Ruangan itu masih begitu hangat. Humidifier juga disediakan, agar udaranya lembab. Mendadak sesak lagi dini hari tadi, juga ditambahi dengan panas, membuat Aubee harus tega membangunkan Lingga, guna memasangkan dan mengatur tekanan oksigen yang Rion butuhkan.
Selangnya, sudah dicopot tadi pagi. Dan Rion masih terlelap. Aubee memandangnya lamat, sesekali mengelus surai hitam nan lembut itu. Aubee sangat sayang pada anak ini. Bukan hanya sekedar adik, tapi lebih dari itu. Rion mungkin adalah nyawa bagi keluarganya. Sekecil apapun Rion tergores, bagi mereka itu sudah sangat dalam. Aubee tidak bisa membayangkan jika dia kehilangan Rion, seperti kemarin. Itu adalah ketakutan besar untuk Aubee.
"Bang," Serak, suara Rion berubah.
"Lo butuh apa?"
"Nggak, gue cuma mau nitip kado aja buat Nenek. Gue nggak mau ngrusak suasana." Teriris, hati Aubee. Dia tak mau mendengar kata-kata seperti ini dari Rion. Rion yang sudah terlalu banyak mengalah, tapi sikap Neneknya yang tak mau kalah. Kalau saja, Nenek membuka mata hatinya. Bagaimana Rion menerima segala macam tekanan yang Nenek berikan. Aubee yakin, Nenek akan bertekuk lutut pada Rion.
"Gue males ke bawah."
"Bang, hormatin Nenek, lah. Nenek pasti seneng, dapet kado dari lo."
"Hati lo terbuat dari apa, sih, Dek? Kuat bener." Bukannya menanggapi ucapan Rion. Aubee malah bertutur yang lain.
Rion cuma terkekeh. "Menurut lo? Masa iya, playdoh." Mendengus, Aubee kesal, ketika pertanyaannya yang serius, selalu dijawab dengan candaan oleh Rion.
"Yaudah, gue turun. Lo, cepet sembuh." Rion mengangguk lucu. Membuat tangan Aubee bergerak, mencubit gemas pipi Rion.
"Abang!"
~~~~~
Perayaan itu, hanya sekedar perayaan. Tanpa kesan menyenangkan sama sekali. Memang dari dulu begitu. Tak ada yang istimewa dari semua ini. Hanya tempat Nenek membagi sumpah serapahnya.
Membuka kado dengan bahagia. Kado-kado sederhana dari anak dan cucunya. Termasuk dari Rion, yaitu aroma terapi, kesukaan Nenek, lavender. Kalau saja, Nenek tahu itu dari Rion. Pasti, akan dibuangnya jauh-jauh.
Berbeda halnya dengan orang yang tengah melihat mereka iri, dari kaca jendela kamar. Ya, Rion ada disana. Meskipun ada perih menggerogoti hatinya, tapi seyogyanya seorang cucu, pasti ingin melihat Neneknya tersenyum karenanya. Bukan begitu? Sepertinya tidak berlaku bagi Rion.
"Hai, Ri." Rion melepas lipatan tangannya, begitu mendengar deep voice milik seseorang yang dia kenal. "Gimana keadaan, lo? Gue tahu dari Mama sama Papa."
Melihat si pengajak bicara, iya, itu Vero. "Menurut lo?" Jawab Rion dingin. "Ngapain juga, lo disini?" Bukan tanpa alasan, sekalinya ada Vero. Nenek bakalan nempel terus sama dia.
Vero menggaruk tengkuknya kikuk. "Lihat keadaan, lo. Dan dari cara bicara, lo. Gue yakin, lo, udah baikan. Udah, ya. Gue keluar." Berbalik, meninggalkan Rion. Kenapa rasanya sama, ketika punggung itu tak lagi menghadapnya.
"Sampai kapan lo mau diem? Gue udah kasih waktu, dua tahun lebih, Ver. Tapi lo masih bungkam. Makasih, karena berkat lo, gue dianggep pembunuh. Makasih banyak."
"Bukannya kamu itu memang pembunuh?" Suara itu muncul, bersamaan dengan orang yang masuk kesana. Ya, Nenek. "Kenapa kamu limpahin semuanya sama Vero?" Tidak, ucap Vero dalam hati. Ini tidak benar. Nenek masih saja menyalahkan Rion tentang ini. Tapi, lidah Vero juga kelu untuk sekedar bersuara. Maaf, Rion, sekali lagi Maaf.
"Kamu yang ada disana. Harusnya kamu aja yang terluka, bukan Sandra." Memejam, mencoba mengusir segala kucuran adegan yang mulai menggenangi kepalanya. Mendadak pening, ingin dia benturkan ke tembok atau apapun itu. Nenek selalu memancingnya, memkasanya masuk ke dalam palung kelam, berisi air kesedihan.
"Cukup Nek!" Nenek tersentak dengan teriakan Vero. "Sampai kapan Nenek, akan terus mengungkit kejadian dua tahun lalu? Aku juga kehilangan, Nek. Bukan cuma Nenek. Jadi kumohon. Berhentilah." Meninggalkan Nenek yang terpekur, Vero berlari ketika menuruni tangga. Dia juga tersiksa mendengarnya, bagaimana dengan Rion?
"Vero, Nenek minta maaf, ya?"
"Harusnya, Nenek sampaikan itu pada Rion. Bukan padaku."
Nenek meradang, "Apa maksudmu, Vero?"
"Bu, Vero mungkin capek." Arsen datang menengahi. Dia sedikit mendengar perdebatan mereka tadi.
Papa? Kenapa, Pa? Kenapa harus dihentikan? Bukankah Nenek harus tahu? Itu yang tercetak jelas dalam mata kelam milik Vero. Ditujukan pada Arsen. Perlahan, Arsen mengajak Vero menjauh dari Nenek.
"Bukan saatnya Vero. Papa belum siap."
"Lalu kapan, Pa? Kapan?"
"Nanti, tunggu saja sebentar, lagi." Vero memejamkan matanya, menghela nafasnya pasrah. Kalau begini terus, kapan kelarnya ini semua? Mereka tengah menanggung dosa. Dan orang lain sebagai korbannya.
~~~~~
Anvar dan Misha memutuskan pulang terlebih dulu, mengingat kondisi Rion yang berujung sakit. Ketiga krucil bahkan menangis kala Rion akan pergi. Tapi, mereka sudah tak mau tinggal lebih lama. Rion pasti akan semakin sakit disana, bukannya sembuh.
Rion akan tidur, dan ketika tiba di rumah, semuanya akan terlupakan dalam sekejap. Itulah mantra yang Rion rapalkan dalam hati, dan ditanamkan di otaknya.
Ya, tentu saja, dia terlelap begitu dalam. Guratan lelah batiniyah seperti tertoreh jelas di wajahnya. Namun, ada ketenangan disana. Bisa bebas, lepas dari neraka buatan itu.
Lingga sudah berpesan ini dan itu untuk Rion. Agar supaya, Rion cepat kembali pulih. Karena akhir-akhir ini, imunitas Rion sedang turun. Kondisi stress juga mempengaruhinya. Sepertinya, keluarga itu butuh liburan. Ide yang bagus.
Tak ada pergerakan dari Rion. Dia masih sangat nyaman di bantal paha milik Aubee. Mau tak mau, Anvar harus maju. Menggendong Rion ke kamarnya. Berat juga ternyata, si bungsu.
"Malem ini, pesen aja, ya, makananya?" Anvar mengiyakan keinginan istrinya. Sepertinya dia juga lelah, dan malas masak. Mereka hanya bersantai sore itu. Beda lagi dengan Aubee yang ikut Rion, tidur di sampingnya. Rasanya hangat.
Malamnya, mereka sudah berkumpul di meja makan. Siap menyantap hidangan disana. Rion, tetap bubur. Tidak ada yang lain. Paling-paling sup ayam, sebagai pendamping.
"Rion!" Anvar sungguh terkejut, ketika Rion menuangkan semua obat sekali minum ke mangkuk buburnya, ada beberapa kapsul disana. Bukan cuma dua atau tiga, dalam satu waktu. Tapi sekitar lima sampai tujuh.
"Biar sekalian," Ujar Rion tanpa dosa. Juga terlampau santai.
"Tapi, nggak gitu juga kali, Nak. Jadi lauk tambahan, emang abon?"
"Biar nggak repot, Pa." Sedih melihatnya. Putranya harus menenggak butiran-butiran itu lagi. Mana banyak lagi. Tak tega tentunya. Misha saja sudah menangis melihatnya. Dia pura-pura ke dapur, mengisi ulang air minum di teko.
Kalau saja, itu bukan obat khusus. Hanya sekedar vitamin. Aubee rela melakukan itu juga, guna menemani Rion. Kenapa hidup Rion harus seberat ini? Tuhan, biarkan Rion menikmati waktunya.
~~~~~~
Love ya!
HoilandWonosobo, 2020/07/30.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION ✔
Teen Fiction-Tamat- Orion. Bukan pesawat luar angkasa. Bukan pula anak Poseidon dan Euriale yang bisa berjalan di atas air. Bukan pula rasi bintang. Karena tak ada hubungannya dengan antariksa, kedua orang tuanya, hanya suka nama itu. Bersenang-senang, itu mott...