Awalnya, Nana hanya ingin bersembunyi dari amukan kakaknya. Ia tau kakaknya itu akan mengamuk habis-habisan kalau Mama sampai menginterogasi kakaknya atas informasi 'palsu' yang telah dibeberkannya. Akan tetapi, Nana malah betul-betul tertidur selama dua jam siang itu. Begitu Nana tersadar, perutnya langsung mengeluarkan suara keroncongan yang mengisi keheningan kamarnya itu.
"Lapeeerrr," gumam Nana seraya mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur.
Ia ingin keluar kamar, tapi bulu kuduknya langsung berdiri. Wajahnya pun ikut meringis, takut menghadapi kengerian murka kakaknya yang siap menyambut begitu Nana melangkahkan kakinya keluar kamar.
Krrkkk
Sayangnya, perut Nana sangat tidak kooperatif. Belum ada lima menit, ia sudah mengeluarkan bunyi keroncongan yang menunjukkan betapa laparnya gadis itu. Setelah menghirup napas dalam-dalam, Nana berdiri, menegakkan kepalanya, kemudian membuka pintu kamarnya. Nana berpura-pura mengusap matanya, supaya tangannya dapat sedikit menutupi lirikan matanya. Takut-takut, Nana melirik ke arah kakaknya yang ternyata masih terduduk di ruang tamu.
Ekspresi wajah kakaknya datar dengan mata yang terfokus ke arah tab di hadapannya. Akan tetapi, Nana dapat melihat kilatan kengerian di mata kakaknya itu. Tanpa sadar, Nana bergidik ngeri. Kalau bukan suara perutnya yang lagi-lagi berbunyi, mungkin Nana akan mematung di depan kamar, dan acting-nya untuk pura-pura tidak takut akan kakaknya itu akan terbongkar.
Nana merasa tidak berani kalau harus meminta kakaknya memasak atau memesan makanan di luar. Oleh karena itu, ia langsung menuju ke dapur dan berencana untuk memasak mi instan saja. Baru hendak memutar badannya, kakaknya sudah memanggilnya.
"Dek," panggil kakaknya itu. Nadanya datar, tetapi Nana tetap dibuatnya bergidik.
"Hm?" jawab Nana dengan usaha penuh untuk menyembunyikan rasa takutnya.
"Gue mau dong. Lo mau masak mi 'kan?"
Jika Nana tidak sedang di dalam posisi bersalah, Nana akan dengan lantang menjawab 'Ogah! Masak aja sendiri!'. Sayangnya, kini Nana berada di posisi yang tidak bisa mengoceh dengan sembarangan. Gadis itu terpaksa meng-iya-kan permintaan kakaknya.
"Hih, mau mi apa?" tanya Nana dengan menyelipkan kata 'Hih', mengira bahwa kakaknya akan mudah dikelabui.
"Mi goreng aja, biasa," jawab kakaknya itu.
"Ya udah," jawab Nana seraya bergegas menuju dapur.
Tanpa Nana sadari, seulas senyum cibiran muncul di wajah kakaknya.
'Rasain! Siapa suruh jadi adek ngadi-ngadi!' batin Kak Rere penuh kemenangan.
• • • • •
Nana tengah mencuci peralatan memasaknya, dan sebentar lagi perutnya yang keroncongan itu akan mendapat asupan gizinya. Akan tetapi, saat ini, pikirannya bukan diisi oleh betapa lezatnya mi instan yang ada di atas meja. Gadis itu tengah sibuk memikirkan bagaimana caranya memanggil Kak Rere untuk makan siang. Ia jelas tidak mungkin berteriak 'KAK, MAKAN!' seperti biasanya, 'kan?
Nana terlalu sibuk dengan pikirannya, sampai-sampai kedatangan kakaknya ke dapur mengejutkan gadis itu.
"Gue makan ya," ujar Kak Rere, beriringan dengan suara sendok dan garpu yang berdenting.
"Iya," sahut Nana singkat.
Bagus, ia jadi tidak perlu memikirkan bagaimana cara memanggil kakaknya itu untuk makan siang. Namun, di sisi lain, Nana juga merasa sial. Kini, ia harus duduk berhadapan dengan kakaknya. Berhadapan dengan malaikat maut yang sedari tadi berusaha ia jaga jaraknya.
Dengan terpaksa, Nana mendudukkan dirinya. Ia melahap mi instan di hadapannya perlahan dengan mata yang melekat pada makan siangnya itu. Bukan karena Nana sangat lapar sampai tidak bisa melepaskan pandangannya, melainkan ia takut akan berpandangan dengan mata laser kakaknya itu. Beruntung, kakaknya juga tidak mengajaknya bicara selama mereka makan bersama. Sebenarnya... entah itu disebut beruntung atau tidak, karena biasanya mereka membicarakan satu dua topik selagi menyantap makan siang.
Selagi menyantap makanannya, Nana menyusun rencana sepanjang hari ini. Ia berencana bahwa setelah makan, ia akan mendekam di kamarnya saja sepanjang sisa hari ini, kecuali untuk mandi dan makan malam. Seharusnya, keesokan harinya, kakaknya itu sudah tidak akan seganas hari ini. Iya, bagi Nana, meskipun sejauh ini kakaknya belum bertindak apa-apa, aura yang mengelilingi kakaknya itu terasa sangat ganas.
Sayangnya, begitu ia selesai mencuci piring bekas makan siangnya, rencananya langsung pupus seketika.
"Apaan nih?" ujar kakaknya ketika Nana baru saja hendak menuju ke kamarnya.
Nana tau ujaran itu ditujukan kakaknya padanya, sehingga mau tidak mau, Nana menengok. Tak disangka, ia justru mendapatkan kakaknya tengah memegang ponselnya. Kalau ada hal lain yang paling tidak disukai Nana di dunia ini setelah jengkol, maka privasi yang terganggu lah yang menempati posisi itu. Gadis itu sangat tidak suka apabila ada orang yang mengganggu batas privasi yang ditetapkan oleh Nana, termasuk keluarganya. Apalagi, Nana menganggap ponselnya sebagai privasinya yang paling rahasia.
"KAK, HAPE GUE!"
Nana tiba-tiba saja lupa akan rasa takutnya tadi. Ia langsung bergegas menghampiri kakaknya dan berusaha meraih ponselnya kembali. Akan tetapi, bukan seorang kakak namanya apabila tidak menjahili adiknya. Terlebih, adiknya itu duluan yang memancing 'perang saudara'.
"Bilang apa lo ke Mama? Gue pacaran?" tanya Kak Rere sambil terus mengangkat ponsel Nana tinggi-tinggi.
"HAPE GUE, IH!"
"Bilang apa, heh?!"
"HAPE GUE!" Nana meloncat sedikit, kemudian berhasil merebut ponselnya dari tangan kakaknya itu.
Akan tetapi, mala petaka yang kini terpampang di layar ponselnya. Grup WhatsApp kelasnya yang beranggotakan Nana, ke-49 mahasiswa lainnya, serta dosennya terbuka di hadapannya.
Nana: Punten semuanya 🙏
Nana: AKU BUKAN BONEKAMU
Nana: BISA KAU SURUH-SURUH
Nana: DENGAN SEENAK MAUMU~~~
Nana: AKU BUKAN BONEKAMU
Nana: BISA KAU RAYU-RAYU
Nana: KALAU KAU BOSAN PERGI DAN MENGHILANG~~~Pak Rudy: Nana bukan boneka~
• • • • •
<!-- tema hari ini -->
Buat tulisan yang diakhiri dengan kata "bukan boneka"
<!-- cuap-cuap penulis -->
Dahla aku gatau aku nulis apa. Bahkan tadi sempet lupa kalo belom nulis DWC :"
Anu... Maapin ya kalo ending-nya udah expected 😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Rejuvenate
Random31 hari menempuh perjalanan, yang sebetulnya pernah dijalani dahulu kala 31 hari melakukan hal yang dulu menjadi kawan setia setiap harinya, tetapi kini sudah terlupakan 31 hari penuh tantangan, sekaligus penuh kesempatan untuk kembali berkarya 31 h...