dua puluh tiga: volum 2

252 36 5
                                    

Jaemin memasang tampang serius, begitupun dengan dua kawannya. "Hyunjin Maheswara."

Ryujin melotot, jantungnya pindah ke dengkul dan napasnya mendadak sesak. Kaget, bahagia, bingung.

"APA?!" Sahut Yuna dengan wajah kaget yang terpaksa. "Sangat gampang di tebak!" Lalu cewek itu lanjut makan. Tapi sayangnya itu cukup mengagetkan Ryujin, cukup membuat gadis itu membeku sebentar.

"Jadi dia emang minta aku buat bilang ke kamu, ada yang nanyain kamu dan itu adalah kakel kita. Tapi, nggak boleh bilang siapa. Kalau menurutkan dia berharap kamu tau itu dia. Simplenya, itu semua bertujuan biar kamu tau Ryu! Kalau dia kangen kamu!" Jelas Jaemin panjang lebar.

Ryujin menarik napas. Nyesel juga baru paham sekarang, ketika si pelaku saja nggak bisa di ajak bicara karena sedang tidak sadar.

Kemudian gadis yang kali ini mengucir rambut pendeknya itu lanjut makan. Menikmati semangkuk bakso yang memang enak dan menyegarkan, apa lagi perutnya sudah lapar dari tadi.

"Bang Hyunjin udah baikan sama papanya-sekitar empat bulan setelah kalian selesai buat projek film itu. Oh iya, kamu tau ndak Ryu? Bang Hyunjin mau lanjut dimana setelah lulus?" Tanya Jaemin lagi, lalu gadis dihadapannya menggeleng sambil memasukkan sesendok mie kuning ke mulutnya.

"Sydney. Aku pikir kam-."

Penjelasan Jaemin terhenti karena ia harus menolong Ryujin yang tersedak makanan di hadapannya, cowok berdarah Indo-Korea-Jawa itu menyodorkan segelas es teh manis.

"Kamu ndak tahu kayaknya" Lalu lelaki itu bergumam. Menduga-duga kakak sepupunya itu memang menyimpan sejuta rahasia. "Jaemin sih! ceritanya nanti aja, malah keselek deh Ryujinnya" Yuna menatap Jaemin, menyalahkan. "Ya maap. Lebih cepat lebih baik."


Suasana tenang lagi, lelaki berbulu mata panjang dan senyum manis itu kembali fokus pada semangkuk bakso yang tinggal setengah porsi tersisa.

"Kak Hyunjin nggak papa memangnya waktu baikan sama papanya?" Ryujin melanjutkan pembahasan yang tadi sempat terhenti. Jaemin ngangguk, tapi kemudian ekspresinya berubah berpikir. "Awalnya dia emang nggak mau sih--nggak mau banget. Tapi, papanya bilang akan jamin kehidupannya kak Yeji."

"Maksudnya? Bukannya kak Yeji udah ada cafe? Setauku malah ada bisnis lain juga?" Ryujin menautkan kedua alisnya. Jaemin menaruh sendoknya, bersiap memberi penjelasan. "Kak Yeji dari dulu pengen sekolah seni, tapi ya...dia harus menghidupkan dia sama adeknya biar nggak terlalu nyusahin oma."

Ryujin mengangguk paham. Dia baru tahu tentang cerita lain soal hidup Hyunjin. padahal dulu dia ingat benar, Hyunjin melarangnya keras untuk mencari tahu lebih dalam kehidupan pribadinya.

✨✨✨

Ryujin duduk di dalam ruangan itu. Di ruangan Hyunjin yang hari ini sepi, karena hanya dia sendirian. Dia duduk dengan buku dipangkuan, sudah sebulan sejak kejadian itu dan lelaki yang ia tunggu belum juga sadar.

Matanya menatap jendela yang berada di sebelah ranjang Hyunjin. Menatap mentari yang kayaknya udah cukup lelah bersinar.

Lalu atensinya terganggu lagi ketika seorang lelaki berjas dokter masuk.

"Papa..." Ucapnya lirih, lalu lelaki itu tersenyum menjawab panggilan anaknya. "Papa periksa Hyunjin dulu, ok?."

Ryujin mengangguk, mengikuti langkah papanya, penasaran tentang hal apa yang akan ia lakukan.

"Pa. Kak Hyunjin kesakitan nggak?" Ia memberanikan diri bertanya. Papanya diam, menatap Ryujin lalu menggeleng. "Ajak ngobrol aja."

Nanti kita satu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang