18. Viewpoint

368 65 97
                                    

Sepanjang jalan, baik Briana maupun Serafina tidak saling bertukar kalimat, sebab Briana lebih fokus pada kemudi mobilnya, sedangkan Serafina memilih diam dengan pandangan mengawang kearah kaca jendela.

Walaupun samar-samar Briana masih bisa mendengar suara sengau gadis itu ketika mencoba bernafas, tapi keadaannya jelas sudah lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Fina, mau minum sesuatu?". Briana melirik pada Serafina sekilas. Didepan perempatan jalan sana kebetulan ada mini market, dan Briana ingat kalau sejak dari apartemen Abraham, Serafina belum minum apapun.

"Nggak". Balasnya. Walau masih tanpa menoleh, Briana bisa maklum. Namun detik berikutnya Fina malah menatapnya dengan sudut bibir naik sedikit, "Makasih, Briana".

Briana menoleh dengan wajah kaget pada awalnya, namun kemudian ikut tersenyum kearah Fina, "Nggak apa-apa kok, lagian aku juga haㅡ".

"Makasih karena udah bawa aku pergi dari Tara".

Briana seketika terperanjat, matanya bergetar sebab tidak mengerti harus menjawab apa, "O-oh soal itu, aku. . .mau minta maaf. Aku malah ikut campur urusan kamu sama Tara tadi".

Serafina tertawa pelan lantas menggelengkan kepalanya. Gadis itu menghela nafasnya kemudian menyandarkan punggungnya dengan nyaman pada sandaran jok, "Bukan salah kamu. Aku sama Tara memang udah lama rusak".

". . .".

"Kita udah terlalu lama membenci satu sama lain. Terlalu lama nyembunyiin kebenaran karena terlalu merasa sakit hati. Dan jujur aja, aku nggak kaget kalau akhirnya akan begini".

Briana tidak menyahut. Pandangannya fokus pada aspal jalan, namun telinganya masih setia mendengarkan setiap celotehan yang keluar dari mulut Fina.

"Aku datang dari keluarga yang nggak utuh. Mama minta cerai dari papa setelah tau kalau papa punya anak dari perempuan lain. Ironisnya, ternyata anak itu seumuran sama aku, yang mana berarti udah belasan tahun papa main dibelakang mama. Kamu tau, Briana? Duniaku runtuh detik itu juga, dan Tara jadi yang paling tau gimana kacaunya aku saat itu".

". . .".

"Mina mungkin nggak bersalah secara langsung atas kehancuran keluargaku, tapi aku tetap nggak bisa berhenti benci dia. Andai dia nggak muncul, keluargaku nggak akan jadi seperti sekarang. Dia merebut semuanya dari aku. Kasih sayang papa, juga Tara. Itu sebabnya aku mulai memperalat Abraham, karena aku mau Tara merasakan apa yang aku rasakan".

Ada rasa sesak yang membanjiri benak Briana begitu Fina selesai bercerita dengan pandangan kosong.

Sebagai seseorang yang sama-sama terlahir dari keluarga yang tidak utuh, sedikit banyak Briana mengerti bahwa semua tindakan Serafina didasari oleh banyak rasa kecewa. Jika Briana kecewa karena sifat ayahnya yang abusive dan suka main perempuan, gadis disampingnya ini kecewa sebab terlalu banyak mengalami pengkhianatan. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa membayangkan berada di posisi Serafina, melihat orang yang paling dipercayainya ternyata bermain belakang dengan saudara tiri yang paling dibencinya tidakkah terdengar kejam?

"Briana," Gadis itu memanggil lirih. Irisnya sudah menatap lekat pada sosok Briana yang tengah menanti lanjutan ucapannya, "Aku bukan orang jahat".

Briana Floretta Azalea seketika terhenyak.

Sesuatu terasa menghantam ulu hatinya dengan keras hingga membuatnya merasa sesak. Ketika dirasa matanya mulai memanas, gadis itu segera mengalihkan tatapannya dari iris pekat Serafina.

Enggan membiarkan gadis disampingnya itu melihatnya menangis tanpa sebab.

"Aku tau". Katanya berusaha mengontrol suaranya agar terdengar tidak pecah.

Candy ㅡBBHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang