Part 21

45 22 12
                                    

Meski berhasil dibuat membeku selama beberapa saat, Jemmy akhirnya menunjukkan tersenyum getir. Sepintas, ekspresinya mengingatkan Ray akan Sherina tadi. Senyuman itu... jelas sarat akan paksaan.

Jemmy mulai mengerti bahwa sedari awal dia memang tidak bisa memiliki Tinky jika ada Ray di sisinya.

Sebab sedari awal... Ray selalu selangkah lebih maju.

Dia sudah kalah bahkan sebelum memulai hubungan resminya dengan Tinky.

Tadi sewaktu Ray mengunjungi Sherina, Tinky memberikan jawaban atas pengakuannya pada malam itu, tepatnya ketika dia mengantar Tinky pulang dari kerja bakti. Gadis itu bersedia untuk menjalani hubungan lebih dari sekadar teman dekat, persis seperti yang diinginkan Jemmy.

Namun, sepertinya keinginan itu tidak akan terwujud. Bahkan kesempatan tersebut sudah raib sebelum Jemmy sempat menyentuhnya.

"Rupanya seperti itu." Senyuman hampa masih saja nangkring di bibir Jemmy. "Gue nggak menduga ada kemungkinan Tinky nggak punya hubungan darah sama lo."

Lantas, Jemmy menoleh pada Tinky. Alih-alih jenaka, senyuman yang cowok itu tunjukkan lebih cocok disebut seringai. "Sekarang balik ke keputusan lo, Tink. Gue bakal turutin apa pun jawaban lo."

"Benar," Tinky mengiakan pernyataan Jemmy seolah mendapat sebuah ilham. "Balik ke keputusan gue, 'kan? Kalau gitu gue mau lo yang pulang, Ray."

Ray refleks mendengkus keras. "Apa lo bilang?! Antara gue sama dia, lo lebih milih Jemmy? Lo bener-bener nggak bisa diprediksi, ya! Sekali lagi pertanyaan gue! Gimana mungkin gue bisa biarin Jemmy bersama lo semalaman?"

"Pertanyaan ini juga berlaku buat lo," balas Tinky dengan nada datar. "Barusan lo ngaku udah tau kalau kita nggak ada hubungan darah. Bukannya itu berarti lo juga sama? Malah lo lebih berbahaya daripada Jemmy!"

Ray meletakkan sebelah tangan ke belakang leher dengan gaya frustasi sebelum menuding Tinky. "L-lo!"

"Lagian Jemmy sekarang pacar gue. Gue udah mengiakan pengakuan dia. Jadi seperti yang Jemmy bilang, dia punya kualifikasi untuk itu.

Satu lagi." Tinky menambahkan, masih dengan nada datar. "Soal utang budi, lo udah bayar lebih dari cukup sejak gue kritis sampe beberapa hari berikutnya. Jadi, udah impas. Oke? Lo bisa pulang sekarang, Ray."

"Kalau gitu lo harus jelasin," balas Ray tidak kalah dinginnya. Cowok itu melewati Jemmy untuk mendekati Tinky, lalu membungkuk agar bisa melihat ekspresinya lebih jelas. "Mengapa lo repot-repot ngegantiin gue ditusuk oleh seseorang yang sedari awal punya rencana untuk membunuh gue? Mengapa lo harus berbohong soal punya hubungan darah sama gue? Dan mengapa... MENGAPA LO RELA MENERIMA SEMUA HINAAN ORANG-ORANG PADAHAL LO BUKAN SIAPA-SIAPANYA GUE? JELASIN SEKARANG JUGA KALAU LO MEMANG NGGAK ADA PERASAAN SAMA GUE!"

Jemmy menarik bahu Ray untuk mengingatkan, tetapi cowok itu melepaskan dirinya dengan kasar. "Lo bisa jelasin ke gue juga, Jemmy Sebastian. Apa hanya karena lo punya kualifikasi atas Tinky, lo bisa mendapatkan semua pembuktian seperti yang gue sebutkan tadi dari Tinky? Kalau ada, sebutin sekarang!"

Jemmy mencelus saat dipertegas seperti itu. Oleh karenanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi berada di sana, di saat kehadirannya tidak membantu sama sekali. "Lo bener. Gue udah kalah banyak dari lo."

Setelahnya, dia meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa pun lagi.

Sekarang yang tersisa di ruangan itu adalah Tinky dan Ray. Cowok itu duduk di kursi sebelah brankar dan menatap intens, jelas sedang menunggunya untuk mengatakan sesuatu.

Tinky hendak berbaring, tetapi Ray menahannya. "Lo belum jawab gue, Tink. Gue berniat nanya semuanya setelah lo pulang, tapi karena semuanya terjadi kayak gini, lo nggak bisa salahin gue. Gue butuh jawaban lo sekarang."

"Sebenarnya lo mau gue jawab apa?" tanya Tinky dengan nada lelah, tetapi herannya teruntuk kali ini, Ray diam lagi.

Situasinya berlangsung selama beberapa menit. Tinky mendadak sadar kalau mereka berdua saja di dalam ruangan. Masalahnya adalah, dia sudah mendengar kalau Ray sudah tahu kebenaran tentang keduanya tidak memiliki hubungan darah.

Kini, rasanya sangat canggung setelah mereka sama-sama tahu kenyataan itu.

"Jelasin semua yang ada dalam pikiran lo sekarang!" perintah Ray lagi, membuat Tinky sulit menahan keinginan untuk tidak misuh-misuh. Ray selalu bertingkah semaunya dan yang lebih mengesalkan lagi adalah, dia tidak bisa membantah.

"G-gue...."

Tinky terdiam lagi. Ray yang tidak sabaran menarik lengan cewek itu agar pandangannya bisa kembali padanya.

"Gue mau tau yang sebenarnya. Lo harus jelasin ke gue," pinta Ray dan kali ini ekspresinya jauh lebih lembut daripada sebelumnya sehingga rona merah Tinky muncul lagi tanpa peringatan.

"Awalnya, gue memang simpati sama lo." Tinky akhirnya menjelaskan usai jeda beberapa saat. Sepertinya dia berusaha memikirkan kata yang tepat untuk menyampaikan isi hati karena sejujurnya hal ini tidaklah mudah berhubung dia jarang berbicara pada Ray dengan nada yang lebih lembut dan sabar dari biasanya. "Gue merasa senasib waktu denger mama lo meninggal. Seperti yang lo tau, gue anak tetangga yang dekat sama mama gue. Jadi, walau masih punya ibu, bukan berarti gue nggak merasa kehilangan setelah tau kebenarannya."

Tinky tidak menangis, tetapi suaranya terdengar parau dan agak bergetar. "Setelahnya, simpati itu berubah menjadi empati waktu melihat lo sering mabuk-mabukan di malam hari. Gue merasa perlu menghibur walau tau lo benci sama gue. Gue bertahan untuk peduli karena gue menganggap... semua itu layak gue lakukan sebagai perwujudan empati gue ke lo. Walau gimanapun, lo udah cukup menderita setelah kehilangan seorang ibu dan gue juga merasakan hal yang sama. Gue nggak pernah lihat bagaimana rupa orang tua gue, jadi... dengan menjadi pelampiasan kemarahan lo, gue bisa merasa sedikit lebih baik. Gue beranggapan, kita sama-sama berbagi luka atas kehilangan orang tua kita."

Ray spontan teringat akan ucapan Tinky tentang pengakuannya yang lebih suka dibuli olehnya daripada Gea cs.

"Soal kita nggak punya hubungan darah, itu karena gue udah tau kalau lo udah punya calon tunangan. Juga, gue udah memutuskan untuk bertahan selama setahun. Gue cuma takut rencana itu jadi sia-sia begitu lo tau kebenarannya. Trus tentang rela ditusuk, itu karena gue denger pembicaraan Gea sama sobatnya. Dari situ gue punya firasat kalo dia mau celakain lo."

"Tante Bella ada cerita soal itu," kata Ray. "Jujur aja, gue jadi keinget sama semua tindakan kejam yang gue lakuin ke lo selama ini. Gue—–"

Ray menghela napas panjang dan membenamkan wajahnya di kasur brankar.

"Maafin gue, Tink," ucap Ray, masih tetap tenggelam di kasur itu. Suaranya jadi teredam, tetapi itu cukup bagi Tinky untuk mendengar.

Lantas, gadis itu mengangkat salah satu tangan, berniat untuk menyentuh puncak kepala Ray, tetapi tidak jadi setelah jeda beberapa saat. Sebagai gantinya, Tinky mengatur wajahnya.

Rahangnya mengeras. "Gue punya permintaan, Ray. Apa boleh gue memohon sesuatu?"

Ray refleks mengangkat kepala dan menatap Tinky dengan saksama. Ekspresinya tampak kacau berhubung dia harus menunjukkan reaksi kepo di atas perasaan bersalahnya.

"Jangan batalin pertunangan itu, Ray, jadi gue sama Mama bisa pergi lebih cepat tanpa harus menunggu lo berumur 17 tahun. Bisa, 'kan?"

Maafin gue, Ray. Kita mungkin saling menyukai, tapi gue nggak bisa egois. Gue nggak mau jadi pengganggu antara lo dan Sherina. Dia adalah calon yang dipilih oleh mama lo. Gue nggak berhak untuk itu.

Gue sekarang mengerti mengapa dalam dongeng, Tinkerbell merelakan kepergian Peter Pan. Keduanya sama-sama manusia, berbeda dengan Tinkerbell yang berwujud peri.

Dia dan Peter Pan nggak mungkin bisa bersama.

Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang