Chapter 4

491 62 6
                                    

Beomgyu tidak mengerti mengapa di dunia sebesar ini memiliki sebuah kata yang dapat menggambarkan emosi yang sangat kuat yang melambangkan ketidak-sukaan, permusuhan ataupun antipati terhadap sesuatu. Kata yang mampu menunjukan sebuah keinginan untuk mengindari, menghancurkan bahkan menghilangkannya.

Dahulu sekali ketika usianya masih sangat muda, Beomgyu kecil yang rapuh sangat membenci tomat. Ia tidak mengerti mengapa ada benda aneh yang dapat dikategorikan kedalam buah-buahan sehat yang berwarna merah bulat dengan bau yang mampu memekakkan rongga pernafasan. Rasanya yang sangat aneh ditambah dengan lendir menjijikan didalamnya mampu membuat Beomgyu mengeluarkan kembali isi perutnya.

Beranjak dewasa, tak hanya tomat yang Beomgyu benci. Tingkatannya kian meninggi seperti mehnapakkan kaki pada anak tangga satu persatu. Kian lama semakin membawa Beomgyu membenci hal-hal yang lebih besar seiring dengan bertambahnya usia. Bukan lagi tentang hal-hal tidak penting yang hanya akan membuat Beomgyu muak, namun hampir semuanya cenderung menjurus pada hal-hal yang mengerikan.

Beomgyu menyesal kala menyadari hal yang akan ia benci dikemudian hari ialah ayahnya sendiri. Pribadi yang memiliki jiwa otoriter yang sangat tinggi yang selalu membuat sang ibu menundukkan kepalanya takut tiap kali berhadapan, dengannya. Mata sipit setajam elang yang selalu memancarkan sorot tatap penuh penghakiman yang mampu mengiris tiap apa yang ditatapnya. Bibir tipis yang bahkan tidak pernah mengeluarkan barang sekata yang mampu menyenangkan hati, mengucapkan banyak sumpah serapah dan maki-makian kepada sang istri yang hanya mampu menangis diam dalam tunduk nya. Lalu tangan besar yang selalu mampu merobohkan pertahanan tubuh sang istri. Beomgyu masih mampu mengingat dengan jelas memori kelam yang mengendap dalam otak kecilnya. Untuk pertama kalinya hati murni Beomgyu hancur ditangan ayahnya sendiri ketika melihat sang ibu tidak mampu melawan atas segala tindakan yang ayahnya berikan kepada ibunya.

•••

Dari sekian banyaknya tempat yang terbilang baik untuk dikunjungi di Seoul, Beomgyu memilih untuk menyamankan diri dibawah sinar lampu temaram yang mendominasi  bersama dengan minuman penghantam kesadaran yang berjajar rapi di setiap penjuru ruangannya. Wanita tiang berpakaian tipis berjoget seksi berpadu dengan iringan musik yang mengalun lembut memenuhi rungu bersama dengan kepulan asap yang berhamburan seolah menjadi saksi.

Beomgyu dengan kasarnya meneguk habis minuman dalam gelasnya. Rasa panas dan khidmat menyatu untuk mencapai sebuah kesadaran yang berada di ambang batas. Merasakan cairan bening meluncur bebas diantara benjolan ciri khas kaum adam. Menuangkan kembali minumannya kedalam gelas secara perlahan seolah menikmati pemandangan yang sangat elok. Jemari manisnya mengambil sebatang rokok yang tersampir rapi pada asbak dan menyesapnya penuh kenikmatan. Beomgyu memejamkan matanya kala mendapati pening mulai menyerang kepalanya. Obat penenang yang diteguknya dengan dosis berlipat mulai bereaksi dalam tubuhnya.

Perasaannya seakan terangkat terbang tinggi namun diwaktu yang bersamaan ia tak mampu mengontrol gerak tubuhnya. Tubuhnya seolah ditimpa beban berat yang tak mampu ia topang dengan kedua kakinya. Beomgyu mengerang frustasi bersamaan dengan tegukan yang kembali dijejalnya.

“Berhentilah, kau sudah sangat mabuk” Suara pria itu mampu menarik minat Beomgyu untuk sekedar melirikkan pandangnya.

“Diam kau brengsek sialan!” ucap Beomgyu kepadanya.

“Woah, setelah berhari-hari kau tidak datang dan sekarang kau memakiku” ucapnya seraya menyingkirkan gelas Beomgyu.

“Urus saja urusanmu!”

“Kalau kau seperti ini, itu berarti kau urusanku, BG” jawab pria itu seraya mengepulkan asap rokoknya. Beomgyu terkekeh mendengar jawaban dari pribadi disampingnya yang masih setia menjatuhkan tatapnya pada wanita penari tiang.

CONCENDO || SOOGYUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang