tamu tak terduga

11 3 1
                                    

Ibu penjual nasi uduk dan dua pembeli yang menyambut Nana dan kakaknya pagi itu adalah dua orang pertama yang mereka ajak berinteraksi setelah dua bulan menjadi manusia purba yang tinggal di goa. Setelah kurang lebih dua bulan hanya berinteraksi dengan tukang sayur yang lewat di depan kontrakan mereka, Nana tak bisa lagi menahan dirinya untuk berdiam diri di rumah. Daripada adiknya itu nekat pergi ke mall atau ke tempat-tempat berbahaya lainnya, kakaknya itu akhirnya memutuskan untuk mengajak Nana jalan pagi, sekaligus mencari sarapan untuk mereka berdua.

Sepasang kakak-beradik itu hanya mengenakan baju rumah, sandal jepit, dan pastinya masker untuk jalan pagi hari itu. Tak mereka sangka, tukang nasi uduk langganan mereka masih berjualan. Padahal, banyak penjual makanan lainnya di kompleks perumahan mereka sudah menghilang entah ke mana. Jalanan yang tadinya dipenuhi oleh berbagai gerobak penjual makanan serta penikmat sarapan pagi di pinggir jalan kini berubah 180 derajat. Meja-meja yang tadinya disediakan bagi para pelanggan untuk sarapan sembari mengobrol dengan para tetangga kini sudah tak tampak. Pelanggan yang tadinya selalu memenuhi jalanan ini pun pagi ini tak terlihat. Mata Nana hanya menangkap sosok dua orang pria yang tengah mengantri di samping gerobak tukang nasi uduk.

"Sepi amat ya, Kak," ujar Nana melihat betapa sepinya tempat yang dulu selalu ramai di pagi hari.

"Ya bagus dong, biar nggak bahaya."

"Tapi kasian sama penjualnya," ujar Nana lagi, melihat dua tukang jualan lainnya, selain ibu tukang nasi uduk, masih menunggu pelanggan yang entah kapan datang.

Kakaknya itu hanya terdiam. Nana tau kakaknya pasti juga memiliki pikiran yang sama dengannya. Bagaimana para tukang jualan yang biasanya mendapat setumpuk pelanggan kini bertahan hidup? Apakah mereka tak memiliki pilihan lain selain kembali ke kampung halamannya? Bagaimana dengan keluarganya, terutama para pedagang yang memiliki anak yang masih bersekolah?

"Eh, Si Non! Pesen yang biasa, Non?" tanya ibu penjual nasi uduk dengan nada yang sangat ramah.

Jika ingin jujur, Nana sedikit terenyuh ketika mendengar ibu itu. Di tengah kesulitan yang dihadapinya, Si Ibu masih bisa menyapa pelanggannya dengan riang, dengan begitu ramah.

"Iya, Bu. Dua bungkus ya Bu. Punya saya lengkap, punya adek saya jangan pakai tempe."

"Siap, Non!" sahut Si Ibu selagi tangannya bergerak dengan gesit, mengisi kertas cokelat di tangan satunya dengan berbagai macam lauk-pauk.

Nana tengah melihat ke sekeliling ketika matanya menangkap sesuatu yang aneh di bagian belakang celana kakaknya. Begitu Nana mengamatinya dengan lebih seksama...

"Apa sih?" tanya Kakaknya begitu Nana menyenggol tangannya dengan tiba-tiba.

Gadis itu membisikkan sesuatu kepada kakaknya.

"Demi?!" jerit kakaknya tertahan.

"Non," panggil Si Ibu dengan sebungkus plastik berisi pesanan kedua kakak-beradik itu di tangannya.

"E— eh, iya, Bu. Berapa?" tanya kak Rere dengan kikuk, masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutannya tadi.

"Masih sama Non, lima belas ribu," jawab Si Ibu.

Kak Rere tampak merogoh dompet kecilnya dengan terburu-buru hingga ia menjatuhkan beberapa barang yang ada di sana. Dompet kecil kakaknya itu memang dompet serbaguna, kalau menurut Nana. Selain untuk meletakkan uang, kakaknya juga sering meletakkan ikat rambut, jepit rambut, bahkan earphone di sana.

"Uangnya pas ya, Bu. Makasih, Bu!" Kakaknya itu kemudian cepat-cepat menarik Nana pergi, mengundang tatapan penuh tanya dari Si Ibu.

"Eh, Dek, lo jalan di belakang gue, ya!" bisik kakaknya setelah berjalan beberapa langkah.

"Iya, iya! Udah cepet jalan!"

•  •  •  •  •

"Duh, apes banget gue!" keluh kakaknya begitu mereka akhirnya sampai di rumah.

"Ud—"

"Permisi!"

Nana langsung bertatapan dengan kakaknya. Siapa orang yang nekat bertamu di tengah pandemi seperti ini?

"Permis—"

"Iya? Ada apa ya Mas?" sahut kakaknya dengan sedikit berteriak dari dalam rumah.

Kakaknya itu kemudian membuka pintu rumah mereka, dan mendapati seorang pria yang—menurut perkiraan Nana—sebaya dengan kakaknya.

"Eh, maaf Mbak, ini punya Mbak 'kan ya?" Pria itu mengangkat sebuah koin perak dan sebuah jedai kecil di tangannya.

Melihat kedua barang itu, kakaknya langsung merogoh dompet kecil yang ada di kantong celananya, lalu menyadari bahwa dompet itu memang belum tertutup secara sempurna. Bahkan, uang di dalamnya sudah sedikit mencuat dari dompet kecilnya itu.

"Eh, iya, Mas. Anu... Tadi jatoh ya?"

"Iya, Mbak. Kebetulan tadi saya liat ini jatuh dari dompet Mbak, tapi takut kalau saya langsung samperin. Maklum, lagi musim pandemi, harus jaga jarak," papar pria itu dengan seulas senyum—yang menurut Nana—cukup manis.

Melihat kakaknya yang sedikit senyum-senyum seperti orang yang baru saja mendapat tiket lotere, Nana yakin kakaknya itu juga memiliki pendapat yang sama dengannya.

"Kalau gitu, saya taro di sini dulu ya, Mbak. Biar kuman-kumannya mati," kata pria itu sambil meletakkan kedua barang kepunyaan kakaknya di halaman rumah mereka.

"Eh, i— iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas!"

"Sama-sama, Mbak," jawab pria itu sebelum membalikkan badannya.

Begitu pria itu menjauh, kakaknya langsung menatap Nana dengan binar di matanya.

"MANIS BANGETTT NAAA!"

Nana hanya tersenyum mencibir kakaknya itu. "Kalo katanya Luna Lovegood, the things we lose have a way of coming back to us in the end, if not always in the way we expect, Kak."

•  •  •  •  •



<!-- tema hari ini -->

Buatlah tulisan dengan tema "Benda-benda yang hilang"

<!-- cuap-cuap penulis -->

Karena aku bosen sama Nana dan Kak Rere, jadi mari kita hadirkan tokoh baru hari ini :))

Oh iya, kira-kira Nana tadi bisikin apa ya ke Kak Rere? 🤔

Btw tOLONG HEI KENAPA MAKIN HARI AKU MAKIN DEADLINER 😭

RejuvenateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang