Whisper pebbles.

2.5K 158 8
                                    

... .

Deru mesin berangsur-angsur memelan sampai ke empat roda itu berhenti. Tepat di pesisir pantai sepi yang hanya terlihat satu dua pencari kerang dan ikan yang saling berjauhan. Memang paling tepat berada di sana kala matahari tak bersinar terik dan siap terbenam di garis lautan. Walau masih terasa dinginnya angin menusuk kulit, karena daun-daun yang berguguran. Sebentar lagi musim dingin. Entah apa yang merasukinya untuk datang ke pulau indah itu bukan pada saat musim panas, yang jelas-jelas akan semakin menarik.

Cuma butuh tempat tenang, katanya.

Setelah memarkir kendaraan, perlahan ia berjalan mendekati tepian pantai. Gemerisik kaki dengan kerikil, memenuhi pendengaran di samping debur samar ombak di kejauhan. Karena, memang bukan empuknya pasir yang terinjak, sepanjang mata memandang, hamparan bebatuan bulat berbagai bentuk menghiasi bibir pantai. Cantik, tentu saja.

Hanya beberapa meter dari sentuhan ombak, ia berdiri diam. Memasukkan tangan yang mulai beku ke saku celana, sembari mengutuk diri sendiri kenapa tadi lupa memakai sweter tambahan. Embusan angin yang menyentuh, sungguhan menusuk. Apa mungkin karena ia lupa makan jadi terasa begitu mengganggu dari biasanya?

Dengung samar menarik perhatian. Sepasang mata cokelat terang yang tadi hanya menatap ke depan hamparan air yang luas, berpaling ke asal gumaman merdu. Tepat sekitar dua puluh langkah sebelah kirinya. Terlihat punggung kecil membelakangi dan berjongkok ke kerikil bulat yang tersebar di sekitar. Tampak tak peduli dengan langkah kaki yang mendekati. Lantunan melodi perlahan berubah jadi sebuah penggalan kata. Membuat yang mendengarnya menarik senyum paham.

Itu salah satu lagu akrab yang biasa mengalun di radio. Saat dulu masih bersekolah. Semakin tertarik, akhirnya ia pun berhenti dekat si sosok tadi, kemudian menekuk lutut, berjongkok agar sejajar dengan gerangan.

Terlalu enggan dan takut tegurannya membuyarkan melodi yang masih mengalun, jadinya ia hanya bergeming mengamati di sebelah si bocah tanggung, yang tenang mengumpulkan bebatuan pipih lalu ditumpuk jadi satu menara mungil di depan mereka. Tak mengatakan apa pun sampai sebuah kerucut batu selesai, pun ketika si bocah menutup mata dengan tangkupan tangan di depan wajah, entah memohon apa pada siapa.

Namjoon tersenyum begitu ia diberi tatapan mata bulat yang mengerjap tanya. "Hai."

"Kakak sudah buat permohonan, 'kan?" tanyanya langsung, membuat Namjoon mengerjap bingung. "Tak boleh barengan. Ini punya kakakku."

Namjoon menatap menara batu di depan mereka. Mengangguk. "Oh, tentu saja. Aku takkan menganggu."

Bocah itu menelengkan kepala. "Lalu?"

"Suaramu bagus sekali. Suka menyanyi?" Namjoon merasa dingin di tubuhnya menguap karena diberi senyuman. Begitu polos dan lucu. Anak lelaki yang mungkin lebih muda dari Taehyung itu, memamerkan deretan gigi depannya yang bagus, tapi Namjoon langsung teringat kelinci setelahnya.

"Kakakku yang biasa menyanyikannya agar aku senang. Jadi ikutan."

"Suaranya pasti bagus juga."

"Iya. Seperti malaikat."

"Keren."

Anak itu menengadah. "Benarkah?"

"Iya. Pasti menyenangkan bisa mendengar malaikat setiap hari."

Senyum cerah yang sama menjawab Namjoon. "Kakakku akan suka padamu."

"Baiklah. Di mana dia? Kulihat hanya kau di sini." Menatap sekitar mereka, orang yang sekira Namjoon mencari kerang, bahkan sudah tak tampak lagi. Pantai itu hanya dikunjungi mereka berdua. "Tak kedinginan?"

Menggeleng yakin, remaja tanggung itu mulai menyusun bebatuan lagi. "Aku sudah kebal. Kakak sendiri? Baju tipis itu pasti tak banyak membantu. Pulang, nanti sakit."

Saram to Sarang | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang