Part 17

41 22 23
                                    

Acara pertunangan Ray dan Sherina sangat meriah. Tentu saja, berhubung ini adalah acara penting dua keluarga yang mempunyai pengaruh besar dalam dunianya. Acara tersebut diselenggarakan di luar ruangan, tepatnya dilatarbelakangi kolam besar yang letaknya berada di bagian selatan salah satu hotel berbintang lima. Bunga-bunga cantik mendominasi area tersebut, menjadikan suasananya terlihat alami ditambah lampu-lampu yang menerangi di beberapa titik lokasi memberikan kesan yang estetik nan romantis.

Banyak tamu yang diundang, tidak terkecuali dari artis papan atas maupun pejabat tinggi. Jemmy baru sampai dan mencari sosok Tinky bertemankan gelas berkaki tinggi yang ditawari oleh pelayan berdasi kupu-kupu, tetapi lima belas menit telah berlalu dan dia masih saja belum menemukan gadis itu, padahal keluarga inti telah berkumpul untuk bersalaman dengan para tamu.

Hingga akhirnya ketika acara sudah mau dimulai, Jemmy akhirnya memberanikan diri bertanya kepada Brayden yang kebetulan melewatinya.

"Maaf, Om. Selamat malam," sapa Jemmy sopan.

Brayden tersenyum sebelum menyalami cowok berlesung pipit itu. "Kamu pasti anak bungsu keluarga Sebastian. Jemmy, 'kan? Kamu sekelas sama Tinky, jadi Om ingat."

Jemmy mengangguk dan tersenyum. "Benar, Om. Hmm... tapi saya mau tanya, Tinky di mana, ya, sekarang?"

"Tinky, ya? Loh, bukannya dia udah di sini, 'kan? Tadi datangnya barengan Tante Bella, kok. Di mana dia, ya? Tunggu, biar Om coba telepon dia."

"Nggak usah, Om. Saya tau nomor ponselnya. Biar saya saja yang telepon. Makasih, Om." Penolakan halus Jemmy membuat Brayden tidak jadi mengambil ponsel dari saku celana dan tersenyum, sebelum menepuk bahunya sekilas sebagai tanda pamit.

Jemmy lantas mengambil ponsel dan men-dial nomor ponsel Tinky. Terdengar nada tunggu, tetapi gadis itu tak kunjung menjawab.

Acara sudah dimulai. Sherina tampak sangat cantik dengan gaunnya yang berwarna merah muda dan rambut yang sengaja diatur bergelombang. Rambutnya tidak digelung mengingat panjangnya hanya sebatas pundak, tetapi entah mengapa riasan seperti itu terlihat sangat cocok untuknya. Ray juga tampak gagah meski warna jasnya dominan feminin seperti pasangannya. Dia terlihat tampan, padahal rambutnya disisir dengan gel dan sengaja dibuat acak-acakan.

Tidak ada yang menyadari kalau sebenarnya Tinky hadir di sana, hanya saja dia tidak sedang mengenakan gaun pesta. Setelannya persis dengan pelayan berdasi kupu-kupu yang menawarkan minuman pada para tamu dan dia memakai topi hitam untuk menutupi wajah. Gadis itu juga menggelung semua rambutnya agar tidak ketahuan. Sekilas, dia memang tak ada bedanya dengan pelayan yang lain.

Tinky mengakui ketampanan Ray dan merasa puas bisa menatapnya sebebas yang dia mau selagi menyamar. Dia juga melihat gelagat Jemmy yang sedang mencarinya dan mau tidak mau tersenyum geli.

Lucu saja sebab sebenarnya Tinky sempat lewat dan menawarkannya minuman, hanya saja Jemmy tidak mengenalinya.

Tinky langsung merasa lega karena kesimpulannya, penyamaran yang dia lakukan sukses. Gadis itu lantas menajamkan penglihatan, berharap bisa menemukan orang yang mencurigakan. Rencananya, jika dia berhasil menemukan orang yang ingin mencelakakan Ray, dia akan segera berteriak keras untuk memanggil salah satu bodyguard--yang sesuai janji Bella--telah ditempatkan di beberapa titik strategis.

Tinky menunggu sembari melirik ke sana kemari, tetapi tetap waspada supaya tidak menjalin kontak mata dengan siapa pun. Untungnya hingga sesi Ray dan Sherina saling bertukar cincin pertunangan, belum ada gerak-gerik yang patut dicurigai.

Keduanya hampir saja resmi bertunangan jika saja Ray lebih cepat memasangkan cincin pada jemari Sherina yang terulur. Tanpa aba-aba, ada seseorang yang berlari mendekati Ray. Langkahnya begitu gegas, sehingga banyak dari mereka yang heran mengapa ada yang berlari menuju pasangan itu.

Tinky yang sudah waspada sejak awal, melihat hal itu dan segera menyusul dengan kecepatan menggila. Untuk itulah tujuannya menyamar, karena dalam keadaan mengenakan pakaian pria, dia bisa melesat tanpa hambatan. Oleh karenanya, dia bisa sampai lebih dulu sebelum orang mencurigakan itu mendekati Ray.

Tinky menghadang di depan. Orang yang mencurigakan itu adalah seorang wanita yang tidak Tinky kenal; bergaun mewah, memakai topi boater yang memiliki pita besar di bagian crown sehingga wajahnya tidak terlalu kentara. Pelakunya jelas berkewarganegaraan asing dan kelihatannya sangat hebat menggunakan senjata karena dalam sepersekian detik dia menghunuskan pisau kecilnya yang tajam melewati Tinky untuk mengarahkannya ke Ray.

Segalanya seperti sedang diatur dalam mode slow motion, di mana saat semua orang yang tampak sangat syok melihat pisau yang ada di tangan wanita asing itu, di mana saat Tinky memutar tubuh untuk memeluk Ray supaya bisa melindunginya, juga di mana saat ekspresi wajah Ray berubah menjadi pucat saat matanya bertemu dengan netra Tinky yang sudah basah karena air mata.

Kedua mata Tinky membelalak maksimal saat pisau itu berhasil dihunuskan ke salah satu bagian dekat pinggangnya, rasa sakit yang menyusul segera mengaktifkan inderanya melebihi yang seharusnya sampai dia merasa tidak bisa bergerak.

Tinky terjatuh di atas Ray, yang kaget setengah mati menyaksikan bagaimana Tinky melindunginya dari tusukan pisau oleh orang asing yang tidak dikenal, sekaligus tidak mengerti mengapa ada orang yang ingin melakukan hal itu padanya. Acara langsung rusuh bak kebakaran jenggot dan seperti salah satu adegan action dalam drama, banyak yang kabur untuk menyelamatkan diri pada saat kejadian.

Bella berteriak histeris ketika melihat hal itu, terlebih ketika topi yang dipakai Tinky lepas dan wanita itu langsung mengenali anak semata wayangnya. Brayden segera memerintahkan para bodyguard untuk menangkap pelaku yang otomatis kabur secepat yang dia bisa.

Ray mengguncang bahu Tinky dengan tenaga yang sangat kuat, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Tink... TINKY! Lo... lo... apa yang lo lakuin, hah?! Jawab gue! JAWAB GUE!"

Tinky sudah merasa sangat mengantuk meski sangat ingin menjelaskan kepada Ray agar jangan terlalu cemas. Jujur saja, dibandingkan rasa sakit yang luar biasa itu, dia masih bisa merasakan kelegaan karena telah menjadi penolong Ray.

Apakah ini semata-mata karena ingin terlihat heroik? Tinky tidak tahu, yang jelas jika diberi pilihan, dia lebih memilih dirinya yang ditusuk ketimbang Ray yang mendapatkannya. Semua jadi berkesan layak jika gadis itu yang merasakan semua rasa sakitnya.

"TINKY! HEH, TINKY! BANGUNNN! LO NGGAK BOLEH MATI! LO HARUS JELASIN KE GUE SEKARANG!"

Ray begitu takut hingga merasa seperti ingin gila. Entah sudah berapa kali dia berharap apa yang sedang terjadi hari ini adalah bagian dari mimpi, tetapi sayangnya, apa yang terjadi sekarang begitu nyata hingga dia merasa sangat syok.

Sherina menyentuh bagian jantungnya dengan tatapan pilu. Di satu sisi dia tidak menyangka akan terjadi hal seperti ini, tetapi di sisi lain, dia merasa sangat sakit hati. Tinggal sebentar lagi mereka akan resmi bertunangan, tapi....

Jemmy hendak mendekati Tinky, tetapi ekor matanya menangkap sosok Sherina yang saat itu hampir pingsan. Gadis itu bertumpu pada salah satu pilar gerbang yang dihiasi oleh banyak bunga, hanya bisa menunduk dalam diam sebelum pegangannya terlepas sejurus kemudian.

Untungnya, Jemmy menangkap Sherina di saat yang tepat dan berpikir Tinky pastilah akan segera dibawa ke rumah sakit oleh Ray serta keluarga inti, termasuk para bodyguard.

Faktanya, kini Sherina sendirian. Orang tuanya entah berada di mana. Mereka mungkin mengira jika dia akan aman bersama Ray. Oleh karena itu, Jemmy memutuskan untuk membawa Sherina ke rumah sakit setelah menghubungi supirnya.

"TINKY!" teriak Bella, ikut mengguncangkan tubuh Tinky meski sia-sia saja karena dia sudah tidak sadarkan diri.

"Kita bawa ke rumah sakit!" perintah Brayden sementara mobil darurat sudah sampai dan beberapa petugas membawa Tinky ke tandu. Darahnya merembes ke mana-mana dan Ray tidak tahan untuk tidak menangis.

Dia menyesal telah melukainya selama ini dan kini sadar kalau dia sangat takut kehilangan Tinky. Ray segera ikut ke dalam mobil yang membawa Tinky tanpa pikir panjang sementara Brayden mengajak Bella untuk naik ke mobil pribadi.

"Plis, Tink. Lo nggak boleh pergi. Nggak boleh tanpa seizin gue," bisik Ray sembari menggenggam erat tangan Tinky yang sudah terkulai tidak berdaya di atas brankar.

Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang