Part 24

42 19 5
                                    

Tadinya, sesampainya di kelas, Tinky hendak mengajukan protes karena Ray duduk di sebelahnya, tetapi tidak jadi saat netranya tertuju pada punggung gadis berambut sebahu di hadapannya secara alamiah. Lebih tepatnya, Sherina duduk bersebelahan dengan Jemmy yang memutar kepalanya ke arah Tinky sebelum menyapa, "Welcome back, Tink!"

Meski terdengar riang seperti yang sudah-sudah, Tinky sadar sudah ada jarak yang terbentang lebar sejak Jemmy mengunjunginya di rumah sakit.

Meski masih ada sisa rasa bersalah karena telah mengecewakan Jemmy, tetap saja jika harus mengorbankan persahabatan mereka, ini adalah jawaban yang terbaik.

Menurut Tinky, luka yang tergores tetap akan sembuh pada akhirnya daripada luka yang ditambah dengan luka baru. Ini juga berlaku untuk Sherina meski lukanya lebih dalam karena hampir berkomitmen dengan Ray.

Tinky tidak akan heran jika Sherina menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Perasaan itu sangat wajar dan dia layak mendapatkannya. Bahkan, dia bersyukur tidak ditampar di salah satu pipinya untuk saat ini.

Benar saja, Sherina sama sekali tidak menoleh sewaktu Jemmy menyapanya.

*****

Tinky sedang mencuci tangan di wastafel ketika ekor matanya menangkap sosok Sherina yang berniat melakukan hal yang sama, tetapi tidak jadi saat melihat Tinky. Meskipun demikian, pada akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan langkah karena berpikir akan sangat aneh jika terus menghindari gadis itu.

"Hmm... hai," sapa Tinky kaku sembari mematikan air keran, sedangkan Sherina mencuci tangan di wastafel sebelah.

Sherina tersenyum, senyumannya juga terlihat sama kakunya.

"Hmm... gue boleh ngomong sama lo, nggak?" tanya Tinky.

Sherina memandangnya balik dari cermin besar yang ada di hadapannya, lalu mengangguk.

Dua menit kemudian mereka duduk di bangku panjang di atap sekolah, tempat di mana Tinky pernah bolos dan menghabiskan beberapa jam bersama Jemmy. Dia menatap Sherina dengan ragu, mendadak apa yang ingin diutarakan menguap begitu saja. Entah apa yang harus dikatakannya dan ini membuatnya malu sendiri.

"Lo mau bilang apa?" tanya Sherina dengan nada datar.

Jeda kosong menguasai mereka lagi dan Tinky masih saja tidak tahu apa yang harus dikatakannya agar perasaan Sherina bisa lebih baik dari sebelumnya. Mendadak dia menyesal karena baru sadar kalau situasi seperti ini malah membuat segalanya menjadi lebih buruk.

"Hmm... gue...."

"Kalo gitu, biar gue yang ngomong duluan aja," kata Sherina sembari menatap mata Tinky. "Tapi sebelumnya gue mau tahu. Lo prioritaskan yang mana dulu; dengerin sesuatu yang menyedihkan atau yang menyenangkan?"

Tinky mengerjap berkali-kali dan kentara sekali kalau dia sulit memutuskan yang mana ingin dia dengar terlebih dahulu. "Hmm... yang menyedihkan dulu, deh."

"Gue nggak pernah sesuka ini sebelumnya sama cowok," kata Sherina dan Tinky merasa seperti melambung turun dari ayunan tanpa berpegangan. "Dan yang paling menyedihkan itu... ketika lo merasa sudah hampir sampai di garis finish, tetapi rupanya ada kesalahan teknis. Garis finish itu ternyata masih jauh dan seseorang yang lain udah memenangkannya. Konyolnya... dari awal seharusnya lo yang terdepan, tetapi harus kalah di saat-saat terakhir.

Kalah karena terlalu berfokus pada garis finish yang salah sejak awal," tambah Sherina dengan menatap Tinky lekat-lekat. Tinky bisa melihat bagaimana tatapan itu sarat akan luka yang mendominasi karena ada cairan bening dan dia segera dihinggapi perasaan bersalah.

"Yang gue maksudkan adalah... gue terlalu sombong karena merasa udah memenangkan Ray sejak awal," kata Sherina sambil tersenyum getir. "Gue memang sempat merasakan firasat aneh waktu gue lihat lo dan Ray berinteraksi. Walau Ray benar-benar benci sama lo, gue mengabaikan firasat gue karena seperti yang tadi gue bilang, gue merasa tetap akan bersama Ray pada akhirnya. Karena sedari awal gue udah start duluan. Gue adalah calon tunangan Ray. Siapa, sih, yang bisa bersaing sama gue?"

Sherina terdiam sejenak, lalu memaksakan tawa seakan sedang membicarakan sesuatu hal yang konyol. "Lalu gue sadar. Sadar ketika Ray memalingkan wajahnya ke sisi lain pas melihat ekspresi lo yang lagi malu-malu di bus. Selama gue mengenal Ray, dia nggak pernah tersenyum kayak gitu. Gue langsung teringat pembicaraan kita di kelas, tentang apakah Ray pernah tersenyum atau nggak ke lo. Jujur saja, gue juga sempat ngerasa bahwa lo berbohong sama gue. Senyum Ray pasti nggak asing buat lo. Trus pada akhirnya waktu mendengar pembicaraan kalian di tepi hutan, gue udah merasakan kekalahan yang telak."

"Sher, gue—–"

"Gue, yang lebih unggul dari yang lain, pada akhirnya kalah jauh. Tapi saat itu gue masih belum tahu kalau ternyata lo nggak ada hubungan darah sama Ray. Jadi, gue pikir satu-satunya cara biar kalian nggak melanjutkan hubungan terlarang, gue yang menyarankan Ray buat meresmikan pertunangan dan menyuruh Jemmy untuk mengakui perasaannya ke elo karena gue tahu dia punya perasaan khusus ke lo. Andai saja gue tahu dari awal tentang lo nggak punya hubungan darah sama Ray, gue nggak bakal nyaranin semua ini."

Tinky menggeleng berkali-kali. "Ng-nggak kok, Sher. Ini kesalahan gue dari awal. Gue seharusnya nggak pernah masuk dalam kehidupan Ray. Maafin gue, ya. Gue sama sekali nggak tau tentang pertunangan kalian. Andaikan gue tahu lebih awal, gue nggak mungkin mau menanggung semua ini. Gue—–"

"Gue paham, Tink," hibur Sherina. Sebelah tangannya dia letakkan di bahu Tinky. "Lo sendiri udah banyak menderita. Gue baru tahu semua ceritanya dari Jemmy. Ternyata lo jauh lebih tegar dari keliatannya."

"Jemmy?" ulang Tinky.

Sherina mengangguk. "Sebenarnya Jemmy udah lebih awal jenguk lo, trus nggak sengaja denger pembicaraan Ray sama mama lo.

Kalo soal sesuatu yang menyenangkan, lo mau denger?" lanjut Sherina setelah jeda kosong terjadi lagi di antara mereka selama beberapa saat.

Tinky mengangguk, tetapi saat itu bel masuk sudah berdering.

Sherina menunjukkan senyum misterius selama beberapa saat. Sejujurnya, Tinky sukses dibuat terpesona pada gadis berambut pendek yang mempunyai sepasang lesung pipi yang manis itu. Berkat sokongan cahaya matahari dari belakang, visualnya menjadi semakin optimal. "Tanya sama Jemmy aja, oke? Lagian lo juga harus bicara sama dia, 'kan? Sampai ketemu di kelas, ya?"

Sherina mengedipkan sebelah mata sebelum akhirnya meninggalkan lokasi, meninggalkan Tinky yang kini merasa beban di dalam hatinya sudah lebih ringan.

Sebab dari lubuk hatinya, dia memang menginginkan hubungan pertemanannya dengan Sherina terus berlanjut dan dia lega karena bisa mempertahankannya.

Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang