Dia cantik, tetapi dengan senyum miring yang menghiasi wajahnya membuat gadis itu lebih cocok memerankan karakter antagonis. Padahal parasnya terlihat imut, begitu pula dengan postur tubuh yang lebih pendek dari Tinky.
Meskipun demikian, beberapa siswa yang berdiri di sisi kanan dan kirinya membuat dia terlihat lebih mendominasi seolah-olah menunjukkan sebesar apa pengaruhnya di sekolah.
Cewek yang mengeluarkan suara tadi lantas mengarahkan jari telunjuk pada Tinky, lalu memberi isyarat agar mendekat. Awalnya Tinky ragu, tetapi dia tahu dia tidak mempunyai pilihan lain. Namun sialnya, sebelum gadis itu sampai di hadapan cewek bertubuh mungil yang diduga sebagai senior atau ketua geng, salah seorang siswa menumpahkan isi minuman kemasan ke atas kepala Tinky sehingga rambut dan seragamnya basah.
Terdengar gelak tawa dari semua yang berada di sana, tidak terkecuali untuk mereka yang kebetulan lewat. Banyak yang menunjuk-nunjuk Tinky dan menghujat heboh meski yang ditunjuk lebih memilih untuk menunduk.
"Gue cuman mau ngasih salam aja karena kalau lo belum tahu gue siapa, gue adalah salah satu kerabat dekat mamanya Ray. Jadi, lo mestinya bersyukur karena gue nggak ngasih sambutan yang lebih parah dari ini. Oh ya, satu lagi. Gue senior lo, jadi tunjukkan rasa hormat."
Lagi-lagi terdengar gelak tawa. Lalu seakan belum cukup, salah satu dari mereka mendorong bahu Tinky hingga oleng dan mengolok-oloknya tanpa ampun.
"Kok, lo diem?" tanya siswa lain yang menumpahkan minuman tadi. "Mana sopan santun lo ke sepupu Ray?"
"Jangan bilang saking terpesonanya dia sama sekolah ini sampai-sampai jadi bisu!"
"Dia pasti nggak nyangka bisa masuk sekolah ini, padahal tanpa bantuannya Om Brayden, nggak mungkin banget dia bisa lolos seleksi! Lo lihat, deh, penampilannya! Lebih kucel dari babu gue di rumah!"
"Dari yang gue denger, mamanya yang godain Om Brayden."
"Oh, ya? Masa, sih?! Lo denger dari siapa? Ray, ya?"
"Ya, iyalah! Siapa lagi? Mana sudi Ray tinggal sama dia, apalagi... kan, dia biang penyebab mamanya meninggal. Katanya, dia yang ngaku sendiri kalau dia anak Om Bray. Tujuannya apa lagi kalau bukan porotin uang keluarga Nathaniel?"
"Hebat juga, ya, bisa buat rencana kejam kayak gitu! Mamanya Ray sampai meninggal karena dia, loh!"
"Memang ya, muka polos itu jauh berbahaya daripada yang lain! Dalemnya, tuh, kayak uler!"
"Heh! Lo tunggu apa lagi? Cepetan kasih hormat ke Gea!"
Lalu ada sebuah tangan yang tiba-tiba saja menekan tengkuk Tinky dengan kasar hingga kepalanya tertunduk ke bawah, jelas memaksa dirinya untuk menghormati Gea yang mengaku sebagai sepupunya Ray itu.
Semua tampak bersenang-senang dengan hal ini, terkecuali Tinky tentunya. Gadis itu memang sudah menduganya sejak awal. Yang benar saja! Siapa, sih, yang bisa menerima kalangan bawah seperti dia di sekolah yang bergengsi ini?
Namun, tepat di saat Tinky sedang berpikir bagaimana bisa keluar dari situasi yang sangat tidak menyenangkan dan berisiko mengganggu mentalnya, ada seseorang yang menyeruak masuk ke dalam kerumunan persis salah satu adegan dalam drama. Tinky melongo dengan mata yang membeliak, yang sejurus kemudian tidak percaya atas kesinkronan cuplikan dunia halu dengan dunia nyata di hadapannya.
Dia berjenis kelamin laki-laki, berkulit putih, dan yang jelas tinggi. Wajahnya kelewat tampan hingga Tinky yakin dia keturunan Cina bercampur darah bule. Cowok itu menarik bagian belakang kerah seragam Tinky dan dalam sekejap dia sukses berpindah ke sisinya.
Aksi tersebut tentu membuat syok semua orang.
Gea adalah yang pertama kali mengendalikan diri dan kesal karena aksinya membuli Tinky jadi terganggu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cheer Up, Tinkerbell! [END]
Fiksi RemajaPlease vote if you enjoy 🌟 Genre : School, Teenfiction, Romance (40%), Angst (60%) Namanya Tinky, tetapi tidak seberuntung Tinkerbell yang bisa terbang hanya dengan segenggam debu pixie. Namanya hanya akan memancing cemooh dari siapa saja yang mend...