Part 22

52 23 23
                                    

Tinky berusaha untuk tidak berlarut dalam perasaan supaya rencananya berjalan dengan lancar selagi Ray menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Apa ini benar-benar isi hati lo yang sebenarnya?" tanya Ray dingin setelah berupaya mengendalikan emosi. "Jelas-jelas kita berdua punya perasaan yang sama, lo mau sampai kapan terus kayak gini?"

"Gue udah jelasin ke lo waktu itu," jawab Tinky kalem meski ada ketegasan dalam kata-katanya. "Rasa suka gue udah lama hilang. Faktanya, kita tetap saudaraan."

"Apa lo bilang? Sau-saudara?"

Tinky mengangguk. "Berhubung lo udah punya calon tunangan, gue merasa lebih lega sekarang. Kalau gue tau dari awal, gue nggak mungkin bersedia ngelakuin semua ini. Seharusnya nasib gue lebih baik dari ini sebelum bertemu lo."

"Tinky, lo—–"

"Ray, perasaan benci sama suka itu beda tipis. Lo salah mengira, berpikir kalau itu adalah rasa suka setelah benci setengah mati. Pikiran lo dipenuhi dengan rencana bagaimana menghancurkan gue, sehingga lo selalu mikirin gue. Bener, 'kan?" potong Tinky.

"Gue udah suka sama lo sejak kita sebangku di SMP," tutur Ray terus terang. "Waktu gue membalikkan wajah ke arah lain, itu karena gue menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya."

"Itu semua udah jadi masa lalu, Ray. Bukannya kita semua pernah merasakan cinta monyet? Yang sekarang sudah berbeda. Gue yakin lo salah menafsirkan perasaan itu." Tinky lagi-lagi mengeraskan rahang, lantas berpura-pura membenarkan selimut agar pergerakan matanya yang mulai goyah tidak terlalu diperhatikan.

"Kalau gitu, biar gue yang menafsirkan sendiri. Biar gue cari tau apakah itu perasaan suka atau benci seperti yang lo bilang. Hanya ada satu-satunya cara," kata Ray serius.

"Cara? Memangnya ada cara?" tanya Tinky polos. Gerakannya merapikan selimut jadi terabaikan. Masalahnya, dia belum pernah mendengar cara jitu untuk membedakan perasaan suka dan benci sebab sepertinya saran yang ditujukan Ray bermakna lain.

"Asal lo memberi izin," jawab Ray sambil menegakkan punggung di kursi yang dia duduk. "Gue pernah dengar kalau itu cara yang paling efektif. Kalau lo benci sama orang itu, jawabannya adalah 'say goodbye'. Sebaliknya, kalau lo suka orang itu, jawabannya bakal jadi 'stay forever'."

Kening Tinky berkerut, tetapi pada akhirnya, dia mengangguk sebagai tanda persetujuan.

Ekspresi Ray tak terbaca saat beranjak, lalu berpindah ke tepi kasur. Posisinya sekarang cukup dekat dengan Tinky, yang sekarang tampak sangat bingung atas apa yang dilakukan oleh Ray. Gadis itu tampak segan, punggungnya secara otomatis bersandar sepenuhnya ke kepala brankar. "L-lo mau ngapain?"

"Tutup mata lo," bisik Ray, semakin misterius. "Lo juga bisa sekalian buktiin apakah lo beneran suka sama gue atau tidak."

"Hmm... o-oke... ta-tapi apa harus sedekat ini? Sebenarnya cara apa yang lo maksud?"

Namun, Ray mempersempit jarak, membuat Tinky secara impulsif mendorong dada Ray yang tampaknya tidak mengenal jarak itu. Alih-alih menjelaskan, dia malah menurunkan tangan Tinky agar tidak menghalangi aksinya.

"Dengerin gue. Tutup mata lo," bisik Ray.

Terdengar helaan napas panjang dari Tinky. Lagi-lagi, dia melempar tatapan penuh kebingungan atas tingkah Ray yang lebih seringnya otoriter sekaligus clueless. Gadis itu akhirnya menutup mata, disambut cengiran Ray yang berlangsung selama sepersekian detik sebelum mendekatkan wajahnya hingga tak ada lagi jarak yang tersisa.

Ray menyentuhkan bibirnya lembut, membuat yang disentuh membelalak hingga ke bukaan maksimal.

Ciuman itu berlangsung selama beberapa detik sebelum Ray mundur, meski jarak keduanya masih layak disebut dekat. Bahkan Tinky bisa merasakan napas Ray yang membuat wajahnya memerah seketika. "Udah gue bilangin tutup mata, Tink."

"J-jadi... ini cara yang l-lo mak-maksud?"

Ray mengangguk. "Lo harus tutup mata dan balas ciuman gue supaya bisa mastiin kayak gimana perasaan kita yang sesungguhnya sekaligus biar gue bisa tau apakah gue memang suka atau benci sama lo."

"G-gue nggak bisa membalas ciuman lo, ka-karena gue nggak ada—–"

Lagi-lagi seperti malam terakhir Ray memotong pembicaraan Tinky dengan bibirnya, kali ini juga demikian meski—–kalaupun ada bedanya—–ciuman yang sekarang berkesan lebih lembut. Tanpa izin, dia menyentuh tengkuk Tinky sementara tangan yang lain memeluk sekeliling pinggangnya. Sepertinya, Ray tidak akan secepat itu mengakhiri ciuman jika ditilik dari bagaimana caranya memagut dan mengulum bibirnya dengan intens. Degup jantung mereka menjadi dua kali lebih cepat seolah-olah dipaksa berlari satu putaran stadion, diiringi napas pendek-pendek yang menderu.

Hingga Tinky merasa sulit bertahan untuk tidak membalas ciuman Ray.

Rasanya sesak dan Tinky sebenarnya hendak berhenti, tetapi entah kenapa dia tidak bisa mematuhi perintah dari otaknya. Sarafnya mungkin sedang rusak, dia tidak tahu. Oleh sebab itu, ketika dia mulai membalas ciuman Ray, dia menghibur diri sendiri dengan menyalahkan kesalahan teknis dari saraf dalam otaknya yang bisa terjadi karena sedang terbawa suasana.

"Rupanya ini yang disebut 'stay forever'. Ketika menyukai seseorang, ciuman itu akan terus berlangsung," bisik Ray ketika ciuman itu pada akhirnya berhenti. "Nggak diragukan lagi gue memang suka sama lo, Tink. Dan lo juga harus mengakuinya."

Wajah Ray sangat dekat dengan Tinky dan ketika cowok itu tersenyum, dia merasakan getaran yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Tidak salah lagi, Tinky memang menyukainya, lebih tepatnya mencintainya.

Apakah dia diperbolehkan untuk egois sekali ini saja? Sejak merayakan ulang tahunnya yang ke-16, gadis itu sudah mengerti pada apa yang disebut sebagai takdir. Takdir yang mengharuskannya untuk lebih berbesar hati karena begitu banyak orang yang menggunjingnya padahal itu bukanlah kebenarannya. Semua adalah kemauannya, yang semata-mata disadarinya sebagai aksi untuk melindungi Ray.

Tinky memang secinta itu padanya.

Lantas sekarang, bukankah jauh dari lubuk hatinya, dia memang menginginkan Ray berada di sisinya? Bukankah dia memang pernah berharap Ray membalas perasaannya? Dan bukankah—–seharusnya—–apa yang diinginkannya telah tercapai?

Sudah seharusnya dia bahagia sekarang. Teruntuk Sherina, meski terlihat jelas bahwa dia juga menyukai Ray, bukankah gadis itu akan terluka jika memaksakan perasaan Ray? Begitu pula Jemmy. Meski dia sudah menjamin akan menghadapi konsekuensinya, tetap saja, ini tidak akan adil untuknya.

Sebab kejelasannya sudah kentara, bahwa perasaan Tinky memang untuk Ray, begitu juga dengan cowok itu. Apakah dia harus terus menyangkal perasaan ini? Mau sampai kapan? Jujur saja, Tinky sudah lelah berpura-pura. Lelah bersikap munafik. Lelah mengatakan tidak suka padahal sebenarnya suka setengah mati.

Suka pada Ray Nathaniel.

"Gue...." Tinky hendak mengutarakan perasaannya, tetapi tidak tahu harus mengatakan apa sehingga dia menggantung kata-katanya.

Ray mengira kalau gadis itu akan menyangkal lagi sehingga dia meremas kedua bahu Tinky dengan kedua tangannya. "Jangan menyangkal lagi, Tink. Plis. Kita sama-sama udah tau perasaan yang sebenarnya. Gue bener-bener cinta sama lo."

Mata Ray memancarkan sinar penuh kekhawatiran dan juga berharap agar Tinky mengubah pemikirannya.

Lalu, Tinky tersenyum. Untuk yang kedua kalinya sejak cewek itu mendapatkan pita kuning dari atas pohon.

"Gue nggak berencana menyangkal, Ray. Gue... hmm... sebenarnya gue juga punya perasaan yang sama."

Ray menunjukkan semua giginya yang putih berderet. Andai saja dia bisa melebarkan senyumnya lebih dari ini, sudah pasti dia bersedia melakukannya. Lewat senyuman lebar itu, Tinky bisa merasakan kebahagiaan itu hingga menular ke dirinya yang ikut tersenyum lebar.

Ray membentangkan lengan dan memeluk Tinky seerat mungkin hingga gadis itu terbatuk karena sesak.

"Ups, sori. Gue terlalu bahagia soalnya," ucap Ray meski sama sekali tidak melonggarkan pelukan sementara Tinky tertawa sebelum ikut menautkan jemari di balik punggung Ray.

Bersambung

Cheer Up, Tinkerbell! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang