dua puluh dua: volum 2

252 40 1
                                    

Jino meremas tangannya.

"Harusnya, gue juga disana. Tapi gue nolak ajakan Hyunjin."

Ryujin menatap Jino, cowok dihadapannya merunduk. Sebenarnya dua bingung dimana kesalahan cowok itu. Tapi dia lega, artinya itu bukan karena Jinokan?

"Emangnya itu salah?" Tanya Ryujin.

Jino ngangguk, dan Ryujin lebih bingung. "Kak Jino, nggak salah" Tapi cowok itu terlanjur meneteskan air mata. Seperti anak kecil yang kehilangan pensilnya di sekolah.

Ryujin tersenyum tipis. Baru kali ini dia liat Jino merunduk lesu, sedih—bahkan menangis. Ryujin menyingkirkan kesedihannya sendiri yang ingin meledak demi Jino yang dia tau lebih takut dari pada dia. "Yah, kak Jino kok nangis? Kan aku nggak?."

Jino menghapus air matanya kasar, dia takut sesuatu terjadi pada Hyunjin dan nggak berani melihat cewek dihadapannya nangis lagi. Nggak adil. Dunia selalu jadiin dia di posisi tengah.

"Gue harusnya bilang, gue ngerasa ada hal nggak enak makanya nolak ajakan dia" Jino mencoba menjelaskan. Suaranya bergetar, semakin mencoba menjelaskn semakin air matanya ingin keluar.

Ryujin tersenyum, mengambil posisi di sebelah kakak kelasnya si pemilik senyum paling teduh, mengusap punggungnya lalu bilang. "Nggak perlu menyesali banyak hal yang udah berlalu terus menerus kak. Karena percuma, kita nggak bisa ngulang" Ucapnya. Padahal hatinya juga sedang nggak karuan.

Mungkin terlalu banyak bergaul dengan Hyunjin, kalimatnya mendadak jadi bermakna gitu. "Aku mau nangis nggak jadi nih gara-gara kak Jino" Ryujin berusaha tersenyum tipis, padahal melihat gedung rumah sakit ini aja bikin hatinya ngerasa keiris.

"Mungkin gue takut liat lo nangis, tapi juga jangan senyum Ryu. Terlalu bohong."

Kalimat Jino berhasil menghantam pertahanan air matanya. Mungkin ia pernah janji, tapi Jino membuat pengecualian hari ini. "Hal paling nggak enak di dunia ini. Ngeliat orang yang kita suka nangisin orang lain" Tambah Jino, cowok itu menatap langit di atas mereka yang gelap.

"Kenapa selalu gitu ya kak? Setiap aku nangis, pasti kak Jino muncul" Ryujin membiarkan air matanya jatuh, toh Jino sudah sering lihat. "Karena, gue cuma bisa hadir ketika Hyunjin pergi" Jawab cowok itu santai, rambutnya di tiup angin jadi berantakan. Air matanya menetes, entah patah hati entah rasa takut akan keadaan Hyunjin atau apapun itu.

Lalu sepi, mereka sama-sama diam. Niat awal Ryujin buat bertanya soal kejadian Hyunjin malah buyar dan berubah jadi percakapan soal rasa bersama sipemilik rasa tak terbalas.



Setelah perbincangan yang Jino tutup karena merasa tidak sopan melihat air mata gadis yang disukai sahabatnya. itu hanya asumsinya.

Ryujin kembali lagi ke dalam ruangan. Bau obat, putih bersih, dan bunyi alat-alat yang tersambung ke tubuh pasien. Jujur. Ryujin nggak begitu suka. Walau bisa dibilang mimpinya adalah menjadi dokter.

Karena artinya ada orang yang sedang berjuang melawan sakit, bahkan sebagiannya berjuang agar tetap di bumi.

Lebih sakit lagi, ketika lagi-lagi wajah damai putih bersih itu lagi yang terbaring lemas di atas ranjang. Kali ini alatnya lebih banyak, artinya Hyunjin harus bertahan lebih kuat.

Yeji izin keluar sebentar, dan Jaemin sedang membeli makanan. Jino duduk di sofa, bertingkah seolah dia tidak disana.

Ryujin cuma bisa menatap mata yang nggak menatapnya karena terhalang kelopak mata yang nggak mau membuka. Dia cuma bisa diam, sambil terus merasakan banjir di pipinya.

"Kak Hyunjin. Mungkin kalau di kumpulin, air mata yang aku keluarin karena kakak bakal jadi satu kolam renang besar."

Lelaki itu tetap diam, bersama seluruh alat yang terpasang. "Tapi kenapa ya? Nggak bisa marah terus nyerah."

