Chapter 32 |Baik-baik saja|

991 51 1
                                    

Irish mengusap peluhnya. Setelah memastikan mereka keluar barulah Irish menyusul. Ia menggiring para maid untuk menuju jalanan depan. Sebelum benar-benar pergi Irish sempat menatap rumah besar itu cukup lama.

Rey, cepet Keluar, aku mohon!

_________

"Maafin Rey tante," ujarnya kemudian mendorong tubuh wanita itu hingga ambruk tergeletak lemas di lantai.

Rey lantas bergegas keluar. Mengunci pintu kamar tersebut dan menuruni anak tangga kemudian keluar dari sana.

Rey melihat sekeliling, dimana dua pria yang tadi berjaga di depan pintu?? Apa mereka takut hingga memilih kabur? Ah, yang benar saja.

Tapi sedetik kemudian, Rey teringat sesuatu. Cowok itu langsung berlari keluar. Memeriksa mobilnya yang ternyata tak ada Irish di dalamnya. Rey panik, dimana gadis itu sekarang?!

Ia sontak berlari berniat masuk kembali ke rumah itu. Mungkinkah mereka masih terjebak di dalam? Namun beberapa langkah kemudian ia berhenti. Seingatnya mereka sudah berhasil keluar dilihat dari pintu belakang yang telah terbuka sempurna.

Rey memilih masuk ke dalam mobil. Menghidupkan mesin itu dan memutuskan untuk mencari Irish di sekitar sana.

Tring.. tring...

Selang beberapa menit, dering telepon terdengar mengalihkan fokus Rey dari jalan  raya. Ia mengambil benda pipih itu dan menempelakkannya di telinga.

"Halo, ma." Ucap Rey begitu telepon tersambung.

"Kamu nggak papa Rey? Cepat pulang, Irish udah sama mama sekarang."

Begitu mendengar gadis yang ia cari sedang bersama Tara, cowok itu langsung menghela nafas lega. Ia sempat khawatir takut Irish kenapa-napa.

"Iya, ma. Rey pulang sekarang."

Tut...

Rey sontak melajukan mobil itu dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera bertemu gadis itu. Tapi jujur saja di sisi lain ia juga penasaran dengan dua pria tadi. Dimana sebenarnya mereka saat ini?

Sedetik kemudian terbesit suatu kemungkinan di pikirannya. Apa mereka tengah dieksekusi oleh Gavin sekarang? Bisa jadi, mungkin saja pria paruh baya itu telah menyadari jika mereka bukan orang bawahannya dan langsung bergerak mengurus mereka saat itu juga.

Tak terasa, mobil itu telah berada di tempat tujuan. Rey lantas keluar, dan masuk ke dalam rumahnya.

Matanya menjelajah kesudut ruangan, namun tidak ada siapapun. "Ma, Rey pulang! Mama dimana?!" Teriaknya cukup keras.

Rey memutuskan menaiki anak tangga. Berlari menuju kamar Tara berharap wanita itu ada di sana.

Dan benar saja, usai pintu terbuka. Seulas senyum terbit dibibirnya melihat dua perempuan yang dicarinya ada di sana.

Rey menghampiri mereka. "Ekhem", dehemnya membuat dua manusia yang saling berpelukan itu mendongak menatap Rey.

Mata irish melebar, ia langsung melepas pelukan Tara dan beralih menghambur ke pelukan Rey. Gadis itu kembali sesenggukan.

"Kamu, nggak papa kan Rey?" Ucapnya menatap cowok itu dengan mata sembab.

Rey mengangguk, ia tersenyum. Dipeluknya irish begitu erat dengan satu tangan yang mengusap puncak kepala gadis itu. "Aku sempet bingung mau cari kamu kemana tadi," Beritahunya lembut.

"Maaf, bukannya mau ninggalin kamu di sana. Tapi tadi aku ketemu om Gavin, dia anterin aku ke sini dengan bilang kalau kamu bakalan baik-baik aja."

Rey mengangguk. "Udah, jangan ngerasa bersalah. Aku malah seneng papa bawa kamu ke sini, " jawabnya jujur.

Irish tersenyum, ia melepas pelukan dan mendongak menatap Rey. "Ma-mama gimana Rey?" Tanya nya kikuk.

Rey sempat terdiam sebentar.

"Aku kunciin tante Rena di kamar. Biar amarahnya reda dulu." Bukan bermaksud menyiksa, tapi jika dibiarkan berkeliaran saat ini wanita itu pasti akan menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.

Irish menunduk. Ia kasihan pada wanita itu. Tak tega membiarkannya berada di rumah besar itu sendirian. Bagaimana jika nanti ada masalah? Siapa yang akan menolongnya? Irish menakutkan hal itu. Tak peduli bahwa Rena bersikap kasar bahkan berniat melayangkan nyawanya. Tetap saja, wanita itu adalah ibu yang melahirkannya.

Menangkap raut wajah irish yang begitu murung, Rey lantas memeluk kembali gadis itu, dan melepaskannya setelah beberapa detik. "Sekarang kamu mandi, abis itu ganti baju."

_____

Malam yang indah. Bulan yang full body diikuti bintang-bintang bertaburan di atas sana menjadikan suasana begitu khas.

Semilir angin merasuk ke dalam jiwa-jiwa memberikan ketenangan. Namun, lain bagi mereka. Bukan rasa tenang yang didapat melainkan perasaan cemas, takut, dan semacamnya, melebur jadi satu.

Menunggu selama berjam-jam di ruang operasi telah mereka lakukan sejak tadi. Dan selama itu, sang dokter ataupun suster yang bertugas tak kunjung keluar.

"Hiks, operasinya pasti berhasil kan?" Tanya Via menatap Mervin yang tengah merangkulnya saat ini. Gadis itu nenangis sejak tadi. Terlihat dari matanya yang sembab dan raut wajahnya yg sudah kusut.

Mervin mengangguk. Tak selang beberapa menit, pintu operasi terbuka diikuti keluarnya dokter seorang suster.

Via dan Mervin sontak berdiri menghampiri dokter tersebut. Sementara suster itu tampak pergi untuk mengambil sesuatu.

"Gimana keadaan papa saya dok?" Tanya Via gemetaran.

"Pasien kekurangan banyak darah. Kondisinya kritis, luka akibat benturan di kepalanya sangat fatal. Tapi saya berjanji akan berusaha semaksimal mungkin. Kalian hanya perlu berdoa agar sang kuasa memberikan kemudahan."

Via menunduk, ia menangis. "Baik dok, makasih."

"Dokter! Gawat! Kita kehabisan stok darah golongan AB negatif." Ujar sang suster yang baru saja datang.

Dokter itu mulai cemas. Golongan darah itu sangat langka di Asia, bahkan jumlahnya tergolong sedikit. Sekitar 0, 1 persen dari seluruh populasi di Asia.

"Ah, apa salah satu dari kalian memiliki golongan darah yang sama dengan pasien?" Tanya dokter itu.

Via menggeleng. Golongan darahnya sama dengan Rena, yaitu B yang sudah jelas tidak akan cocok. Sementara mervin, laki-laki itu memiliki golongan darah O positif yang juga sama sekali tidak cocok.

"Suster, tolong hubungi rumah sakit lain dan tanyakan apa mereka memiliki golongan darah yang kita butuhkan saat ini. Dan kalian, bisakah membantu saya mencari pendonor darah untuk berjaga-jaga jika rumah sakit lain tidak memilikinya?," tanya sang dokter setelah memberi perintah.

"Ya, baik dok. Kami akan cari, tolong selamatkan nyawa calon mertua saya."

Dokter itu mengangguk. "Terima kasih atas kerja samanya. Saya permisi," dokter itu lantas kembali masuk dan menutup pintu besar tersebut.

Mervin dan Via langsung memencar. Mereka sama-sama bertanya pada semua orang di rumah sakit itu apakah ada yang memiliki golongan darah AB negatif seperti papanya.

Bahkan para satpam dan orang-orang dengan jabatan paling rendah di rumah sakit itu mereka tanyai.

Bersambung...

·
·
·
Waduh, suaminya mak lampir lagi kesusahan. Ada yang mau bantu donor in darahnya? *kalausamasih*

See next part!!
Hari ini aku double up ya> <

The Nerdy Girl ( Season 1 Completed ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang