11. Afternoon Rain

372 65 19
                                    

Ada satu pepatah yang mengatakan bahwa rasa suka dapat timbul karena terbiasa.

Briana masih belum seberani itu untuk mendoktrin perasaannya pada Abraham sebagai rasa suka, namun dengan absennya pemuda itu serta pesan-pesan tidak penting yang biasanya hanya akan berakhir di read olehnya selama hampir empat hari ini, mau tidak mau membuat Briana merasa kehilangan.

Abraham biasanya akan senang merecokinya, datang ke apartemennya hanya sekedar untuk menonton serial televisi, atau hanya bersua karena ingin merasakan emosi Briana. Walaupun dia sendiri tahu bahwa Abraham tengah memiliki urusan di Bandung, namun belakangan, presensi sang pemuda tak ubahnya seperti gelembung sabun yang tiba-tiba meletus, hilang tanpa kabar entah kemana.

Membuatnya tanpa sadar jadi uring-uringan entah kenapa.

"Ngalamun aja!".

Irena tiba-tiba sudah berdiri disampingnya. Rambutnya terurai cantik seperti biasa, dan ditangan kirinya terdapat totebag yang jika Briana boleh tebak berisi puluhan makalah mahasiswa.

Hari ini hujan turun lumayan deras. Membuat permukaan aspal didepan gedung fakultas teknik yang kebetulan berada dekat dengan gerbang utama jadi terlihat mengkilap dengan beberapa aliran air kecil di sisi kanan dan kirinya. Briana yang tidak sedang membawa payung hanya bisa berdiri ditepi salah satu kelas sambil mengamati langit yang tak kunjung cerah.

"Nungguin Juan, Ren?". Katanya balas tersenyum.

"Iya. Paling lima belas menit lagi juga sampai". Ujarnya, "Lo sendiri kok masih disini? Nggak bawa mobil?".

Briana mengangguk sambil tertawa. Menyadari bahwa insting temannya sungguh luar biasa, "Iya".

"Terus nanti balik sama siapa? Mau bareng sama gue dan Juan aja nggak?".

"Wah, nggak usah repot-repot, Ren". Balasnya sebelum menyadari sesuatu, "Loh, kok lo udah balik? Katanya lagi seminar di Bandung?".

"Seminarnya kan cuma tiga hari. Gue udah balik dari kemarin kali".

"Hng?". Briana menggigit bibirnya sekilas, ragu apakah dia harus bertanya atau tidak.

"Kenapa?". Sambar Irena begitu mengetahui gelagat aneh sang kawan.

Briana menggeleng, "Itu, kok gue nggak lihat Pak Canda ya kalau emang seminar Bandung udah selesai?".

"Pak Canda?". Kening Irena berkerut bingung sesaat. Dia memang pergi ke Bandung dengan empat dosen senior lainnya. Canda memang termasuk, namun mendengar Briana bertanya soal dosen yang satu itu mau tidak mau membuatnya merasa aneh sebab keduanya tidak dekat. Kemudian Irena kembali mengingat-ingat, selain Canda, ada siapa lagi yang ikut acara bersamanya. Lantas yang selanjutnya, kebingungan Irena berganti tawa, "Pak Abraham kali maksud lo".

"Apasih?! Kok jadi dia?!".

Tawa Irena semakin lebar saja saat melihat wajah Briana yang tertekuk. Samar-samar ada rona merah dikedua pipinya yang membuat Irena yakin sekali bahwa tebakannya tadi sama sekali tidak meleset.

"Ngaku aja lo! Ngapain coba lo nanyain Pak Canda padahal kenal aja enggak". Cetusnya makin membuat Briana kesal.

"Ya kan tanya doang, apa salahnya?".

Irena masih tidak bisa menahan rasa gelinya, namun melihat wajah sang kawan yang kian keruh, pada akhirnya gadis cantik itu memilih mengalah, "Lo tau kan kalau seminar kemarin diadain di kampus ayahnya Pak Abe? Jadi dia ambil tambahan dispensasi satu hari lebih panjang dari gue dan Pak Canda untuk stay disana. Gue denger juga karena ada urusan keluarga".

"Kan gue nggak nanyain dia, Ren". Briana memang masih bersikeras, namun Irena tahu bahwa itu semua hanya akal-akalan gadis itu saja untuk menyembunyikan rasa penasarannya.

Candy ㅡBBHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang