tak dibutuhkan. Seakan keluarganya tengah menindas dirinya. Dan dia tertekan. Padahal semua yang orang tuanya minta, sudah dia turuti. Lalu Vero? Dia bisa mendapatkan segalanya, sesuai keinginannya.

Rion pernah tak sengaja memergoki mereka. Sandra dan segala peraturannya. Yang utama dan paling utama adalah, jangan pernah lebih tinggi dari Vero. Sandra dikuliti habis-habisan saat itu, dituduh mencuri lembar jawaban, ketika nilai dan rankingnya berada pada posisi paling atas, melampaui Vero.

Dian, selalu memanjakan Vero dengan segala fasilitas yang keluarga itu miliki. Namun, Sandra? Tidak pernah. Mereka dibedakan, hanya dengan Neneklah, Sandra bisa mendapatkannya. Tapi, afeksi yang Sandra butuhkan bukanlah hanya dari seorang Nenek dan Rion semata. Tapi keluarganya, orang tuanya. Dia butuh itu.

Sandra juga sangat suka balet, tapi impiannya harus pupus kala Arsen dan Dian tak setuju dengan itu. Diam-diam, Sandra belajar otodidak, mempelajari tarian itu. Namun, ada saja, orang yang membocorkan itu. Vero, ya, dia orangnya. Dia bahkan menaruh paku payung pada sepatu baletnya dan membuat kakinya terluka.

Dalam perkara terkecil pun, seperti siomay. Pernah, Sandra memakan siomay sisa, punya Vero, dan Vero membuat itu menjadi masalah. Pada akhirnya Sandra mengalah, dan dia akui tidak lagi suka makanan itu.

Dia seakan tak suka dengan kemampuan Sandra yang melebihi batasnya. Dia jago dalam hal apapun. Saingan terberat, adalah Adik perempuannya itu.

"Papa dan Mama, meminta gue menjadi pewaris utama yang sempurna. Dan lo, cuma kacung. Jadi, kayak Rion, kek, sekali-kali."

Rion mendengarnya dan dari sana, Rion tahu, apa saja yang Sandra alami di keluarganya. Tidak, Rion tak pernah sakit hati, jika ada yang mengejek dirinya bodoh. Dia memang bodoh. Tapi, meminta seseorang menjadi seperti dirinya yang bodoh, dia juga sakit hati. Rion terus berusaha menjadi teman bagi Sandra, namun itu semua sia-sia.

Semangat hidupnya mulai pudar. Sandra kehilangan semuanya. Dia sakit batinnya. Dia tidak tahan terus hidup seperti itu. Mengalami depresi, namun, tak pernah Sandra tunjukkan. Ketika bersama Rion, mereka selalu tertawa bahkan terbahak. Tapi, Rion tahu, dibalik tawa kencangnya, ada raungan dalam hatinya.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Vero, Arsen dan Dian mungkin merasakan itu ketika Sandra memilih mengakhiri hidupnya. Tapi, bagi Rion, mereka hanya takut, takut tertangkap basah. Adik Aubee itu masih diam memang, dia ingin mendengar kalimat penyesalan dari mulut mereka langsung. Itu saja, tidak lebih. Agar dirinya dan Sandra tenang dalam masing-masing tidurnya.

Menjadi sebuah teguran bagi tiga orang itu. Rion korbannya, mereka benar-benar merasa egois. Tahu, bahwa semuanya sudah salah dari awal. Dan yang harus menanggung bahara itu adalah Rion. Mereka bahkan hidup tenang selama ini. Sepertinya mereka terlalu buta hati, menganggap masalah ini sepele, seperti kata Rion. Tapi, tapi, tapi, terlalu banyak tapi. Mereka hanya takut, ya, lagi-lagi, Rion benar.

Sebuah paradoks yang bermula dari mereka dan harus mereka juga yang menyudahi. Menggulung, menggilas semua kontradiksi yang bertunas, semakin merambat, menjalar bagai sulur pengacau, menjangkiti individu lain.

Hanya satu, selesaikan seluruhnya.

~~~~~

Love ya!
Hoiland

Wonosobo, 2020/08/11.

ORION ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang