Dingin.
Selama mengenal Abraham, tidak sekalipun Briana pernah mendapati pemuda itu pernah melepasnya pulang tanpa ucapan selamat malam ketika keluar dari mobil. Namun malam itu, malam dimana ketika bersamaan dengan seraut kecewa, juga sorot sendu Abraham tidak mendebat penolakannya atas lamaran yang pemuda itu ajukan buatnya, tempo hari, untuk pertama kalinya, pemuda itu mengirim Briana pergi tanpa salam.
Jika kehilangan presensi pemuda itu selama beberapa hari saja sudah membuatnya uring-uringan, maka kehilangan kehangatan dalam tatapan pemuda itu untuknya tentu punya efek lebih dahsyat.
Setelah malam penolakan itu, Abraham berhenti muncul di hadapannya. Memberinya silent treatment bahkan ketika mereka berdua tidak sengaja berpapasan, dan memilih membuang muka saat melihat dirinya berniat bicara. Pemuda itu juga memandangnya dengan datar seakan mereka berdua tidak pernah kenal.
Well, secara garis besar, Abraham memang tidak menghindarinya, namun lebih parah, pemuda itu mengabaikannya.
Briana mengerti.
Laki-laki itu pasti masih menyimpan kecewa yang amat besar padanya.
"Lo sama Abe lagi berantem ya?". Suara Irena menghentikan aksinya yang sedari tadi sibuk menatap kosong pada langit senja dihadapan mereka berdua.
Seperti biasa, mereka berdua baru selesai mengajar pukul empat sore. Irena yang kebetulan sedang akan dijemput Juan meminta Briana untuk menemaninya menunggu sampai calon suaminya itu datang di selasar dekat gedung fakultas teknik. Tentu saja Briana langsung menurutinya, sebab dia sendiri merasa tidak punya kegiatan mendesak apapun setelah jadwal mengajarnya berakhir.
Gadis itu menoleh cepat pada Irena, "Kok tau?".
Bukannya menjawab, Irena malah tertawa mengejek lebih dulu, "Ya tau lah! Jangankan gue, dosen sekampus juga bisa tau kali kalau lo berdua lagi berantem. Ketauan banget. Apalagi belakangan muka lo selalu kusut".
Briana menghela nafas lelah.
"Ada apa?".
"Gue bikin dia marah, Ren".
"Kok bisa?".
"Panjang ceritanya". Briana menjawab tanpa tenaga, "Yang jelas sampai sekarang dia masih nggak mau ngomong sama gue ㅡAh, jangankan ngomong, lihat gue aja kayaknya dia udah males duluan".
Irena tanpa sadar jadi ikut menghela nafas lelah, "Kesalahan lo kayaknya fatal juga". Ujarnya kembali berlanjut ketika melihat kebingungan pada mata Briana, "Abe itu orang paling chill diantara kita semua. Dia jarang bisa marah ke orang lain apapun alasannya. Pernah waktu itu Khairav nggak sengaja nyemplungin laptopnya ke kolam renang sampai mati total, dia sama sekali nggak marah. Dia cuma bilang nggak apa-apa, padahal gue tau semua bahan presentasi sama susunan materi semester depan yang udah dia buat susah payah ada disana semua".
Briana lagi-lagi hanya bisa tertunduk pasrah setelah mendengar cerita kawannya itu. Apa yang Irena bilang memang tidak salah, Abraham memang tipe orang yang tidak mudah marah pada orang lain. Jika dia kesal, dia akan protes namun tidak dengan kalimat menyakitkan. Terhadap segala sifat keras kepala Briana, pemuda itu tidak pernah mengomel. Sebaliknya, Abraham perduli padanya, menaruh banyak perhatian juga rasa sabar untuk mau mengerti dirinya.
Dan alasan 'terlalu cepat' yang gadis itu lontarkan sebagai penolakan hanyalah alibi semata.
Dia hanya . . . Takut.
"Kayaknya kalau gini, gue nggak akan pernah dimaafin". Gumamnya dengan kekehan sarkas.
Irena menatapnya dengan prihatin. Gadis itu mengotak-ngatik ponselnya sebentar, lalu tiba-tiba mengangsurkan satu paket dokumen yang terbungkus amplop cokelat besar kehadapan kawannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Candy ㅡBBH
FanfictionTerkadang pemuda itu terasa semanis cokelat. Lantas berubah jadi kayu manis yang dewasa. Detik berikutnya dia menjadi penuh kejutan seperti pop rocks yang menyenangkan. Lalu strawberry, bubble gum, mintㅡ ㅡWell, Abraham memang lucu. Briana berhasil d...