"Besok aku mau datang ke tempat bunda, mau laporan. Anaknya lagi kangen bunda. Mau nyapa juga, udah lama nggak ketemu aku. Ya walau bukan siapa-siapa. Tapi aku cuma mau berterima kasih karena udah melahirkan kak Hyunjin dan kak Yeji ke dunia. Di izininkan?."

Sunyi, Jinopun bungkam. Cowok itu hanya meremas tangannya yang dingin.



✨✨✨

Jaemin dan Yuna janji akan menemani Ryujin untuk berkunjung ke makam bunda Hyunjin. Dan disanalah mereka sepulang sekolah hari ini. Masih dengan seragam itu, mereka bertiga memanjatkan doa disana.

Setelahnya Ryujin berkata. "Tante, sudah lihat kak Hyunjinkah? Iya tante, Ryujin pasti doain terus semoga kak Hyunjin cepet siuman. Tante makasi ya, udah menghadirkan kak Hyunjin sama kak Yeji di dunia. Ryujin seneng, karena bisa ketemu kak Hyunjin hari itu. Jadi bisa belajar banyak dari kak Hyunjin."

Jaemin menatap Ryujin, dia seolah nggak percaya bahwa segitu dalamnya perasaan Ryujin buat Hyunjin. Hingga akhirnya cowok itu yakin. "Ryu, nanti makan di tempat kesukaan aku mau? Pernah nyobain bareng Lia" Ucap cowok itu.

Ryujin ngangguk, begitu pula Yuna. Setelah perbincangan itu dihatamkan, mereka melangkah pergi.






Sudah dua minggu setelah pertandingan basket itu. Setelah kejadian yang merenggut ke sadaran Hyunjin. Ternyata cederanya cukup parah, dan itu membuat kesadarannya belum kembali.

Kenyataan bahwa waktu makin cepat berjalan dan kepastian Hyunjin siuman semakin kabur membuat Ryujin makin meredup. Bukan lagi mentari yang tersenyum sepanjang hari.

Mama dan Papa Ryujin juga menyadari hal itu, mereka bahkan ngobrol sama Yeji. Nggak nyangka juga, bahwa anak tunggalnya bisa jatuh cinta sedalam itu pada lelaki bernama belakang Maheswara itu.

Lihat semuanya seperti lihat Hyunjin. Dia bahkan berhenti minum susu kotak—padahal dulu itu adalah sumber semangatnya. Sesekali ia datang ke rumah Yeji, sekedar duduk di kamar Hyunjin dan melihat koleksi foto-fotonya.

Banyak foto lelaki itu pamer senyum cerah, tapi bedanya tubuhnya masih kecil. Giginya ompong dan matanya belum semenyeramkan sekarang.

Lamunan Ryujin buyar. Tepat ketika mereka berhenti di sebuah kedai bakso di pinggir jalan. Jaemin dan Yuna turun, diikuti Ryujin.


Setelah pesan, mereka memilih kursi yang agak di dalam, kebetulan kedainya cukup luas. "Aku kayaknya harus ngomong ini ke kamu sekarang" Ucap Jaemin.

Ryujin langsung memfokuskan diri.

"Maaf Ryu, Yuna juga. Aku ndak maksud bohong dari awal sama kalian" Jaemin memotong kalimatnya, dan itu membuat dua teman perempuannya mengerutkan dahi bingung.

"Terutama Ryujin. Aku...sebenernya udah kenal bang Hyunjin jauh sebelum kamu kenalin. Dia kakak sepupuku."

Ryujin tertawa. "Serius?!" Tanyanya. Yunapun ikut tertawa dan heran. Si Jaemin malah tambah heran lagi. "Nggak mungkin kak Hyunjin punya sepupu semanis kamu!" Ryujin memerhatikan wajah Jaemin yang memerah.

"Jaem!! Muka lo kenapa merah gitu?" Yuna ikut tertawa.

Yuna dan Ryujin masih membicarakan bagaimana mungkin Jaemin dan Hyunjin memiliki hubungan keluarga seperti itu hingga pesanan mereka datang.

"Sama satu hal lagi. Ryu, kamu udah tau siapa orang yang nanyain kamu waktu itu? Anak kelas 12?" Jaemin menghentikan kegiatan makannya.

Ryujin mengangkat kepala, dan dia menggeleng pelan. Kemudian ia menatap ke arah Yuna, berharap cewek itu tahu sesuatu yang ingin Jaemin sampaikan.

"Yang jadi awal kenalan kitakan, Jaem?" Ryujin memastikan agar dugaannya tidak salah.

Cowok itu tersenyum lalu mengangguk. "Tahu?."

Dan mereka berdua serempak menggeleng.

Thankyou and see ya next chapt -author ca

Nanti kita satu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang