22. Cut The Cycle

316 61 69
                                    

Irena melihat sekilas pada dokumen yang baru saja diangsurkan dengan cara tidak beradab ㅡalias dilemparkanㅡ keatas mejanya dengan dua sudut bibir yang tertarik naik. Mengabaikan fakta bahwa seseorang baru saja menerobos masuk kedalam ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Wah, udah kelar semua nih?". Katanya sembari mengecek satu-persatu lembar kuis mahasiswa yang ada disana.

Abraham tidak menjawab, melainkan hanya merotasikan bola matanya dengan jengah.

"Your welcome, Wistara". Katanya dengan binar mata cerah yang terkesan meledek.

"Thank you". Abraham membalas kecut, seketika memicu tawa Irena muncul ke permukaan.

Perempuan yang sebentar lagi akan melangsungkan pernikahannya itu mengambil sesuatu dari laci lantas meletakkannya keatas meja. Menawarkannya pada Abraham yang kini sudah duduk manis diseberangnya.

"Lo masih aja suka nyetok minuman isotonik di laci ya?".

"Jaga-jaga kalau ada tamu nggak diundang kayak lo gini".

"Loh gue tamu?". Sarkasnya lalu meraih botol minuman tersebut dan meneguknya.

"Secara teknis, lo adalah kurir tugas gue hari ini".

Abraham mendecih tak terima, "Kalau bukan karena bantuan lo kemarin, gue juga nggak akan mau repot-repot begini".

Bukannya tersinggung, Irena malah kembali tertawa mendengar cibiran kawannya. Gadis cantik itu menumpukan kedua tangannya keatas meja dengan senyum yang belum lepas menghias wajah.

"Masih belum baikan?".

Abraham melirik sepintas lalu menggeleng sebagai jawabannya. Pemuda itu mulai berusaha merilekskan tubuhnya dengan bersadar pada punggung kursi yang tengah dia duduki.

"Dia masih belum bisa ngasih apa yang gue mau".

"Apa yang lo mau?". Ulang Irena.

"Penjelasan". Balas Abraham singkat.

Irena menganggukkan kepala tanda mengerti lalu menarik satu seringai mengejek, "Soal alasan kenapa lamaran lo bisa ditolak atau soal alasan kenapa dia masih belum bisa percaya sama lo padahal kalian berdua udah pernah tidur bareng?".

Abraham menatap terkejut pada Irena.

"Darimanaㅡ".

"Kalau lo udah tau dari awal Briana takut buat berkomitmen, kenapa lo malah treat dia seakan-akan dia itu nggak punya trauma apa-apa?".

Dicecar begitu, Abraham langsung mendesah lelah. Sejujurnya kedatangannya kemari siang ini bukanlah untuk diinterogasi, apalagi dicecar pertanyaan yang paling ingin dia hindari. Dia kira Irena tidak akan terlalu perduli.

Irena sendiri sebenarnya paham gelagat terganggu Abraham, namun buatnya, jika permasalahan atara Briana dan Abraham tidak dijembatani oleh orang ketiga, maka urusannya akan lama selesai.

"Beㅡ".

"Gue mau dia jujur sama gue, Ren".

Irena mulai mendengarkan.

"Gue tau dia takut sama komitmen karena hubungan orang tuanya yang nggak sehat dulu. Tapi mau sampai kapan dia mau lari dari rasa takutnya itu? Selamanya? Nggak bisa, Ren". Abraham menyambung dengan sedikit gusar, "Kalau selamanya dia lari, selamanya pula dia bakal terus-terusan sakit hati dan nyalahin dirinya sendiri. Menganggap dirinya nggak pernah cukup buat dicintai sama orang lain cuma karena masa lalu keluarganya yang berantakan".

"Ngomong emang selalu gampang, Be. Tapi apa lo pernah mikirin gimana keadaan Briana waktu berusaha menghadapi ketakutannya?".

"Kalau gue nggak mikirin keadaan dia, apa menurut lo sekarang gue tetap akan sabar nunggu dia sadar kalau dia nggak boleh selamanya terjebak sama traumanya?". Pemuda itu kedengaran tersinggung, namun Irena tetap berusaha tenang.

Candy ㅡBBHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang