Part 13

47 24 23
                                        

Napas Tinky berderu setelah bergeming selama beberapa saat, yang baru dia sadari terjadi karena menahan napas. Meskipun demikian, untunglah dia bisa mengendalikan diri dan bertingkah seolah-olah kalimat Ray tidak mempengaruhinya sama sekali.

Sudut bibirnya terangkat sejurus kemudian. "Lo cowok paling egois yang pernah gue kenal."

"Gue nggak peduli," kata Ray. "Asalkan lo menuruti permintaan gue."

"Apa gue segitu rendahnya sampai-sampai senyuman gue juga harus dibeli sama lo? Kenapa nggak sekalian aja minta gue jadi pelayan aja?"

Tinky bermaksud sarkastik, tetapi Ray malah menanggapinya dengan serius. "Pelayan? Kenapa nggak terpikirkan sebelumnya, ya? Benar juga, gue bisa mengatur lo sesuka hati."

"Masalahnya gue menderita karena lo, jadi gimana mungkin gue bisa tersenyum? Bahkan senyuman palsu juga nggak bakalan mungkin!"

"Menderita karena gue?" ulang Ray, seketika emosi. "Jelas-jelas gue yang menderita karena lo! Lo yang menyebabkan mama gue meninggal! Apa gue perlu siaran ulang gimana cara lo menghancurkan hidup gue?"

"Gue nggak mau bertengkar sama lo, oke?" Tinky mendadak bergidik, tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Ray mengintimidasinya seperti waktu itu. "Gue yang salah. Maafin gue, ya? Lebih baik kita jalan masing-masing karena gue nggak mau berdebat."

Tinky berbalik untuk melanjutkan misi mencari pita kuning sendirian, meninggalkan Ray yang sangat kesal.

Ya, awalnya dia kesal sampai ingin menendang pohon terdekat untuk meluapkan emosi. Namun, amukan tersebut menguap begitu saja, terlebih ketika rasa sepi mulai menelannya hidup-hidup. Entah mengapa, Ray merasa aneh, seperti ada ketakutan yang membuatnya overthinking. Lantas, cowok itu panik saat tidak mendengar tanda-tanda ada pergerakan manusia di sekelilingnya, padahal Tinky belum lama meninggalkannya.

Napas Ray terengah-engah, mulai khawatir tidak menemukan sosok Tinky. Mendadak perasaan seperti mencelus mulai merundungnya, seolah-olah dia sedang tersandung polisi tidur tanpa melihat.

"Tink! Lo di mana?" tanya Ray gelisah dan mencari-cari seperti orang gila. Tiba-tiba dia merasa dejavu, persis mengingatkannya pada momen di saat mamanya pergi untuk selama-lamanya.

Tinky rupanya sedang bergelantungan di salah satu pohon bercabang besar. Saat mendengar teriakan Ray yang sarat akan gelisah dari kejauhan, dia mengira kalau cowok itu sedang berada dalam bahaya sehingga dia langsung turun tanpa memperhatikan langkahnya dan berakhir terpeleset ke tanah dalam posisi duduk.

"AW!" pekiknya refleks. Rasa nyeri segera melanda bagian bokong dan salah satu pergelangan kakinya.

Tidak lama, terdengar derap langkah yang mendekat dengan terburu-buru. Tinky tidak akan heran jika terjadi gempa lokal yang disebabkan oleh Ray.

"LO KE MANA AJA SIH?! GUE NYARIIN LO SUSAH PAYAH TAU NGGAK?!"

Tinky mau membalas, tetapi tidak jadi karena rasa sakit pada dua titik bagian tubuhnya belum berkurang. Gadis itu menyayangkan kecerobohannya. Seharusnya dia tidak langsung terburu-buru seperti itu saat mendengar Ray memanggilnya.

"Lo kenapa masih di situ? Nggak bisa berdiri, ya?" tanya Ray, masih dengan nada ketus.

"Kaki gue sakit." Tinky memutuskan menjawab datar alih-alih emosi.

"Ya berdiri dong walau sakit! Lo, kan, cuma jatuh dari atas pohon, bukannya dari ketinggian gedung!"

Tinky langsung meledak, seketika lupa caranya bersikap kalem seperti dirinya yang biasa. "Lo nggak cuma egois, tapi super duper kejam! Dasar brengsek!"

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang